Thursday, December 29, 2011

The Greatest Design - Zaynur Ridwan

Ada beberapa misteri di dunia ini, yang beberapa diantaranya tertulis di kitab beberapa agama seperti Yakjuj Makjuj (Gog Magog), Tabut Perjanjian (Ark of The Covenant), Injil versi asli, gunung emas di sungai Eufrat, dll. Buku ini menceritakan bagaimana misteri2 tersebut menginspirasi sekumpulan orang yang ingin membangun kembali Haykal Solomon untuk mempersiapkan kedatangan Raja Yahudi (dikenal dengan istilah Dajjal dalam Islam). Referensi yang digunakan mulai dari Taurat, Injil dan juga Al Qur’an. Zaynur sendiri membutuhkan waktu dua tahun hanya untuk riset lantas dituangkan dalam buku selama tiga bulan.



Dalam buku pemenang Islamic Book Fair Award 2010 ini digambarkan bagaimana sekelompok suku Kohen yang saat ini sudah tersebar di seluruh dunia dan berusaha menjaga benda2 tersebut dengan susah payah meski harus mengorbankan jiwa mereka sendiri. Suku ini dikenal sebagai salah satu suku Yahudi yang masih berpegang teguh pada ajaran Musa atau Taurat  dan bukan Talmud yang nota bene sudah di modifikasi. Petualangan ini melingkupi lokasi yang berjauhan, mulai dari Kairo, Ethiopia, London, China, dan bahkan Tibet.

Diungkapkan juga bagaimana bangsa Israel yang ternyata percaya pada hadist Muhammad SAW, meski tidak mau memercayai ajarannya, mempersiapkan kedatangan Dajjal dengan sebaik baiknya, mulai dari melakukan proses cloning untuk menghasilkan “Sapi Merah”, rencana penghancuran Masjidil Aqsa dan menggantinya dengan Haykal Solomon, penculikan (dan pembunuhan) bayi2 di tahun 80-an yang memiliki ciri2 fisik dan sejarah (bernama Ahmad atau Muhammad dengan Ayah bernama Abdullah) sebagaimana Imam Mahdi, imigrasi besar2an ribuan kaum Yahudi ke Israel termasuk Yahudi hitam baru baru ini (atau dikenal dengan sebutan Falashi) ke Israel sampai dengan membantu Turki dalam menyiapkan proyek bendungan Eufrat untuk menyingkapkan rahasia Gunung Emas. 

Tokoh Bumi dan Marie dalam buku ini melakukan petualangan dengan dibantu seorang Detektif kasus pembunuhan Mesir serta ilmuwan Syaikh Naggar, juga sosok yang membantu proses pencarian gunung emas Solomon Varben (yang akhirnya memilih berkhianat pada sponsor-nya sendiri) serta turut juga seorang Kardinal bernama Riario. Tentu saja jika sebuah novel tidak ada musuh tidak akan seru, jadi di dalam novel ini musuh diwakili oleh petinggi Mason yaitu Benjamin Nate.  Sebagaimana Indonesia Incorporated (novel Zaynur pertama yang saya baca, meski bukan novel Zaynur yang pertama dibuat), buku ini menggambarkan sekumpulan puzzle rumit yang harus kita rangkai sepotong demi sepotong sampai membentuk satu cerita yang utuh. Benar2 buku yang sedap dibaca, meski ada beberapa kesalahan yang cukup mengganggu misalnya penulisan nama presiden Amerika yang seharusnya tertulis “Reagan” berkali kali ditulis dengan “Reagen”.

Mengenai tokoh Naggar sendiri yang merupakan tokoh vital dalam buku ini (meski muncul di bagian akhir), sepertinya merupakan inspirasi dari tokoh yang sebenarnya, yaitu Zaghloul El Naggar, yang merupakan ahli Earth Science dan Geology dari Kairo, Mesir.  Naggar asli sendiri merupakan alumni University of Wales dimana beliau meraih gelar Doktor-nya. Beliau menerbitkan 150 publikasi ilmiah dan 45 buku dalam tiga bahasa (Inggris, Prancis dan Arab). Dimana publikasi dan buku tersebut banyak menyinggung interseksi antara ilmu dan Qur’an. Informasi lengkap tentang publikasi beliau dapat dilihat di “http://www.elnaggarzr.com/en/”.

Buku ini juga berkisah sedikit tentang pembelahan Bulan di masa Nabi Muhammad, yang ternyata disaksikan beberapa bangsa lain seperti India. Hal itu diyakini terjadi ketika banyak orang meragukan kenabian Muhammad, tetapi tentu saja pembuktian-nya tidaklah mudah sebagaimana terbelahnya laut merah oleh Nabi Musa. Meski yakin pada hadist bahwa bulan terbelah, sebaliknya buku ini meragukan “moon rille” adalah bukti bahwa bulan pernah terbelah, karena garisnya patah2 dan belum ada bukti bahwa garis ini mencakup keliling Bulan meski sangat panjang (300 km). Akhir kata, bagi setiap manusia yang percaya akan hari akhir, buku ini mengingatkan kita kembali, bahwa sebaik-baiknya bekal adalah amal baik.

Tuesday, December 27, 2011

A Contract with God - Will Eisner

Membaca halaman belakang komik Will Eisner, komikus kelahiran Brooklyn New York 1917, saya sudah langsung tertarik karena komik ini meraih penghargaan, dan berturut turut dibuat kelanjutannya hingga menjadi trilogi. Font yang dipilih Eisner dalam menuliskan namanya juga “catchy” karena menggunakan font yang sama dengan Walt Disney. Begitu membaca-nya langsung sedikit kaget ketika mengetahui cerita pertama-nya justru mengenai pengalaman seorang imigran Yahudi, yang meninggalkan kampung halaman-nya dengan dana yang diperoleh dari iuran bersama komunitas Yahudi yang dalam situasi terancam tetapi berharap agar tokoh ini dapat melanjutkan kehidupannya sebagai Yahudi sejati di New York. Sepertinya ini menjelaskan kenapa hari ini begitu banyak Yahudi di Amerika dan bahkan sampai2 mendominasi arah kebijakan Amerika.



Sebenarnya Contract with God (1978) hanyalah satu cerita saja, sedangkan cerita2 lain-nya benang merahnya lebih ke semua kejadian yang berhubungan dengan suatu lokasi di jalan Dropsie. Lalu dilanjutkan dengan buku kedua A Life Force  (1988) dan buku ketiga Dropsie Avenue (1995). Komik ini dipenuhi dengan adat istiadat dan cara berkomunikasi dalam komunitas Yahudi di New York.

Eisner sendiri sebenarnya lebih suka menyebut buku ini sebagai novel grafis ketimbang komik. Nuansa-nya relatif gelap dan muram sehingga sama sekali tidak cocok bagi kanak2. Adegan2 yang digambarkan beberapa diantaranya menggambarkan hal2 yang bersifat “dewasa”. Cara berceritanya yang “berat” mengingatkan saya ketika membaca novel Great Expectation-nya Charles Dickens, penuh dengan ironi dan tanpa happy ending. Dari komik ke satu sd komik ketiga juga tidak terlihat kemajuan dari sisi artistik meski berjarak 20 tahun, yang menunjukkan Eisner sudah mencapai batas maksimal dari sisi artistik.

Khusus A Life Force, unik karena Eisner mengangkat kecoa sebagai inspirasi daya hidup, bagaimana serangga yang sudah berusia jutaan tahun ini tetap eksis dalam kondisi bagaimanapun juga, meski banyak orang tidak akan segan2 mengangkat sandal ketika melihat serangga satu ini. Tidak tanggung2 gambar kecoa ini juga menjadi cover di buku terbitan Nalar ini.

Hal yang perlu dikagumi dari Eisner, beliau bahkan masih mempublikasikan karya-nya
yaitu Sundiata di usia 85 dan bahkan di usia 88, yaitu The Protocols of The Learned Elders of Zion. Beliau akhirnya meninggal di Florida tahun 2005. Namanya sendiri diabadikan sebagai salah satu penghargaan bagi komikus, yaitu Eisner Award. Hal ini tidak terlepas dari upayanya memberikan “kecerdasan” bagi karya grafis, meski pada awalnya sangat sulit mencari penerbit yang mau menerbitkan karya-nya.

Bagi saya komik ini pada akhirnya bukanlah pilihan yang tepat buat koleksi, karena hal2 yang membuat saya tertarik untuk mengoleksi, antara lain adalah dapat memberikan aura positif, kualitas artistik atau fakta yang memang penting untuk diketahui serta layak dijadikan referensi.  Dari artistik, jelas Eisner bukanlah komikus yang “hebat”, aura positif juga tidak saya dapatkan dari komik ini, satu2nya yang menarik adalah penggambaran problematika imigran Yahudi saat harus berbaur dengan masyarakat New York.

Friday, December 23, 2011

Indonesia Incorporated - Zaynur Ridwan

Membaca buku Rizky Ridyasmara, saya tertarik dengan nama Zaynur Ridwan di halaman belakang yang disebut Rizky sebagai salah satu bacaan yang menginspirasi. Maka saya mulailah perburuan karya Zaynur, dan di Gunung Agung Kwitang, dan akhirnya salah satu dari empat buku beliau saya temukan, dan begitu ada waktu luang beberapa hari kemudian segera saya santap panas2.

Buku ini lagi2 menunjukkan betapa banyak penulis muda potensial Indonesia saat ini, yang meski datang jauh dari Sulawesi Selatan tetapi langsung dengan karya kelas dunia. Skenario-nya meski kompleks tetapi kuat, rapi dan tersusun bagaikan puzzle2 yang baru pada 3/5 buku mulai terlihat interseksi-nya. Berbeda dengan trilogy novel Rizky Ridyasmara, yang masih tergagap gagap menggabungkan fiksi dan realita sehingga masih belum terasa kuat sebagai novel, sebaliknya Zaynur sangat kuat sebagai novel.

Puzzle2 di buku ini entah kenapa mengingatkan saya akan perkamen miniatur Kapal Unicorn Sir Francis Haddock di komik Tintin karya Herge, yang harus dikumpulkan semua agar  gambaran utuh dari misteri, menunjukkan koordinat sebenarnya dari bangkai Kapal Unicorn.

Buku ini menggambarkan keraguan Zaynur akan  dampak dari polusi terhadap panas bumi, karena saat ini, siklus matahari lah menurut Zaynur yang menjadi penyebab utama panas bumi. Akan tetapi ada pihak2 tertentu di dunia yang sengaja menghembuskan isu ini, sebagai alasan untuk intervensi terhadap negara2 berkembang, sehingga negara2 maju dapat memantau, menekan dan bahkan memaksa negara2 lain untuk mengikuti aturan main yang mereka buat, dan lantas pelan2 akan menjadikan dunia sebagai “New World Order”. Zaynur juga meragukan teori evolusi yang sampai saat ini masih belum menemukan rantai yang hilang, meski sudah sangat banyak fosil yang ditemukan di dunia. Bagi Zaynur kedua hal ini tak lebih dari kemunafikan saintis yang ditunggangi kepentingan tertentu. 



Apa2 yang dituliskan Zaynur dibuku ini, mengingatkan kita kembali, betapa kaya-nya Indonesia, dan bagaimana ironisnya kekayaan Negara ini justru "dijual" pada tahun 1967 oleh Soeharto pada kelompok konspirasi tokoh Eropa, yang menggunakan strategi hutang untuk menundukkan Indonesia sebagai bentuk penjajahan baru. Sebagaimana Freeport, yang dihisap habis2an, dengan hanya menyisakan kurang dari 7% bagi Indonesia, dan bahkan dibawah 2% bagi masyarakat Papua, begitu juga yang mengancam banyak daerah lain di Indonesia yang mengandung bahan2 tambang terbaik di dunia.

Artwork buku ini harus diancungi jempol, pemilihan warna-nya berkelas, meski gambar2 pendukung di dalam buku-nya justru sebaliknya, sangat kecil dan kabur. Sayangnya rasa penasaran terhadap sosok penulis juga tidak terpuaskan karena tidak dituliskan secara jelas termasuk referensi yang digunakan dalam buku ini.



 

Tuesday, December 20, 2011

Hidup Itu Lucu - Michael J. Fox

Anda tahu Michael J. Fox ?, kebanyakan generasi yang mengalami masa remaja di tahun 80-an atau penggemar Steven Spielberg pasti tahu siapa yang saya maksud. Tepat-nya tokoh yang memerankan Marty McFly dalam film di Back To The Future bersama Doc yang diperankan oleh Christopher Loyd. Film ini sangat sukses dan meski dibuat di tahun 80-an (1985), saat ini beberapa puluh tahun kemudian bahkan kedua anak saya masih sangat menikmati film ini, khususnya adegan Doc membantu Marty untuk dapat kembali ke masanya menyeberangi portal “waktu” dengan DeLorean Time Machine, di saat malam gelap, hujan deras dan petir menyambar nyambar di kota dimana Marty McFly tinggal. Selain seri ini dia juga bermain di “Secret of My Succes” yang bercerita tentang pengirim surat di sebuah menara di daerah bisnis paling sibuk, yang akhirnya meraih kesempatan untuk sukses karena kecerdikannya. Masih belum ingat juga ? Michael juga bermain di “Family Ties” juga film bioskop berlatar belakang Vietnam yaitu Casualties of War.



Meski hanya lulus SMA, tetapi Michael J. Fox membuktikan dirinya sanggup belajar apa2 yang biasa dipelajari di sekolah dalam kehidupan nyata, bahkan prestasi Michael juga mendapat pengakuan serta mendapat gelar Doktor kehormatan dari salah satu perguruan tinggi bergengsi.  Berikut apa yang ditulis Michael J. Fox “Aku merasa cukup beruntung dan tidak beruntung, secara bergantian, karena telah menerima pendidikan yang luar biasa lengkap, meskipun tidak terstruktur, dan sering tanpa kucari. Aku hanya berusaha menjadi murid yang patuh dan rajin dari ‘Universitas Alam’. Aku tidak memilih pelajaran-pelajaran itu, melainkan merekalah yang memilihku. dan, karena tidak ada kurikulum resmi, maka tentu tidak ada wisuda, meski tetap ada  banyak ujian” (saya edit sedikit dari versi buku, karena terjemahan-nya agak kaku tanpa mengurangi maksud sebenarnya).

Dalam buku ini ada suatu ungkapan yang sangat menarik yang didapat Michael dari mentor-nya. Mentor bagi Michael adalah tokoh penting yang muncul di setiap episode kehidupan kita, mereka umumnya senang berbagi, memberikan masukan bagi kita, menghibur kita di kala sedih, ikut gembira dengan kesuksesan kita dan menjaga kita agar tetap berdiri tegak. Mentor menurut Michael bagaikan tokoh Doc bagi Marty McFly. Inspirasi dari salah satu mentor Michael yaitu  Gary David Goldberg, saat itu sangat menakjubkan sbb

Tak seorangpun di antara kita yang berhak akan sesuatu.
Kita mendapatkan apa yang kita dapatkan bukan karena kita menginginkan-nya
atau kita pantas mendapatkannya
atau karena tidak adil jika kita tidak mendapatkannya,
melainkan karena kita bekerja keras untuk meraihnya,
menghormatinya,
dan hanya jika kita membaginya dengan orang lain,
maka kita bisa mempertahankannya.


Buku tipis ini sangat menarik meski terjemahan di bab2 awal agak kurang nyaman di baca, dalam buku ini  tergambar  karakternya yang selalu optimis, rendah hati, pekerja keras dan mau belajar. Meski saat ini terkena parkinson, Michael J. Fox tetap berusaha menghasilkan karya terbaik dalam bentuk buku, dimana buku ini adalah salah satunya. Pembagian bab-nya juga unik, dan memberi kesan bahwa ilmu yang kita pelajari di bangku sekolah juga kita pelajari di dalam kehidupan. Michael membagi bab-nya dengan nama2 sebagai berikut Ekonomi, Sastra,  Fisika, Politik dan Geografi, lantas memberikan contoh nyata dalam “Universita Alam” bagaimana dia bersinggungan dengan hal itu.

Tuesday, December 13, 2011

The Escaped - Rizki Ridyasmara


Ini buku ketiga Rizki yang saya baca dalam dua minggu terakhir, benar2 makanan lezat untuk seorang yang merasa dirinya conspiratus. Meski terdengar “konyol” bahwa Hitler melarikan diri ke Indonesia dan wafat di Surabaya 15/1/1970 (pemakaman Ngagel) setelah sebelumnya mengepalai RS Sumbawa, tetapi bangunan cerita semakin kesini semakin memperkuat fakta bahwa hal ini adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi. Kita tahu bahwa secara sejarah sangat banyak tokoh Nazi yang melarikan diri ke Amerika Selatan, dan Negara2 seperti Brazil ataupun Argentina sampai saat ini banyak dihuni tokoh Nazi dan keluarga-nya. So kenapa tidak dengan Negara Indonesia, karena semakin tidak mungkin tujuan pelarian, maka akan semakin sukses pelarian tersebut. Konyol ? yaaa bisa saja dikatakan demikian, kalau 10 tahun yang lalu, ada yang mengatakan presiden AS berikutnya merupakan anak tiri seorang WNI dan menghabiskan masa kecil-nya di Indonesia serta menggemari Nasi Goreng dan Sate mungkin tidak akan ada yang percaya tetapi ternyata jadi nyata.



Kenapa akhirnya muncul kesan kalau buku ini tidak sembarangan dalam menyimpulkan pelarian Hitler ke Indonesia, salah satunya adalah pada tahun 1944 sd 1945, sepertinya berkat hubungan baik dengan Jepang, Jerman mempunyai pangkalan rahasia di beberapa lokasi di Indonesia, termasuk pangkalan Kapal Selam legendaris seri “U”selama WW2.  Perairan Sumbawa juga merupakan perairan dalam sehingga memungkinkan pendaratan Kapal Selam.

Fakta lain adalah pengakuan Dokter Sosrohusodo seorang Dokter lulusan UI yang pernah bertugas di Sumbawa Besar tahun 1960 an pada sebuah Rumah Sakit merangkap Kapal “Hope”  dan berkenalan dengan Dokter Poch yang mengepalai RS Sumbawa. Pada saat itu karena tangan kiri yang selalu bergetar, Dokter Poch (yang ternyata tidak mengerti soal medis) minta diperiksa oleh Doktor Sosrohusodo. Ketika proses pemeriksaan berlangsung, istri Dokter Poch mengingatkan bahwa tangan kiri tsb mulai bermasalah saat Dokter Poch memukul meja berkali kali ketika mendapat laporan dari Goebbels (sebagaimana kita ketahui Joseph Goebbels merupakan salah satu tangan kanan Hitler) bahwa pasukan Jerman kalah di Moskow. Beberapa tahun kemudian Dokter Sosrohusodo menemukan fakta2 lain yang memperkuat dugaan bahwa Dokter Poch adalah Hitler. Dokter Poch sendiri akhirnya dimakamkan di Surabaya. Rizki sendiri mengutip kisah Dokter Sosrohusodo ini berdasarkan investigasi wartawan Pikiran Rakyat. Fakta dari luar sendiri bersumber dari Daily Telegraph, Senin 28 September 2009, Program History Channel Documentary Amerika Serikat menyatakan tengkorak milik Hitler yang disimpan Rusia bukan milik pemimpin NAZI tersebut, melainkan milik seorang wanita.

Hal2 yang memperkuat kecurigaan Dokter Sosrohusodo, selain celetukan istri Dokter Poch dan ketidak tahuan-nya soal2 medis, adalah usia Dokter Poch yang sesuai dengan usia Hitler, penampilan fisik termasuk kumis khas, tangan kiri yang bergetar (dan sesuai dengan kesaksian beberapa orang di tahun 1945), kaki kiri yang agak diseret, postur Eva Braun yang mirip dengan  istri Dokter Poch dan kerap memanggil suaminya dengan “dolf”, dan kesaksian istri Dokter Poch yang berikutnya (seorang wanita pribumi) serta dokumen dokumen lainnya yang dititipkan istri Dokter Poch terakhir, ke Dokter Sosrohusodo termasuk SIM dengan sidik jari Dokter Poch. Selain itu sebagaimana cerita penduduk di Sumbawa, suatu masa mereka penah melihat sebuah kapal selam bulat yang muncul dari dalam laut lantas menurunkan sejumlah penumpang.

Ada kesan buku ini ditulis dengan terburu buru, atau mungkin karena masih cetakan pertama, karena berbeda dengan kedua buku sebelumnya, pada buku ini cukup banyak terjadi kesalahan seperti Hal 251 (disebutkan mobil David dalah Nissan Captiva, padahal seharusnya Chevrolet Captiva), Hal ? (Terulis O.G. Farben seharusnya I.G. Farben), Hal 311 (tertulis Atlanis seharusnya Atlantis), dan saya masih menemukan beberapa kesalahan seperti ini di beberapa bagian buku lain-nya.  

Secara scenario, sebagaimana CODEX dan The Jacatra Secret masih mirip dengan kedua buku sebelumnya yaitu kejar2an dokumen rahasia dengan tokoh utama merupakan pasangan wanita dan pria. Selain itu harus diakui semua buku Rizki terasa seperti memaksakan begitu banyak informasi, sehingga nyaris sebagian besar tokohnya seakan akan adalah kamus berjalan yang dengan semangat dan secara detil menjelaskan banyak hal, khususnya dalam “The Escaped” hal ini sangat terasa. Begitu juga penokohan yang terasa agak aneh dan karakternya kurang terbangun, misal penggunaan nama Steven Aleyda (nama yang jauh dari kesan Indonesia) yang dipadukan dengan Sabina Shalimar (yang terkesan Arab) sebagai suami istri yang menjadi aktor utama dalam cerita kali ini, mungkin lebih tepat kalau menggunakan nama Fuad Aleyda misalnya.  Rizki juga seakan akan sulit untuk menghindari penggunakan senjata api “Glock” yang muncul berkali kali dalam ketiga buku-nya. Penggunaan VW Touareg juga terkesan berlebihan (karena mahal), mungkin akan lebih cocok jika VW Beetle saja, jika ingin memberikan alasan kenapa Steven menguasai hal2 yang berbau Jerman. Bayangkan tokoh Fuad Aleyda beristrikan Sabina Shalimar serta menggunakan VW Kodok kan lebih pas.

Informasi menarik yang bisa kita dapat di buku ini antara lain, bahwa pencipta gerakan KB Margareth Sanger ternyata seorang rasialis, dan dia mendukung bumi yang bersih dari orang2 cacat dan kulit berwarna. Bahwa ada konspirasi dalam WW2 yang disutradarai oleh Rostchild dan antek2nya, yang ternyata menurut sebagian orang merupakan kakek tak resmi dari Hitler. Dan bahwa Hitler ternyata senang menggambar, dan bahkan desain VW digambar sendiri oleh-nya serta indikasi Hitler berdarah Yahudi.

Saya sendiri berpendapat meski Nazi sering sekali digambarkan dengan kejam, dan banyak digambarkan secara negatif misalnya dalam film2 Indiana Jones, tetapi kemerdekaan Indonesia sepertinya tak bisa lepas dari gempuran Blietzkrieg Jerman ke Belanda, yang akhirnya memecah konsentrasi Belanda dan lantas dengan mudahnya diusir Jepang dari Indonesia. Bagaimana cara memecahkan misteri ini, tentu saja dengan sidik DNA terhadap makam Dokter Poch dan dibandingkan dengan keluarga besar-nya serta membandingkan sidik jari yang ada di SIM Dokter Poch dengan sidik jari Hitler jika ada, rasa-nya akan sangat menarik jika ada yang melakukan hal ini, apalagi kalau didukung pemerintah Indonesia, sehingga salah satu misteri WW2 ini bisa terpecahkan. Kalau saja Departemen Pariwisata tertarik ini akan membuka jalan bagi promosi Indonesia dari pada terlibat urusan tidak jelas di New7Wonders.

Monday, December 12, 2011

The Jacatra Secret - Rizki Ridyasmara

Setelah menyelesaikan CODEX, saya mulai menjelajahi The Jacatra Secret, dan begitu memulai Bab2 awal kita lantas begitu saja tersedot ke pusaran misteri yang dibuat Rizki, kala petinggi Freemason di Jakarta saat itu menerima surat pembubaran organisasi rahasia ini dari Presiden Soekarno yang digambarkan secara detail dengan pilihan kata2 yang mengagumkan dan menunjukkan bakat Rizki sebagai pencerita handal. Menakjubkan memang, bahwa Soekarno sejak awal sudah dengan tegas menyadari ada  yang tidak beres dengan organisasi ini. Sayang-nya Soeharto kemudian memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi kelompok “mafia ekonomi” lulusan AS, yang lantas mengarahkan Republik Indonesia menjadi salah satu korban strategi hutang luar negeri, dan lantas menyerahkan kekayaan alam-nya untuk disedot oleh kekuatan asing secara besar2an.



Meski dalam buku ini Rizki sudah menjelaskan bahwa organisasi ini bersifat sangat rahasia, sayang-nya salah satu agen Freemason yang bertugas untuk mengamankan rahasia sekaligus memusnahkan siapa saja yang menghalangi justru digambarkan wara wiri menggunakan motor merah dan lantas berganti dengan Rover mewah (baca : mencolok), sehingga terkesan bukan seseorang yang berusaha melakukan aktivitas rahasia. Berbeda dengan CODEX yang masih agak samar kemiripan-nya dengan Dan Brown, The Jacatra Secret justru bagaikan petualangan Robert Langdon di Indonesia, dimana tokoh utama-nya justru juga seorang Simbolog AS sebagaimana Langdon.

Penggambaran tokoh Polisi Indonesia juga, sepertinya menggambarkan opini Rizki pribadi mengenai kualitas polisi Indonesia, yang cenderung sinis, dan kadang menggunakan ekpsresi “cuih” (baca : meludah) tetapi anehnya bukan dari sudut pandang tokoh lain, dalam cerita tersebut, melainkan seakan mewakili Rizki sendiri sebagai pengarang. Rasanya lebih baik kalau tokoh Polisi Indonesia yang menjadi tokoh dalam buku ini justru digambarkan sebagai tokoh yang berusaha bersikap profesional (berbeda dengan polisi kebanyakan), meski ekspresi kekecewaan Rizki terhadap keseluruhan kinerja kepolisian cukup beralasan.

Teknologi yang digambarkan di buku ini juga mengesankan pengetahuan Rizki yang mendalam lagi2 soal senjata selain konspirasi tingkat tinggi, meski dalam menggambarkan format obyek dokumen rahasia yang diperebutkan sejak awal konyolnya malah menggunakan PDF.

Hal menarik lainnya, adalah penggambaran budaya pop yang ternyata sudah juga teracuni oleh ajaran misterius (baca : Kabbalah), dimana dalam acara MTV baru2 ini Madonna melakukan inisiasi ke Britney Spears dan Christina Aguilera, dengan cara berciuman, setelah mendaki 13 anak tangga lantas, menunjuk latar belakang piramida di atas panggung sesuai ajaran Kabbalah. Sangat mengagetkan bahwa dari kaca mata simbologi aktivitas organisasi ini ternyata sudah sangat terang2an.

Mata kita juga menjadi terbuka, bahwa organisasi ini sudah eksis sejak lama di Indoenesia, bahkan menumpang pada aktivitas VOC, yang ditunjukkan kemiripan-nya oleh Rizki dengan lambang Freemason dan Bintang Daud. Hal ini juga terlihat pada desain bangunan seperti Staad Huis Jakarta yang menggunakan 13 batu pada gerbang-nya, dengan batu paling atas sebagai “Keystone” lengkap dengan ukiran mawar-nya. Begitu juga dengan makam2 tua petinggi Belanda di Jakarta yang sangat jelas lambang yang terukir di nisan-nya. Sebagaimana lorong2 rahasia di bawah Jakarta, begitu juga Monas yang merupakan bentuk lain obelisk serta Bundaran HI, yang terlihat sebagai “Eye of Horus” dari langit Jakarta. Khusus Monas dan dan Bundaran HI, meski bukan dibangun oleh Belanda, Rizki mensinyalir kelompok desain membuat ini berdasarkan instruksi khusus.



Akhir dari buku ini terkesan aneh, tiba2 kita dibawa Rizki untuk menyadari potensi The Jacatra Secret sebagai bagian dari wisata Jakarta, sebagaimana Da Vinci Code di Prancis yang kini lokasi2 dalam bukunya menjadi salah satu aktivitas dari bisnis wisata, yang juga melibatkan beberapa daerah lainnya di Eropa. Saya merasa hal ini agak sedikit salah tempat, karena suasana serius yang terbangun sejak awal mendadak jadi agak konyol.

Kesimpulan, buku ini membuat kita lebih berhati hati lagi kedepan-nya, karena apa yang ditulis oleh Rizki sebagian besar adalah fakta yang mau tak mau kita saksikan selama ini namun kita seakan terbutakan. Bahwa Negara Indonesia sebenarnya masih berada dalam penjajahan gaya baru, lewat konspirasi media, konspirasi finansial dunia, konspirasi perusahaan medis dan makanan, dll. Semoga buku2 seperti ini dapat menjadi bahan bakar bagi nasionalisme Indonesia dalam menghadapi globalisasi. So bagaimanapun, buku ini sangat layak jadi koleksi anda.

Thursday, December 08, 2011

Adrenaline Mob

Ini album menarik, meski digawangi Mike Portnoy (ex “Dream Theater”) dan Russel Allen (side project ybs karena masih aktif di “Symphony-X” dan bahkan baru merilis “Iconoclast” yang cukup “keriting” komposisi-nya) notabene dikenal sebagai tokoh progressive metal, tetapi malah membuat album yang lebih kental ke Heavy Metal. Bagi saya pribadi keluarnya Portnoy dari Dream Theater sepertinya tidak mempengaruhi kualitas album terakhir mereka, dilain pihak terlibatnya Portnoy dalam “Adrenaline Mob” seakan akan menegaskan dia masih layak dijuluki salah satu drummer metal terbaik. Permainan Portnoy disini seperti biasa tetap kreatif, akan tetapi dari sisi sound sepertinya di desain agar lebih tebal dan cocok dengan karakter “Heavy Metal”, dan khusus untuk “double bass”, permainannya lebih rapat dan ganas di banding saat di “Dream Theater”.

Sementara bagi Russell Allen, yang cukup aktif sebelumnya dalam side project bersama Jorn Lande dalam “Allen-Lande” kolaborasi dengan Mike Portnoy sepertinya merupakan kombinasi yang ditunggu-tunggu bahkan tidak tangung tanggung, Allen juga merangkap sebagai produser dalam album ini. Kenapa menjadi hal yang ditunggu-tunggu ?, karena Mike sendiri pernah mengakui bahwa dia fans Symphony-X saat rilis album “Paradise Lost”, sayangnya kolaborasi ini bukan dalam konteks Allen menggantikan La Brie di Dream Theater, tetapi justru membuat wadah baru, padahal jika saja Allen menggantikan La Brie dan Portnoy masih tetap di Dream Theater ini kan menjadi sinergi yang cukup menghebohkan.
Kenapa saya berpendapat seperti itu, karena “keunggulan” Allen dan Portnoy sepertinya sulit diimbangi Mike Orlando meski sudah didampingi Rick Ward di seksi ritem. Dalam hal ini kualitas Orlando masih dibawah melodius-nya Petrucci di Dream Theater ataupun ganas-nya riff ala Romeo di Symphony-X begitu juga permainan Paul Di Leo sepertinya standar2 saja.

Hanya merilis 5 track, dengan cover sangat jelek meski meniru desain cover novel Mario Puzo "The Godfather" (untuk standar progressive yang biasanya menggarap artwork secara serius), Album ini tetap layak menjadi koleksi, meski buat fans dengan background progressive metal akan terasa biasa saja, akan tetapi buat fans dengan background Heavy Metal layak untuk jadi referensi khususnya bagaimana permainan progressive mempengaruhi track Heavy Metal.

Khusus track 5 “The Mob Rules”, surprise banget mendengar bagaimana Allen menyanyikan lagu Dio saat masih di “Black Sabbath”, benar2 pas dan klop, layaknya Once menyanyikan lagu Sting.  Tak jelas benar apakah nama “Adrenaline Mob” ada hubungan-nya dengan lagu ini, tetapi khusus di track ini permainan Orlando boleh-lah dengan “picking harmonic” disana sini, sehingga bisa dikatakan terbaik diantara track2 lain.

Wednesday, December 07, 2011

Down To Earth

Ini bukan cerita tentang salah satu Album Rainbow terbaik yang kebetulan berjudul “Down To Earth” yang merupakan tonggak prestasi bagi si suara serak Graham Bonnet, tetapi cerita tentang penting-nya membumi, sebagaimana puasa yang mengajarkan kita untuk memahami penderitaan orang lain atau kisah penguasa zaman dahulu yang kerap menyamar untuk mengetahui bagaimana kondisi rakyat di bawah pemerintahan-nya. Saat ini kita sering sekali melihat pejabat naik kendaraan mewah di kawal polisi bersepeda motor besar dengan sirine meraung raung dan dengan arogan-nya menyingkirkan semua orang dari jalan yang mereka tempuh, lantas bagaimana dia tahu penderitaaan rakyat dengan menempuh jalan macet atau berdesak desakan saat menggunakan sarana transportasi massal ? Itu sebabnya kita berharap banyak pada pemimpin seperti Dahlan Iskan yang baru2 ini "Down To Earth" ikut naik Kereta Listrik untuk memahami bagaimana seharusnya bisnis ini dijalankan.

Dalam karir saya selama lebih dari 20  tahun di dunia IT, belum pernah saya memiliki atasan yang usianya lebih muda, namun satu tahun terakhir terkait mundurnya ex Direktur saya, karena memutuskan untuk berkarya di luar perusahaan, maka Presiden Direktur menunjuk salah satu manajer senior untuk menduduki posisi tersebut.


Awalnya karena tadinya selevel dan berada dalam Direktorat yang sama tentu bukan hal yang mudah bagi saya ataupun beliau untuk mencari cara2 yang pas dalam berkomunikasi dan membentuk sinergi. Dan karena selama ini kami cuma bertemu dalam meeting, saya juga cuma punya kesan sepintas dan cenderung dari sisi luar saja. Bagi beliau IMHO mungkin tidak nyaman juga mempunyai team yang tadinya selevel lalu berubah menjadi level yang lebih rendah dan bahkan (seperti saya) yang usianya lebih tua sebaliknya buat saya juga rasanya aneh juga untuk pertama kali memiliki atasan yang lebih muda.

Meski satu dua bulan pertama terasa tidak nyaman, tetapi saya selalu berpikir pasti ada hal2 positif yang bisa saya pelajari dari beliau, demikian juga harapan saya sebaliknya. Dengan berjalan-nya waktu meski mulanya sulit, saya mulai melihat ada hal2 positif seperti kemampuan khusus beliau pada hal2 yang berbau angka sehingga mendorong saya untuk mulai meminati hal yang sama, meski minat saya lebih ke aspek teknis, analisa, dokumentasi, implementasi dan prosedur kerja. Lambat laun saya merasa ada peningkatan dalam diri saya sendiri untuk mampu memahami hal2 baru khususnya “financial things”. Bukan cuma itu, beliau juga  memiliki kemampuan khusus dalam memrediksi kebijakan Presdir, sehingga apa yang harus kami siapkan sebelum meeting biasanya membuat meeting menjadi lebih lancar. Hal tambahan yang menarik, beliau sangat sabar dan senang berbagi ilmu yangdia miliki, sehingga hubungan kami menjadi lebih positif. 

Suatu saat, kami mengalami masalah yang cukup berat, yaitu lemahnya monitoring pergerakan perangkat dalam salah satu proyek besar. Sehingga yang seharusnya sudah terdeploy ternyata masih tertahan di Gudang ekspedisi. Sedangkan petugas yang seharusnya melakukan proses final sebelum deployment sudah keburu diberangkatkan ke puluhan lokasi di Indonesia. Setelah mengetahui situasi yang cukup “berat” di lapangan, maka Direktur saya memutuskan untuk melakukan gerak cepat mengumpulkan semua SDM yang tersisa di suatu sore,  termasuk manajer dan manajer senior untuk turun langsung ke lapangan.

Maka pada hari yang disepakati setelah menyantap sarapan berupa sekian puluh porsi nasi pecel berserta peyek kacang, yang dibawa oleh Direktur saya dan datang paling pagi, maka kami memulai pekerjaan dari pemindahan asset, unpacking, cloning, packing, ratusan unit di Gudang perusahaan ekspedisi salah satu rekanan kami.

Setelah kerja keras dari jam 08:00 pagi sampai 20:00 malam akhirnya ratusan unit tersebut berhasil kami selesaikan, dengan melibatkan puluhan Staff, dua Manajer, satu Manajer senior dan satu Direktur yang langsung turun. Tangan beliau bahkan sempat berlumuran darah karena terkena bagian perangkat yang kebetulan cukup tajam, tapi tak menghentikannya untuk terus bekerja bahu membahu. Surprise buat saya karena pimpinan yang langsung turun ternyata memberikan dampak dan semangat yang luar biasa bagi keseluruhan team, dan hal ini menginspirasi saya untuk dapat menjadi pimpinan yang lebih baik lagi. Singkat kata selalu lah fokus pada "isi" dan jangan melulu terjebak pada "kemasan" atau kesan sepintas dalam menilai seseorang, maka dengan demikian kita akan selalu mendapatkan manfaat positif dari lingkungan dimanapun kita berada.

Solusi vs Kambing Hitam

Ada banyak cara orang untuk memimpin, akan tetapi ciri khas seorang pemimpin yang hebat adalah berani mengambil putusan (meski tidak populer), kreatif (menyempurnakan mekanisme kerja) dan inovatif (mampu berpikir secara “out of the box”), tegas, dan mampu memotivasi serta menjadi contoh bagi team-nya.
Sepanjang karir, kerap saya menemukan pimpinan dengan karakter yang berbeda, memang tidak ada yang sempurna sebagai pemimpin, meski demikian selalu ada hal2 menarik yang dapat kita pelajari dari setiap pimpinan, lalu belajar darinya serta dikombinasikan dengan hal2 terbaik dari pimpinan yang lain dan menjadikannya sebagai style kepemimpinan kita sendiri.
Salah satu atasan saya ketika masih bekerja di salah satu pusat komputer di perguruan tinggi di Bandung, pernah menghadiri rapat yang diadakan karena telah terjadi sesuatu yang fatal dalam operasional organisasi kami. Saya ingat saat itu bagaimana kami saling menyalahkan antar departemen dalam satu ruangan sehingga suasana semakin panas. Ketika suasana semakin tidak terkendali lalu beliau berkata “Maaf jika forum ini digunakan mencari siapa kambing hitam-nya, maka saya tegaskan bahwa forum ini sudah selesai karena sayalah kambing hitam-nya, tetapi jika forum ini gunanya untuk mencari solusi dari apa yang sudah terjadi, maka ayo kita sama2 hadapi masalah ini, cari solusinya dan pastikan hal ini tidak terjadi lagi kedepan”.

CODEX - Rizki Ridyasmara

Kelamaan menunggu novel terbaru Dan Brown ?, untuk pencinta buku di Indonesia rasanya tidak perlu khawatir lagi, karena karya2 novel Rizki Ridyasmara sang “Dan Brown Indonesia”siap menemani anda.

Begitu melihat papan iklan di "Toga Mas" Buah Batu - Bandung saya teringat nama Rizki ini cukup akrab beberapa tahun yang lalu dan buku yang saya lihat saat itu di “Gunung Agung” Jakarta Pusat adalah “Knights of Templar, Knights of Christ”, hanya saja karena waktu itu tidak begitu kenal penulis-nya saya urung untuk menambahkannya dalam koleksi buku di rumah. Ketika saya melihat lagi buku2 karya Rizki Widyasmara yang terbaru, seperti “CODEX”, “The Jacatra Secret” dan “The Escaped” saya jadi penasaran. Karena kebetulan di “Toga Mas” Buah Batu hanya ada dua saja, maka saya putuskan untuk memboyong kedua buku ini dulu saja. Ternyata begitu memulai halaman2 pertama “CODEX” saya kok menangkap aura “Dan Brown” meski dengan setting cerita yang berbeda dan sebagaimana buku “Dan Brown” memang sangat sulit untuk berhenti membacanya. Akhirnya meski “CODEX” belum selesai, saya putuskan untuk langsung memburu “The Escaped”, dan di “Toga Mas” Supratman buku ini saya dapatkan juga meski  “Knights of Templar, Knights of Christ” masih belum berhasil saya dapatkan dan masuk menjadi target perburuan berikutnya.



Kembali ke CODEX, buku ini mengingatkan saya akan ceramah ustadz Jerry D. Gray di musholla Wisma Metropolitan, yang buku-nya “Deadly Mist” ternyata memang menjadi sumber inspirasi dari Rizki, dan lantas memutuskan untuk mengubah-nya menjadi novel dengan setting Milan, Venesia, Parma, dan Jakarta. Sebagaimana kisah di dunia nyata mengenai kematian ratusan ilmuwan secara misterius yang terkait program rahasia pemerintah Amerika dengan “lobby Yahudi” di belakang-nya begitu jugalah buku ini dimulai.

Dengan tokoh utama seorang ilmuwan wanita yang menjadi target perburuan CIA terkait bocornya informasi dalam sebuah microchip mengenai program pemerintah AS dalam mengurangi populasi manusia, serta mantan suaminya yang  berlatar belakang mantan pasukan SAS Australia yang memutuskan menjadi novelis di Jakarta, cerita inipun dimulai. Dua organisasi mafia Italia pun dlibatkan untuk menambah seru cerita, yang konon memang punya latar belakang kerja sama dengan CIA.


Cara bercerita Rizki juga sepertinya dipengaruhi gaya sinematografi , seperti perpindahan adegan satu ke yang lain. Bab2 singkat yang kadang hanya terdiri dari dua halaman, untuk menggambarkan adegan paralel. Dan akhirnya membentuk satu cerita utuh. Meski demikian, tidak ada yang sempurna, bagi saya cara Rizki mengutip kumpulan artikel internet mengenai keterlibatan AS dalam kolusi pemerintah (baca industri senjata) dan industri farmasi terlalu apa adanya sehingga pada bagian2 tertentu terkesan tidak seperti membaca suatu Novel. Ada baiknya bagian2 yang terlalu teknis seperti ini cukup dijadikan lampiran saja. Selain itu dalam percakapan tokoh2nya kadang topik mengenai Indonesia terlalu dipaksakan yang terkesan lebih menyuarakan pendapat Rizki secara pribadi.


Hal menarik lainnya adalah pengetahuan Rizki mengenai persenjataan yang boleh dikatakan mendetail, mengingatkan saya seperti yang ditunjukkan “Frederick Forsyth” dalam novel “The Day of The Jackal” yang termasyhur itu. Untuk hal ini boleh dikatakan Rizki melebihi  “Dan Brown”. Selain persenjataan, seluk beluk Venesia, Milan dan Parma yang mengesankan Rizki seakan akan pernah disana, serta sindikat mafia Italia, juga sangat menarik dan diceritakan secara detail termasuk arti kata Cosa Nostra, yang disinyalir oleh Rizki ada hubungannya dengan kolonisasi pasukan muslim pada daerah tsb beberapa abad yang lalu mengutip hadist Nabi mengenai “Sesungguh komunitas muslim  bagaikan satu tubuh…”. Tetapi yang paling menarik bagi saya adalah terbukanya misteri pohon “Gharqad” yang sering disebut sebagai pohon Yahudi, dan ada dalam salah satu hadist Nabi, yaitu tak lain dan tak bukan adalah pohon yang sangat akrab dengan dunia kita, yaitu pohon pinus, dan yang juga menjadi lambang Mossad, serta saat ini menjadi obyek yang digunakan dalam target penghijauan kawasan Israel.

Akhir kata, putusan Rizki Ridyasmara untuk menyampaikan fakta via novel,sepertinya patut diancungi jempol, meski publikasi dan penerbit yang dipilih mungkin tidak cukup "berusaha" menyampaikan karya bagus ini ke lebih banyak pembaca.



Friday, December 02, 2011

9 Summers 10 Autumns - Iwan Setyawan

Rasanya tidak aneh kalau Iwan mengakui bahwa dirinya adalah pencinta sastra semacam Dostoyevsky sang novelis Rusia, karena buku yang dia tulis menggunakan style yang tidak umum seakan akan merupakan wawancara imajiner dengan sosok-nya ketika kecil dan masih berseragam putih merah. Dan duet kedua tokoh beda masa ini, menggiring pembaca dengan cara flashback sambil secara paralel masih bercerita tentang kekinian, sehingga akhirnya kita jadi jelas kenapa Iwan berada di New York. Bagi yang terbiasa membaca biografi dengan model linier, bisa jadi agak sedikit kaget dengan cara Iwan bercerita. Cara bercerita ini mengingatkan saya akan salah satu film besutan M.Night Shyamalan dan dibintangi Bruce Willis serta Haley Joel Osment yang pernah saya tonton beberapa tahun yang lalu, tepatnya “The Sixth Sense”, dimana salah satu tokoh yang kita kira manusia, di akhir film ternyata sosok “halus”.

Meski tidak setebal ataupun bahkan bersambung seperti Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, tetapi buku yang terbilang tipis ini mampu menjelaskan secara komprehensif tentang sosok Iwan. Salah satu hal paling unik di buku ini adalah obsesi Iwan melanglang buana justru dipicu oleh hal yang sangat sederhana, yaitu ingin memiliki kamar tidur sendiri, maklum kondisi ekonomi Ayah Iwan yang hanya seorang supir angkutan jebolan kelas 2 SMP dan sosok Ibu yang tidak tamat SD, tinggal di rumah yang sangat sempit 6x7 meter dengan total tujuh anggota keluarga.



Pesan Iwan dalam buku ini juga sederhana tetapi mengena, yaitu bersungguh sungguhlah dalam bekerja dan selalu menjalin hubungan baik dengan sesama, hal ini tentu didasarkan pada kesempatan pertama untuk bekerja di Jakarta tepatnya Nielsen didapat Iwan dari seorang kenalan di Warung Nasi, serta kesempatan kedua bagi Iwan untuk berkarir di New York sampai akhirnya sepuluh tahun kemudian menjabat salah satu posisi Direktur di Nielsen New York, justru dari informasi sosok yang “tidak disukai” di Kantor, dan ternyata memperhatikan kualitas Iwan secara diam2.

Siapa tokoh paling penting bagi Iwan ? dalam buku ini Iwan menggambarkan Ibu hampir disetiap Bab, baik petuah2nya, cara hidupnya, ketabahannya, dan bagi Iwan tanpa Ibu sudah pasti dia tersesat. Dengan cinta, motivasi dan doa, sosok Ibu selalu memberikan dorongan yang tidak habis habis. Ibu juga selalu berusaha agar setiap kali makanan yang dimasak pas dan tidak bersisa, serta Ibu juga dilukiskan Iwan sebagai sosok yang ahli membuat dadar supir tipis bagi tujuh anggota keluarga dengan potongan ala pizza.

Membaca buku ini rasanya sangat dekat bagi saya secara pribadi, karena ketika Iwan melukiskan orang2 berdasi di Sudirman, yang merupakan obsesi Iwan, saya mendadak menyadari kalau saya sendiri juga bekerja di kawasan yang sama (meski jarang berdasi), begitu juga ketika Iwan melukiskan kehidupan di Batu, yang juga cukup akrab dengan saya, karena beberapa kali berlibur kesana mengunjungi kakak perempuan saya yang memang berdomisili di Batu. Salut juga buat keputusan Iwan yang di puncak karir justru kembali ke Batu, demi ikut terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat anak2 yang punya potensi namun memiliki keterbatasan.

Pastikan ada peluang, baru investasi kemudian.

Saat kuliah aku dan sahabat karibku (yang sekarang merantau ke New Zealand setelah sempat ikut proyek pembuatan salah satu film komedi bersama Padhayangan), membuat ikatan mahasiswa penggemar fotografi. Ternyata dapat sambutan yang cukup hangat, dan bukan cuma yang berminat pada fotografi ikut bergabung melainkan juga yang berminat menjadi model. Pada masa itu hobi fotografi masih sangat mahal, bukan cuma karena kamera tetapi lebih ke film dan proses cuci cetaknya. Uniknya perasaan deg2an menunggu hasil pencucian lalu proses cetak menjadi sensasi tersendiri yang saat ini mungkin tidak lagi diperlukan karena kita bisa langsung melihat hasilnya via memory card yang sudah built ini dalam perangkatnya.

Singkat kata setelah beberapa kali kegiatan klub fotografi, di mana  kami dapat dengan bebasnya memotret para model kampus yang tercantik atau paling tidak merasa dirinya “cantik”, kami mulai tertarik untuk aktivitas yang berbau bisnis, lantas dengan perangkat ala kadarnya milik sahabatku, dan juga dengan modal pengalaman-nya sebagai salah satu fotografer majalah wanita ibukota, serta bantuan kakak perempuanku yang kebetulan bekerja di Savoy Homann, salah satu Hotel yang menjadi “landmark” Bandung dan terletak depan Gedung Asia Afrika, kami membuat brosur, yang berisi profil hotel tsb, lengkap dengan desain grafisnya serta efek fotografi yang kami buat dengan satu set filter “cokin”. Lantas draft brosur tersebut oleh Kakakku diserahkan ke General Affairs Dept Hotel, yang dengan serta merta ternyata menyatakan ketertarikannya pada karya kami. Lantas kami ditawarkan untuk membuat brosur,dan diberi kesempatan untuk tinggal beberapa malam di Hotel (termasuk Hotel Panghegar yang pada saat itu memang satu group dengan Savoy Homann), mengamati kegiatannya, mendokumentasikan obyek2 paling menarik seperti Restoran Berputar di atap Hotek Panghegar.

Sejak saat itu kami mulai mendapatkan proyek2 lainnya selain sesekali memotret pernikahan, disamping itu kamipun mulai dapat order dari Hotel lainnya seperti Hotel Pasundan. Namun kami sering sekali kesulitan dengan lampu ala kadar-nya yang kami miliki begitu juga dengan kamera yang kami gunakan. Meski sahabatku sudah menggunakan Nikon dan aku sendiri Pentax, tetapi kami tidak memiliki lampu yang lebih baik serta Polaroid yang memungkinkan pengambilan awal untuk memastikan semua pencahayaan sudah sesuai. Kami juga tidak memiliki “spot meter” ataupun “light meter” untuk mengukur intensitas cahaya sehingga dapat menentukan “diafragma”, “asa” dan “shutter speed” yang sesuai.

Karena berambisi dapat menghasilkan karya yang lebih baik, maka kami mulai berpikir untuk mencari modal. Saat itu aku teringat adik ibu yang paling kecil dan yang tersukses di antara Ibu bersaudara akan datang ke Bandung. Lalu aku dan sahabatku segera menyiapkan presentasi sederhana mengenai usaha yang kami bangun ini. Beliau manggut2 mendengar betapa begitu menggebu gebu dan bersemangatnya kami. Setelah panjang lebar bercerita dengan berbusa busa serta menyebutkan suatu nilai yang kami perlukan, Paman lalu bertanya mana “pipeline” kami, dan berapa potensi per item prospek dan kapan terealisir pengembalian dana-nya. Sangat kaget mendengar pertanyaan itu, kami cuma bisa terdiam. Lalu Paman berkata, ini bukan soal duit tetapi bagaimana pertanggung jawaban kalian terhadap pemodal, dan belajarlah meyakinkan orang secara komprehensif.

Saat itu aku sangat malu pada sahabatku, mengingat kami sejak awal berpendapat bahwa Paman adalah jalan keluar dari kesulitan finansil kami, tetapi dengan berjalannya waktu, kini aku menyadari apa yang dimaksud Paman, sebagai investor sejati sangat wajar Paman meragukan nilai yang ditanam dapat berkembang, kalau kami sendiri tak tahu persis situasi pasar. Hal ini menjadi sesuatu yang selalu aku ingat hingga sekarang.