Wednesday, November 30, 2011

Denpasar, kampung halaman kedua.

Saat usia ku 8 tahun, aku meninggalkan Sibolga menuju Denpasar, sekeluarga kami menaiki pesawat Garuda dari Medan. Keluarga Ayah yang memang kebetulan banyak berdomisili di Medan mengantar kami ke Polonia.  Itu pengalaman pertama ku menaiki pesawat, rasanya sangat senang bisa terbang dan dapat permen. Seingatku kami menggunakan DC10 yang saat itu memang merupakan armada yang banyak dimiliki Garuda.

Sesampainya di Denpasar, oleh perusahaan Ayah kami ditempatkan di sebuah rumah di jalan Gadung Nomor 2A - Kreneng. Kenapa menggunakan Nomor 2A ?, karena untuk menuju kerumah kami harus melewati Gang, sedangkan Nomor 2 sudah lebih dahulu digunakan rumah di sebelahnya yang persis menghadap ke jalan besar.  Di belakang rumah, berdiri tangsi militer yang dihuni asrama keluarga Brimob, sedangkan berjalan sedikit ke belakang rumah berdiri stadion sepakbola Ngurah Rai yang saat itu sangat ramai apabila Perseden (Persatuan Sepakbola Se Denpasar) bermain. Ke kanan sedikit berdiri Lila Buana, salah satu bioskop dan pusat keramaian diwaktu malam.

Aku sekolah di SD Negeri 16 di Jalan Mawar, untuk ke sekolah cukup berjalan kaki dari Rumah, melewati jalan di sebelah Stadion Ngurah Rai.  Berbeda dengan propinsi lain, di Bali saat itu jika bulan Ramadhan kami tidak libur, sebaliknya saat Galungan, Kuningan maupun Nyepi kami justru libur. Jadi bulan puasa di Bali terasa sangat berat, apalagi cuacanya relatif cukup terik. Saat aku sekolah disini, Pemerintah dibawah Menteri Pendidikan Daoed Joesoef menyesuaikan waktu lulus, sehingga aku harus menyelesaikan SD 6,5 tahun. Guru2 di setiap kelas hanya satu, dan dia mengajar semua jenis pelajaran, mulai dari menggambar, bahasa, sampai metematika. Aku sangat menonjol di kesenian, khususnya menggambar dan seni suara. Saat itu aku acapkali bahkan menerima pesanan gambar dari teman2 satu kelas selain mewakili sekolah dalam lomba gambar.


Permainan di Sekolah ku saat itu adalah main Gambaran, yaitu menggunakan sekumpulan kartu bernomor yang tadinya digunting dari komik dari selembar kertas karton, umumnya diadaptasi dari cerita silat cina. Permainannya mirip judi dengan menebak angka, yang kalah harus merelakan tumpukan kartunya pindah ke anak lain.  Permainan lain adalah tukar menukar bungkus rokok dengan menggunakan batu, semakin langka bungkus rokoknya semakin mahal nilainya, dan dapat dibarter dengan bungkus rokok yang lain. Main bola juga kami lakukan, akan tetapi menggunakan bola tenis, jika tidak ada bola tenis maka kami menggunakan gumpalan kertas yang dibungkus plastik dan diikat karet. Tetapi khusus untuk anak lelaki tidak ada permainan yang lebih menarik selain berkelahi secara bergerombol, biasanya anak yang paling kuat akan menantang beberapa anak lain, lalu terjadilah perkelahian yang seru. Hasil perkelahian akan menentukan rangking “kehebatan” khusus anak lelaki. Anak lelaki paling kuat bernama Lojor, keturunan Timor, badan hitam dan rambut keriting, tubuh-nya tinggi bahkan lebih tinggi dari beberapa guru kami, serta penuh bekas luka perkelahian dan sudah tinggal kelas beberapa kali (begitu besarnya Lojor, sehingga meski anak SMA/STM pun harus berpikir dua kali kalau harus berhadapan dengan-nya).

Menjelang penerimaan Raport, guru2 kami membagi anak2 menjadi beberapa group, ada yang tugasnya membawa piring, taplak, bunga, ada yang membawa beras, ikan, bawang putih, bawang merah, saledri, telor, daging, cabe, garam dan ada yang membawa kompor, minyak goreng dan minyak tanah. Lalu ruang kelas disulap menjadi ruang makan dan dapur, khusus buat guru disediakan meja terpisah, maka anak lelaki kebagian menyiapkan ruangan, dan anak perempuan menyiapkan masakan. Saat seperti ini kami bebas dari tugas belajar. Setelah semua beres dan kami mulai kelaparan, kami masih harus menunggu semua guru makan, barulah kami bisa makan. Saat itu meski sebagai anak kecil aku merasa situasi ini sangatlah tidak adil dan ingin rasanya protes kenapa kami tidak makan bersama sama saja, bukan hal yang mudah bagi kami menunggu guru makan sambil bersenda gurau sementara perut kami sudah berbunyi nyaring akan tetapi momen itu tetap menjadi momen yang berkesan bagi ku.

Saat kami di Denpasar, keluarga besar Ayah dan Ibu saat musim liburan sangat banyak yang berkunjung ke rumah kami, tidak seperti di kota sebelumnya, setelah dewasa aku baru menyadari bahwa Denpasar masih merupakan tujuan wisata yang berkesan “wah” bagi turis domestik. Dengan tinggal di rumah kami, keluarga besar tentu dapat berjalan jalan dengan menghemat biaya, apalagi setelah kami pindah ke Jalan Komodo 21 di Sanglah (atau Jalan Fajar 1 No 1, yang mempunyai 2 alamat karena terletak di pojok jalan) yang rumahnya jauh lebih besar dari Rumah di jalan Gadung, serta banyak pohon mangga dan pisang. Selain itu aku rasa kenapa rumah kami jadi lebih ramai adalah karena Ayah dan Ibu adalah sosok2 yang ramah dan kekeluargaan, sehingga keluarga besar tidak perlu sungkan2. Bahkan Ayah kerap mengusahakan pinjaman Supir dan Mobil Land Rover dari Kantor sehingga memudahkan kami berjalan jalan.





Lokasi favorit saat itu adalah Tampak Siring (istana presiden), Art Center, Tanah Lot (Pura di atas karang laut),  Uluwatu (pura di ujung tebing batu dengan pemandangan laut menerjang karang) , Danau di Gunung Batur, Gunung Agung, Pura Besakih, Sangeh (dan hutan monyetnya), Kuta (pantai dengan pasir putih dan ombak dahsyat) dan Sanur (pantai dengan pasir coklat). Sanur lebih banyak dikunjungi wisatawan domestik, sebaliknya Kuta dikunjungi wisatawan luar. Nusa Dua saat itu masih menjadi lokasi yang sangat sepi, dan baru mulai dikembangkan. Khusus Kuta saat itu sangat banyak turis luar yang telanjang, tetapi karena masih kecil, aku menganggap itu hal yang biasa saja, hanya sepupu2ku yang beranjak dewasa dari Jakarta sering sekali datang dan minta ditemanin ke Kuta menyusuri pantai sambil menelan air ludah melihat tubuh2 telanjang turis, sementara aku dengan polosnya malah mengasah kemampuan statistika dengan menghitung berapa banyak lelaki, wanita tanpa penutup dada, dan serta wanita polos seutuhnya, tanpa aku sendiri memperdulikan sosok telanjang mereka. Pernah juga aku melihat satu keluarga dengan anak2 yang sudah remaja telanjang semua.

Saat musim liburan berlalu, setiap 2 minggu sekali Ayah mengajak kami ke Sanur Seaside Cottage. Lokasi ini terletak di kawasan Sanur dan di dalamnya terdapat puluhan cottage mewah dengan atap daun kelapa, dan di bagian tengah terdapat kolam renang berbentuk kacang yang menghadap ke pantai. Di sini biasanya kami menghabiskan hari Minggu dengan berenang sepuas-nya. Abang ku juga memperlancar bahasa inggrisnya dengan mengajak bule2 tersebut berbicara. Setelah berminggu minggu aku dan abang ku akhirnya bisa berenang, meski pernah hampir tenggelam. Saat lelah kami bersenda gura sambil menyantap Bakwan Udang. Dalam perjalanan ke sini, Ayah memang biasanya berhenti di jalan untuk membeli jajanan seperti Bakwan Udang di Toko “Rini”.  Karena Ayah tidak bisa menyetir meski ada tawaran kendaraan dinas dari Kantor, aku dan abangku ikut Ayah mengendarai motor, sambil mengikuti kakak perempuan dan adik perempuanku yang menumpang angkutan kota menuju Sanur. Ibu selalu dan seperti biasa lebih senang di rumah mengurus pekerjaan menjahitnya. Di Sanur Ayah juga memiliki “musuh”, tepatnya pemain catur bayaran, kadang Ayah berhenti untuk menantang-nya dalam satu atau dua permainan, dimana jika kalah Ayah harus membayar tetapi jika menang boleh main lagi. Sepulang dari Sanur, jika kebetulan kedua saudara  perempuanku tidak ikut, Ayah mengajak kami makan sate , soto panas dengan nasi mengepul hangat, saat lelah setelah berenang, makan sate disini seperti menyantap makanan dari Surga.

Setelah pindah rumah, aku terpaksa menaiki bemo roda tiga, dari Sanglah ke Kreneng. Saat itu aku kadang menaiki bemo bersama sorang gadis kecil berambut panjang dengan koper “Echolac” yang juga pergi sekolah. Rasanya saat itu aku mulai menyadari kalau mulai ada perhatian pada lawan jenis, namun kami tidak pernah benar2 berbicara, hanya saling lirik saja. Suatu saat aku pernah duduk persis disamping-nya, jantung ku berdebar kencang, namun tak jua ada kata yang dapat diucapkan. Momen itu menjadi semakin dahsyat saat dia menoleh ke arahku saat aku juga menoleh ke arahnya, wajah kami menjadi sangat berdekatan dan rasanya aku dapat merasakan hembusan hangat nafasnya, lalu dengan cepat kami menoleh kearah berlawanan dengan malu yang sangat, pipi2 yang memerah serta jantung yang rasanya mau keluar dari dada.

Dengan salah satu sahabat ku bernama Budi yang berasal dari Jawa Barat yang juga hobi membaca serta tinggal di jalan Arus, juga abang-nya, adiknya, abangku serta seorang anak lain, kami sepakat membuka usaha perpustakaan Mini Arus. Disini aku belajar berbisnis, bagaimana menyisihkan dana, melakukan pembukuan, menagih buku2 yang belum dikembalikan serta belanja buku2 baru. Cerita menarik disini adalah abang-nya Budi sempat jatuh cinta pada seorang pelanggan kami namun hanya dapat melampiaskan rasa gemesnya pada adik balita-nya sang gadis, selain itu hal menarik lainnya pengalaman menagih buku perpustakaan yang dipinjam anak tukang sampah (dan akhirnya baru kami tahu kenapa buku yang dia pinjam selalu kembali dalam keadaan lembab dan bau).

Kami pernah mengalami pengalaman cukup menegangkan saat di Jalan Komodo 21, ketika hari raya Nyepi, Ayah yang memang sangat suka menonton TV tak dapat menghentikan hobi-nya yang satu itu.  Jadi meski semua lampu di rumah sudah dimatikan, serta setiap lubang yang berpotensi membocorkan cahaya dari rumah ke luar ditutup dengan selimut serta sarung, tetapi ternyata masih ada cahaya yang lolos. Kami baru menyadari ada yang tidak beres setelah mendengar suara gaduh di atap rumah saat beberapa pemuda dan tetua Banjar melempari rumah kami dengan batu, dengan wajah marah. Segera Ayah mematikan lampu dan kami semua berkumpul di kamar sampai orang2 Banjar beranjak pergi.

Setelah menamatkan pendidikan di SD Negeri 16, aku melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Denpasar di Jalan Surapati, didekat patung Dasamuka, sayang belum sempat masuk sekolah kami sekeluarga sudah keburu pindah ke Bandung. Dengan menaiki Bis ke Surabaya lalu Kereta Api ke Bandung, aku meninggalkan Denpasar. Saat ini meski tahun demi tahun telah berlalu, aku masih menganggap Denpasar sebagai Kampung Halaman ku. Selalu ada kerinduan untuk kembali ke Denpasar, meski pada kunjungan terakhir, semua yang ada dalam kenangan tak lagi sama dengan realita, dan aku akhirnya menyadari bahwa meski indahnya kenangan akan selalu tersimpan abadi, realita tetaplah identik dengan perubahan.


2 comments:

Rina said...

Wah... pernah di Denpasar toh Bang?

Husni I. Pohan said...

Iya Rina, 5 tahun, dan cukup banyak kenangan di sana :)