Saturday, October 29, 2011

Sibolga kota kecil di pinggir pantai


Tepat ketika usia ku tiga tahun, Ayah dipindahkan dari Bandung ke Sibolga, sebuah kota kecil di provinsi Sumatera Utara, dan terletak dipinggir pantai. Lima tahun di Sibolga menjadi pengalaman yang indah untuk dikenang. Kota ini sangat dekat dengan pantai, sehingga jika kapal berlabuh, terompet-nya terdengar jelas sampai kerumah. Saat itu Sibolga masih termasuk jalur trans sumatera sehingga cukup ramai, di lain pihak pelabuhannya juga menjadi salah satu tempat berlabuh salah satu kapal pesiar Belanda yang sangat terkenal saat itu, yaitu Princendam, yang sangat gampang dikenal dengan cerobong-nya yang berwarna warni.



Karena sangat dekat dengan pelabuhan, dan pusat aktivitas nelayan, aku sering menemani Ibu ke pasar, sambil memilih milih ikan yang masih dijual dalam keadaan segar bahkan sebagian masih hidup. Begitu juga kepiting yang setiap kali berusaha merayap keluar dari nampan si penjual ketika si penjual lengah. Sea food adalah salah satu makanan yang cukup sering menjadi menu keluarga kami, dan Kepiting Goreng sambal, adalah salah satu menu andalan Ibu.
Rumah kami sebuah rumah dinas peninggalan Belanda dan terletak dekat salah satu jembatan angker di kota ini, yang terdiri dari dua bangunan utama, dan dihubungkan oleh sebuah lorong beratap tanpa dinding. Tak jelas siapa yang menanam, salah satu sisi lorong tersebut, ditanami tanaman merambat dari ujung ke ujung, dan menjadi kerajaan semut merah berukuran ekstra besar, yang kami sebut semut Harirongga. Selain besar semut ini sangat galak, gigitannya luar bisa menyakitkan, dengan bagian kepala yang dihiasi dua taring besar. Rumah ini dibangun lebih tinggi dari lahan disekitarnya, dan dikelilingi parit. Untuk memudahkan keluar masuk ke halaman, dibeberapa sisi ada tangga. Rumah ini berdiri di samping Kantor Telekomunikasi, dan dari bagian belakang rumah ada lorong yang hanya dibuka sekali sekali menuju Kantor Pos. Sepertinya Kantor Pos, Kantor Telekomunikasi serta rumah kami, dulunya kemungkinan besar didesain secara terintegrasi.

Sisi kanan rumah, ada sebuah pohon Jambu Bol yang sangat besar, buahnya manis berair, dan sering sekali menyebabkan tetangga datang untuk meminta. Ibu tidak pernah keberatan membagi bagi buah-nya. Karena seingatku, pohon Jambu ini memang selalu berbuah sepanjang tahun. Jika malam kelelawar berduyun duyun menyerbu pohon Jambu ini, tetapi buahnya tidak pernah habis. Dipagi hari, biasanya kami akan menemukan buah buah yang sudah matang dengan tanda gigitan kelelawar disekujur buah. Buah yang dipilih kelelawar biasanya buah yang benar benar manis, jadi kami membersihkan bekas gigitan-nya dulu baru kemudian memakan-nya. Kadang satu atau dua kelelawar nyasar dan masuk kerumah, kesulitan menemukan jalan keluar, sampai akhirnya menemui ajal di tangan Ibu yang bersenjatakan sapu. Saat libur aku bersama teman sekolah main ke Penjara kecil dibelakang Kantor Polisi, dan menyusupkan beberapa Jambu dari balik lubang di dinding penjara, untuk para Narapidana disana.

Sisi kiri rumah, selain Kandang Ayam berbulu tebal (yang biasa kami sebut Ayam Australia) peliharaan Ibu, kami memiliki pohon Nangka. Meski tidak dipetik saat matang, buahnya akan jatuh berdebum saat ulat ulat kecil yang pandai meloncat mulai menggerogotinya, dan keesokan paginya kami sekeluarga akan pesta makan Nangka. Jika semua Nangka habis, maka Ibu mengumpulkan bijinya, untuk direbus dengan garam sekepal dan menjadi salah satu snack kesukaan kami sekeluarga. Getahnya yang banyak sering aku gunakan untuk menjebak semut Harirongga dengan membuat sate getah nangka, semakin mereka melawan semakin mereka terjebak lalu setelah sate getah tak lagi sanggup menampung semut2 yang terjebak, maka aku membakarnya sehingga menimbulkan bau daging sate yang sangat harum. Belakangan aku tahu bahwa ini merupakan dosa besar, sayang-nya saat itu tidak ada yang melarang kami melakukan hal ini, dan aku terlanjur benci dengan semut ganas ini.

Di bagian depan rumah, ada tanaman pohon yang aku tidak tahu persis nama-nya, akan tetapi kami menyebutnya pohon kipas. Sepertinya ini termasuk kelompok rumput2an, batangnya beruas ruas seperti tebu mini. Dan aku suka membuat panah2an dari pohon ini, dengan menggunakan karet sebagai pelontar.
Ayah, seorang kutu buku, kami memiliki perpustakaan pribadi, dengan buku yang bervariasi, selain itu ada juga kliping Indonesia Raya (koran-nya Mochtar Lubis), kliping Siasat dan Majalah Sastra Roman. Ayah juga berlangganan Kompas, Intisari dan Bobo. Di saat senggang perpustakaan ini merupakan tempat favoritku, khususnya komik Mandrake, Tarzan dan Phantom yang merupakan cerita bersambung bergambar di kliping koran Ayah. Juga iklan Palmboom berbentuk komik, yang saat itu merupakan produk margarine favorit. Komik2 lain seperti Gundala, Godam, Laba2 Merah, Maza dan Jin Kartubi, biasanya kami peroleh dengan menyewa-nya dari kios komik sebelah. Untuk buku2 dongeng terbitan Gramedia, seperti Grimm bersaudara, kami acapkali meminjamnya dari teman kakak perempuanku.

Sekolah kami berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah, dipisahkan oleh salah satu jalan utama di Kota Sibolga. Pagi hari Ibu akan menyiapkan beberapa piring kaleng untuk sarapan kami dengan nasi panas yang masih mengepul, dan lauk ikan goreng. Saking panasnya nasi, kami biasanya mengisi bak cuci piring yang berukuran besar, lalu meletakkan piring kami di bak tsb bagaikan sekumpulan perahu di lautan, untuk mendinginkan nasi-nya sampai dapat dimakan tanpa kuatir kepanasan. Tak lupa menu tambahan, telur ayam setengah matang dari Kandang Ayam peliharaan Ibu dan dikocok dengan satu sendok madu. Aku tak pernah suka minum ini, baunya yang anyir menyebabkan aku ingin muntah, dan sampai dewasa aku tak pernah bener benar menyukai kuning telur dalam keadaan basah. Pada tahun2 tertentu, aku dan kedua kakak serta abangku bersekolah di sekolah yang sama, saat aku kelas satu, abangku kelas lima dan kakak perempuanku kelas enam.

Saat itu acara favorit ku dan saudara2 ku adalah mandi hujan, mengejar ngejar ayam Ibu dengan panah dari pohon kipas dan naik becak keliling kota. Saat bulan Ramadhan dan menjelang lebaran, sepupu2 ku dari keluarga ayah akan berdatangan untuk merayakan Lebaran bersama sama. Ayah akan membeli minuman soda berkerat kerat sehingga selama beberapa hari kami hanya meminum minuman tsb, khususnya 7up. Ayah juga menyalakan puluhan lilin di halaman, menggelar tikar dan mengajak kami tiduran sambil menatap bintang2 di langit. Atau ayah mengajak kami bernyanyi sambil beliau bermain gitar di bawah pohon yang selalu berbunga putih, yang kami namakan pohon putar2 karena jika bunga-nya jatuh maka akan berputar putar seperti helikopter sebelum menyentuh bumi.

Ayah beberapa kali juga mengajak kami ke lokasi wisata disekitar Sibolga seperti Bonandolok, salah satu bukit yang merupakan bagian dari Bukit Barisan dengan pemandangan indah ke Sibolga dan teluk Tapian Nauli. Atau ke pantai Ujung yang dipenuhi dengan nyiur melandai serta pulau Poncan. Kadang kami sekedar berjalan jalan saja dengan Landrover, melintasi jalan dengan bukit bukit di sisi kiri, dan teluk yang dipenuhi Pohon Bakau di sisi kanan jalan. Kadang Ayah mengajak ke rumah Nenek di Padang Sidempuan, lalu Nenek biasanya akan menyembelih bebek peliharaannya di halaman belakang untuk menyambut kami dengan Gule Bebek.

Sebelum berangkat Haji, Nenek dari pihak Ayah yang biasa kami sebut Ompung Gendut untuk membedakannya dengan Nenek dari pihak Ibu (yang sangat kurus) juga sempat tinggal bersama kami selama beberapa lama, saat menjelang kepergian-nya aku menemani beliau mencari batu putih yang akan dia gunakan untuk melempar Jumrah. Itu saat terakhir aku melihat Nenek, setelah kami meninggalkan Sibolga menuju Denpasar, dan Nenek meninggal tak lama kemudian.

Pada hari2 tertentu, para petani Durian melewati rumah kami dengan puluhan durian bergelantungan di Sepeda ontel-nya. Sebelum sampai ke pasar, Ayah sudah menghentikannya dan mulai lah kami berpesta durian. Durian yang satu belum habis, yang lain sudah dibuka, setiap buah mengandung rasa yang berbeda, ada yang manis bagaikan es krim, ada yang kenyal dan harum, dan berbagai macam rasa yang sungguh2 sedap tak terkira.

Lima tahun di Sibolga, kami pun meninggalkan kota kecil penuh kenangan ini, di antar salah seorang teman ku bernama Pitman, dari atas kendaraan Landrover menuju Medan perlahan lahan aku melihat rumah kami semakin kecil dan semakin jauh, untuk menggunakan Garuda menuju Denpasar. Saat blog ini ditulis, aku masih belum sempat kembali ke Sibolga, tetapi meski demikian kota ini tetap ada di dalam hati ku selama-lamanya.




6 comments:

TieK oKe said...

Hmmmm... Ambil cuti... Ambil koper... Packing... Hayoo luangkan waktu kembali ke Sibolga... Digambarkan begitu apik sehingga menggodaku untuk melihat langsung.. :)

zs said...

gan numpang link http://ceritasibolga.blogspot.com di tggu kunjungan nya :)

Husni I. Pohan said...

Wah Bang Zafar, lengkap sekali blog Sibolganya, nice work :)

Cerita Sibolga said...

makasi bang, nice kembali tentang blog abang juga bagus-bagus tulisan nya :)

Sibolga Magazine said...

Ceritanya sangat menarik appara,aku seperti kembali ke masa kecil dan teringat bagaimana sibolga waktu dulu..

Lokasi yang appara sebut tidak jauh dengan tempat tinggal saya,lebih tepatnya dikawasan asrama polisinya.. waktu kecil dulu saya juga sering main" kesitu hehehe..

Horas appara !!

Husni I. Pohan said...

Horas juga :)