Tuesday, January 31, 2012

Klub Film - David Gilmour

Sepintas melihat buku ini saya sama sekali tidak tertarik, cover-nya lebih mirip buku teks tentang hal2 yang bukan merupakan minat saya, dan sama sekali tidak terlihat sebagai novel. Tapi karena nama-nya yang sama dengan gitaris Pink Floyd, maka saya coba membaca beberapa komentar di halaman belakang, lantas akhirnya saya putuskan untuk memboyong buku ini segera.

Ketika akhirnya membaca, saya mulai tertarik dengan cara bercerita Gilmour yang mengalir dan sangat jujur. Gilmour sama sekali tidak menutup masalah2 yang dia hadapi, baik pernikahan-nya yang mengalami kegagalan, kesulitan dia dalam mendidik anak lelaki yang sedang labil dalam menuju masa dewasa-nya, kehidupan ekonomi-nya yang pasang surut dan kadang harus menganggur beberapa lama, belum lagi ditambah hobi-nya makan di restoran yang makin mempercepat buruknya kondisi finansial dia meski kadang memperoleh keuntungan yang cukup besar dari proyek2 film yang dia dapat.



Cerita ini bermula dari kesulitan mantan istri Gilmour dalam mendidik Jesse sebagai orang tua tunggal, dan lantas meminta Gilmour gantian yang mengambil peran ini. Di saat awal Gilmour sudah lantas kesulitan karena Jesse mengalami masalah besar dengan nilai2nya di sekolah, mulai merokok, pacaran dan kehilangan orientasi akan masa depan.  Cukup pusing dengan cara Jesse melihat sekolah, maka akhirnya Gilmour melakukan putusan yang sangat aneh, dia memperbolehkan Jesse untuk berhenti sekolah namun dengan satu syarat, merek berdua harus menonton paling tidak tiga film seminggu dengan film yang dipilih sendiri oleh Gilmour, yang jika dilanggar maka Gilmour tidak akan segan2 menghentikan tunjangan tempat tinggal, dan lain2. Meski pada awalnya Jesse meloncat kegirangan, akan tetapi pelan2 dia mulai melihat jalan buntu dan suram dalam kehidupan-nya jika dia terus2an bersikap seperti sekarang.

Setelah hubungan ayah dan anak ini mulai terbina, maka lambat laun lewat film2 yang mereka tonton Jesse mulai mengalami perubahan karakter, di akhir cerita Jesse pelan2 mulai menata hidupnya, dimulai dari bekerja sebagai operator telepon, lalu pencuci piring disebuah restoran dan lantas menjadi asisten koki, hingga akhirnya kembali sekolah dan lulus dan memulai karir-nya dalam sebuah band musik remaja. Dikisahkan bagaimana Jesse yang tadinya cuek, mulai merasa bahwa Ayah-nya lah sahabat satu-satunya dimana dia dapat bercerita apa saja yang tdak dapat dia ceritakan pada sahabat-nya.  Dan Gilmour berusaha menempatkan Jesse sebagai tokoh utama dalam buku-nya dan tidak berusaha tampil sebagai sosok yang “paling tahu” atas segala sesuatu.

Jujur, saya cukup miris melihat kehidupan anak muda Amerika, minuman keras, gonta ganti pasangan, hubungan kebablasan dalam usia belasan, keluar malam, dan obat2an. Sekalipun Jesse dibesarkan oleh orang2 dewasa seperti Maggie, Gilmour dan Ibu Tiri-nya Tina, yang boleh disimpulkan sebagai orang2 yang “baik”, tetap saja sulit buat mereka untuk membentuk Jesse menjadi pemuda yang berguna. Jika di Indonesia kita tidak hati2, maka kita bisa saja menuju jurang kehancuran sebagaimana anak2 muda Amerika di masa ini.

Buat siapa sih buku ini ?, ya saya rasa setiap Ayah yang memiliki anak lelaki sepertinya akan tertarik dengan buku ini, atau penggemar film yang ingin tahu banyak latar belakang pembuatan film, dan ingin tahu adegan terpenting dalam sebuah film. Berbagai komentar penting yang mewarnai sejarah film seperti Clint Eastwood, Stanley Kubrick, dll dikutip dalam buku ini. Sejujur-nya Gilmour adalah bagaikan HB Jassin-nya dunia film, meski sebagian besar referensi film-nya memang produksi Amerika.

Sherlock Holmes - A Game of Shadows (2011) - Guy Ritchie


Kali ini Ritchie menggambarkan pertemuan Holmes dengan Moriarty, dan bagi saya karya Sherlock Holmes nya  Ritchie yang kedua ini jauh lebih memuaskan di banding karya sebelumnya. Kompleksitas masalah, lawan yang tangguh, lokasi yang eksotis, misteri yang dibangun membentuk film ini menjadi tontonan yang kuat. Dan enaknya sama sekali tidak diperlukan menonton ataupun mengingat ingat film sebelumnya untuk menikmati film ini.





Tidak seperti film pertama yang masih membingungkan kita dengan cara Ritchie menggambarkan kemampuan memprediksi Holmes, kali ini kita sudah lebih siap menyaksikan adegan yang muncul. Kembali memunculkan Irene Adler yang kalau dalam karya Sir Arthur Conan Doyle merupakan satu2nya wanita yang paling mungkin “dicintai” Sherlock Holmes meski setelah-nya memerankan peran-nya akan tetapi langsung menghilang karena di racun oleh Moriarty. Tak lupa dimunculkan juga Mycroft Holmes yang dalam buku digambarkan sebagai abang Holmes yang otak-nya bagaikan “walking dictionary“ sehingga memiliki status tinggi dalam kepemerintahan meski tak punya jabatan prestisius.

Ceritanya sendiri bermula dengan banyak-nya bom yang meledak dimana mana, dilain pihak Moriarty diketahui melakukan pembelian sebuah pabrik senjata dan lantas diduga menjadi dalang, agar pabrik senjata-nya dapat segera berproduksi secara penuh, untuk ini dia membutuhkan adu domba agar perang yang dinanti nanti segera berjalan. Dengan bantuan seorang dokter bedah bernama Hoffmanstahl, Moriarty melakukan peniruan beberapa tokoh dunia agar dapat menjalankan strategi-nya dengan lebih baik.

Sadar bahwa Holmes dan Watson sangat berbahaya, maka orang2 Moriarty berusaha membunuh Watson yang pada saat itu akan berbulan madu dengan istrinya. Adegan pertarungan di Kereta Api sangat seru, dan ditampilkan dengan banyak shoot close up. Guy Ritchie juga secara sadar menampilkan beberapa hal konyol dalam film ini seperti penyamaran Holmes sebagai wanita di kereta api yang luar biasa kasar, kuda pony Holmes yang menyebabkan sebagian penonton sakit perut serta  cara Mycroft menyebut nama Sherlock dengan Sherly.


Selain karakter Holmes (diperankan oleh Robert Downey) yang menunjukkan perkembangan di banding film sebelumnya, karakter Moriarty (diperankan Jared Harris) yang pada awalnya meragukan ternyata menunjukkan kematangan pada bagian2 akhir, meski posturnya tidak mengesankan sebagai juara tinju yang memang menjadi latar belakang Moriarty, namun kekuatan akting-nya memukau dan sekelas dengan Anthony Hopkins si jagal Hannibal dalam Silence of The Lamb.

Adegan akhir pertarungan Holmes dan Moriarty sangat menarik, mereka digambarkan bermain catur, sementara secara paralel semua “pion”, sudah mereka set di ballroom untuk melakukan pertarungan yang sebenarnya, dan saat Holmes menyadari dia akan kalah secara fisik mengingat bahunya cedera ketika menggerebek pabrik senjata Meinhart milik Moriarty di Jerman, maka dia memilih cara pertarungan lain dengan Moriarty, dan berhasil dia lakukan secara dramatis, meski mereka berdua harus jatuh ke air terjun yang sangat deras dan tinggi, terletak dibawah bangunan tempat mereka bertarung.

Saat keduanya jatuh, maka semua mengira Holmes tewas, meski tubuh keduanya tidak ditemukan, namun belakangan saat Watson sedang menulis petualangan terakhir Holmes, dan harus keluar untuk menemui seorang pengantar surat, mendadak pada sebuah korsi muncul Holmes dengan pakaian khusus penyamaran yang sebelumnya sudah dibuatkan clue-nya oleh Ritchie, lalu menambahkan tanda tanya setelah kalimat “The End”.

Warna Tanah, Air dan Langit - Kim Dong Hwa

Mulai kenal Kim Dong Hwa di komik Chicken Soup yang sangat menyentuh, akhirnya membuat saya memutuskan untuk membeli trilogi novel grafis warna Tanah, Air dan Langit (2003) ini. Ketiga buku ini cukup tebal dan masing2 sekitar 300 halaman serta berformat lebar, dan dibungkus dalam sebuah kotak karton cantik, yang sekaligus merupakan wadah dari trilogi ini.

Cerita-nya sendiri berpusat pada kehidupan dua wanita di Namwon sebuah kampung kecil di Korea, yaitu seorang janda dan anak perempuan-nya Ehwa. Sang Janda memiliki warung yang sering menjadi tempat persinggahan para pria petani yang sebagian besar merupakan warga di desa kecil dimana mereka tinggal. Sang Janda yang cantik digambarkan dengan sabar menahan diri dari godaan lelaki iseng yang justru merupakan langganan loyal meski akhirnya jatuh cinta pada seorang tukang gambar keliling. Khusus Ehwa, mendapat fokus lebih, di buku ini, karena perkembangan-nya, menstruasi pertama, cinta monyet sampai akhirnya malam pengantin digambarkan dengan komprehensif oleh Kim.

Ada kesan yang kuat kalau wanita merupakan sosok yang sangat familiar bagi Kim, karena kedua perempuan tokoh utama yang ada di buku ini memiliki karakter dan penggambaran yang sangat feminin. Cara berpikir, tindak tanduk Ehwa dan Ibunya dalam nofel grafis semua menunjukkan kemampuan Kim dalam menyelami pikiran wanita. Bagi kebanyakan pria, komik ini mungkin tidak menarik, karena tidak adegan perkelahian seru, sangat banyak dialog dan terobsesi dengan berbagai bunga.



Tokoh negatif dalam buku ini cukup banyak, mulai dari sepasang teman Ehwa yang “gatal”, dan cenderung melakukan  hal2 tidak senonoh, Bos-nya Duksam ataupun para petani genit yang senantiasa mengeluarkan kata2 “mesum” ke Sang Janda. Sebaliknya Ehwa digambarkan sebagai seorang gadis pemalu yang baik hati, sebagaimana Ibu-nya. Selain Ehwa dan Ibu-nya, ada  beberapa tokoh dalam buku ini merupakan sosok yang mewakili citra baik seorang pria, misal seorang Tuan Muda yang merupakan anak salah satu tokoh terpandang, pendeta muda Chung Myung, tukang gambar kekasih Si Janda ataupun Duksam yang akhirnya berhasil meminang Ehwa. 

Novel grafis ini sendiri tidak direkomendasikan bagi pembaca belasan tahun, karena cukup banyak adegan2 dewasa, yang sempat membuat saya terkaget kaget atau bahkan malu sendiri.  Mulai dari adegan pasangan gatal teman Ehwa, sampai dengan malam pengantin di Warna Langit saat Ehwa akhirnya memutuskan menikah dengan Duksam. Bertolak belakang dengan penggambaran yang agak “panas”, kata2 di buku ini lebih layak dianggap sebagai puisi dan terkesan filosofis.

Beberapa hal yang bagi saya tidak nyaman, penggambaran pasangan “gatal” teman Ehwa yang berlebihan dan terkesan vulgar, lelaki genit di warung yang kadang bahkan tanpa malu merogoh rogoh “senjata-nya” di depan Si Janda (sehingga terkesan eksibisionis), atau pasangan tua yang ikut2an melakukan ritual malam pengantin pada saat yang sama dengan Ehwa dan Duksam sehingga merusak gambaran keindahan malam pengantin Ehwa. Juga jadi tanda tanya bahwa meski Ehwa dinikahkan secara resmi, akan tetapi pernikahan Sang Janda dengan Tukang Gambar keliling sama sekali tidak digambarkan, padahal dengan karakter ibu yang sudah protagonis, sayang kalau status ini menimbulkan pertanyaan.

Diluar itu dialog yang indah, kepribadian Ehwa yang membuat pembaca ikut jatuh hati, nasib percintaan pendeta budha muda yang tragis, merupakan faktor plus dari novel grafis ini. Tentu dibalik dialog yang indah tersebut, kita tidak boleh melupakan Rosi Simamora, yang tanpanya maka karya ini akan turun kelas. Lewat buku ini, secara tidak langsung kita juga belajar adat istiadat Korea, yang dengan rajin dijelaskan oleh Kim pada footnote2 khusus.

Hari pertama sekolah

Entah kenapa kedua anak lelaki Ibu (aku dan abang ucok demikian kami sekeluarga biasa memanggilnya) dimasukkan ke sekolah dasar saat usia kami masih lima tahun. Jadi kami berdua hampir selalu menjadi anak yang paling kecil / muda di kelas masing2. Meski demikian di usia itu, aku sangat bangga bisa bersekolah, karena rasanya tidak enak setiap hari melihat Bang Ucok dan Kak Eli berangkat dengan seragam rapi serta membawa tas dan pergi belajar. Kalau boleh memilih memang lebih enak meninggalkan (pelaku) dibanding ditinggalkan (korban).

Semalam sebelum hari pertama masuk sekolah, Ayah dan Ibu bersama aku belanja semua kebutuhan sekolah dengan menggunakan motor dinas Suzuki A100, andalan Ayah. Setibanya di toko maka kami segera berbelanja pinsil warna, buku tulis, peruncing pinsil, tempat pensil serta buku2 pelajaran, yang semuanya dimasukkan dalam koper plastik berwarna biru.  Pada masa itu dan seperti umumnya di kota2 kecil, toko biasanya merangkap untuk berjualan berbagai produk, misalnya toko buku bisa saja merangkap sebagai toko pakaian.

Sungguh tas yang benar2 berat ketika akhirnya semua-nya dimasukkan, tetapi entah kenapa aku tidak mau berpisah dengan semua peralatan itu, meski Ibu sudah berulang kali menjelaskan kita cukup membawa buku pelajaran hari itu saja. Kasihan karena tas yang terlalu berat, malam2 Ibu mengeluarkan beberapa peralatan belajar, tetapi ketika paginya aku merasa ada yang salah dengan berat koper, maka aku memeriksa dan akhirnya mengetahui apa2 saja yang dikeluarkan, serta merengek untuk meminta semuanya dikembalikan ke koper. Maka dengan berat hati Ibu melepas anak bungsu-nya (saat itu adikku belum lahir) yang sambil terhuyung huyung tetapi penuh semangat berjalan terseok seok mengikuti Kak Eli dan Bang Ucok menuju SDN 11 Sibolga.

Meski paling kecil di kelas, aku relatif masih belum ada masalah, sampai suatu hari di sekolah kami, pada pelajaran Agama, saat biasanya kelas dibagi menjadi dua. Karena di Sibolga persentase Agama Islam dan Kristen nyaris berimbang, maka setiap pelajaran Agama Kristen, seringkali justru anak2 Islam mengalah pindah ke kelas lain. Ketika guru mengatakan anak2 Kristen tetap dikelas, aku memutuskan untuk bertahan karena tidak mengerti apa agama ku. Lalu melihat aku bertahan, maka dengan semangat Guru agama Kristen memulai pelajaran tentang penyaliban, penebusan dosa, dll sambil wajah-nya sering2 diarahkan padaku dengan penuh minat.

Sepertinya teman2 Kak Eli ada yang melihat situasi ini, dan lantas melaporkan-nya. Tidak terbayang betapa kagetnya Kak Eli melihat adik-nya belajar Agama Kristen. Lantas berusaha memberi isyarat lewat jendela, tetapi aku memilih bertahan karena tertarik gambar Salib dan Yesus yang oleh guru dibuatkan ilustrasi-nya di papan tulis. Frustrasi dengan penolakanku, Kak Eli memberanikan diri mengetok pintu, dan lantas minta izin mengajak aku ke luar kelas, tetapi Guru dengan tenang mengatakan “Biarlah adikmu memilih mana yang cocok bagi-nya”. Kak Eli dengan sedikit histeris menolak dan segera menyeret tanganku keluar kelas, dan dengan demikian upaya ku berpindah agama yang pertama dan sekaligus terakhir gagal.

Hal yang paling sulit saat bersekolah adalah membaca, aku menggunakan metode yang salah dalam hal ini yaitu dengan menghapal keterkaitan antara gambar dengan setiap teks pada setiap halaman. Pada awalnya cukup lancar, sampai akhirnya tibalah masa2 sulit yaitu halaman2 tanpa gambar. Saat itu lah baru Ibu tahu aku masih saja tidak bisa membaca, maka sambil menggendong  adik bungsuku, Ibu turun tangan mengajarku membaca berhari hari, dengan mengeluarkan ilmu Guru-nya, sampai akhirnya aku menjadi yang paling cepat membaca di kelas. Ada cerita lucu saat mulai mengenal huruf, bosan melihat Ayah yang sepertinya selalu berpikir saat mengisi TTS, maka dengan sok taunya aku juga memiliki hobi mengisi TTS, bedanya aku bisa lebih cepat karena tak perlu melihat pertanyaan, melainkan cukup mengisi setiap kotak dengan huruf apapun yang bisa aku tulis.

Saat itu beberapa guru yang kurang disukai anak2 di beri julukan. Sering mendengar cerita Kak eli dan Abang Ucok tentang p'Sompel, salah satu guru yang ditakuti, aku jadi berhati-hati apabila berpapasan dengan beliau. Namun suatu hari beliau memanggilku lalu mengatakan "Bilang sama Ayah, pak Guru ingin sekali kalender Pos dan Giro", dan aku mengangguk mengiyakan seraya ketakutan. Saat itu kalender adalah benda yang sulit ditemukan, jadi biasanya kalender yang di cetak perusahaan sering menjadi rebutan. Namun Ayah tak pernah benar2 merespon masalah yang aku hadapi. Situasi ini menyebabkan aku selalu menghindari p'Sompel. Namun untung tak dapat diraih dan malang tidak dapat ditolak, suatu saat aku kepergok, dan p'Sompel, langsung menagih kalendar, dan dengan gugup aku menjawab terbata-bata "Ka ka ka lendar-nya ti ..tidak ada pak Sompel". Tertegun mendengar nama ejekan-nya aku sebutkan, namun p'Sompel cepat mengendalikan perasaan-nya, dan berkata "nama bapak bukan pak sompel, jangan pakai nama itu lagi ya". Aku tertegun dan segera menyingkir, menyadari nama itu nama ejekan yang di sematkan anak2 pada beliau.

Tuesday, January 24, 2012

Saga No Gabai Bachan - Yoshichi Shimada

Buku ini berkisah tentang seorang anak (merupakan kisah sebenarnya dari kehidupan Yoshichi atau dengan nama asli Akihiro Tokunaga) yang karena situasi ekonomi sulit di Hiroshima dititipkan oleh Ibu-nya ke Nenek-nya di sebuah kampung bernama Saga.  Tinggal bersama Nenek-nya memberikan warna yang luar biasa bagi Yoshichi kecil dalam memandang hidup. Meski Sang Nenek sangatlah miskin (bahkan Yoshichi menyebutnya Super Miskin) tetapi Yoshichi belajar untuk melihat segala sesuatu dengan hati riang dan tetap optimis. Nenek sendiri menyebutnya sebagai “miskin ceria” yang berbeda dengan “miskin muram”, dan bagi Nenek tentu saja pilihan sebagai “miskin ceria” adalah pilihan yang jauh lebih baik dan tetap bangga meski dikenal sebagai keluarga miskin turun temurun.



Mereka begitu miskin-nya, sehingga Nenek memasang perangkap sampah di sungai di depan rumah. Setiap kali mereka melihat hasil tangkapan untuk memilah mana yang bisa dimanfaatkan dan mana yang tidak. Nenek bahkan menganggap sungai bagaikan super market yang mengantarkan sendiri belanjaan tanpa memberi kesempatan pada pembeli untuk memilih belanjaan. Kadang mereka mendapatkan lobak maupun timun rusak, yang kata Nenek jika bagian rusaknya dibuang tak seorangpun dapat membedakannya dengan timun baik jika sudah menjadi acar. Sikap optimis Nenek juga terlihat ketika menemukan sebilah sandal di perangkap sungai, dan menolak ide Yoshichi untuk menjadikannya kayu bakar, dan benar, sekitar tiga hari kemudian pasangan sandal tersebut terperangkap di tempat yang sama.

Nenek juga kemana-mana selalu membawa magnet berukuran besar, yang akan menarik semua barang logam sepanjang jalan, yang kalau dikumpul dalam ember bisa dijual ke pengepul. Tetapi meski selalu hidup dalam kekurangan, jika ada tamu ataupun orang yang memerlukan bantuan, Nenek tidak akan segan2 menguras persediaan makanan atau minuman bahkan uang tabungan yang dia miliki untuk membantu orang lain.

Cara Nenek memandang hidup sangat simpel, setelah kebutuhan wajib seperti sandang, pangan dan papan ala kadarnya terpenuhi maka selebihnya adalah syukur pada Sang Pencipta. Nenek juga tak pernah berlebih lebihan dalam melakukan sesuatu, seperti nasihatnya ke Yoshichi, kala melihat cucunya belajar “Jangan terlalu rajin belajar, nanti jadi kebiasaan” atau “Nilai rapor apapun asal bukan nol tidak masalah, toh jumlah dari semua nilai jelek akan menyamai nilai bagus juga”.

Begitu juga cara Nenek menyelesaikan solusi masalah pelajaran Yoshichi di Sekolah, “Nek aku tidak mengerti bahasa Inggris”, kalau begitu tulis jawaban “Maaf saya orang Jepang”, “Nek aku benci sejarah”, kalau begitu tulis jawaban “Saya tidak menyukai masa lalu”.  Karena hidup yang sulit Nenek juga tidak mampu membelikan atribut olah raga Kendo bagi Yoshichi, begitu juga sekedar baju untuk Judo, sehingga akhirnya menganjurkan Yoshichi olah raga lari saja yang tidak membutuhkan biaya, dan menganjurkannya untuk tidak mengenakan sepatu agar tidak perlu mengganti sepatu sebelum waktunya. Tetapi saran Nenek ini lah yang akhirnya mengantarkan Yoshichi sebagai kapten baseball di sekolahnya sekaligus mendapatkan beasiswa ke tingkat SMA.
Watak Nenek yang luar biasa juga menimbulkan respek di hati banyak orang, sebagai contoh Tukang Tahu langganan Nenek memberikan separuh harga untuk tahu yang rusak (sudah tidak berbentuk kotak). Suatu hari saat Yoshichi ingin membeli tahu, betapa kecewanya Yoshichi ketika melihat ke dalam wadah tahu si Tukang Tahu tidak ada tahu yang rusak, namun dengan tersenyum dengan sengaja Tukang Tahu merusak beberapa tahu, agar Nenek dapat membeli tahu hari itu dengan separuh harga. Begitu juga Dokter mata yang menggratiskan biaya berobat bahkan memberikan duit untuk ongkos pulang bagi Yoshichi karena mengagumi kerja keras Nenek-nya. Respek terhadap Nenek juga ditunjukkan di sekolah oleh guru2nya yang secara bergantian setiap tahun setelah perlombaan atletik juga selalu berpura pura sakit perut dan menukar makan siang mereka dengan milik Yoshichi, karena menyadari betapa sederhana-nya ransum yang dia miliki.

Setelah Nenek meninggal Yoshichi semakin menyadari apa2 yang disampaikan Nenek sungguh sungguh sesuatu yang berharga, dan buku ini merupakan tanda kecintaan Yoshichi bagi Nenek-nya yang dia harapkan dapat menginspirasi banyak orang dalam memandang hidup. Akhir kata mari kita resapi kata2 Yosichi yang terinspirasi dari gaya hidup Nenek yaitu “Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang, kebahagiaan adalah yang sesuatu yang dapat kita tentukan sendiri, dan oleh hati kita”.

Le Petit Prince - Saint Exupery

Saat masih SMP mata saya terpaut pada salah satu buku koleksi perpustakaan sekolah, yaitu Le Petit Prince. Ilustrasi cover-nya sangat menarik, dan digambar dengan warna warna pastel dan belakangan baru saya ketahui bahwa semua ilustrasi dalam buku ini digambar sendiri oleh Exupery. Ilustrasi ini juga mengingatkan saya akan album Duke dari Genesis. Exupery sendiri selain sebagai sastrawan memiliki profesi sampingan yang tak terduga yaitu sebagai pilot. Hanya saja pada usia 44 tahun di tahun 1944 dalam penerbangan terakhirnya beliau menghilang saat terjadi WW2. Banyak yang menyangka pesawat beliau ditembak tentara Jerman meski akhirnya hanya Tuhan yang tahu. Meski telah meninggalkan kita semua, ada dua karya beliau yang memiliki reputasi dunia. Selain Le Petit Prince yaitu Terres de Hommes (diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi “Wind, Sand and Stars” serta ke bahasa Indonesia menjadi “Bumi Manusia”).



Saat SMP  itu meski tertarik dengan buku ini, saya merasa kesulitan membaca-nya, belakangan setelah membaca ulang saat dewasa saya baru menangkap “keindahan tersembunyi” karya Exupery ini. Uniknya persis sebelum membeli dan membaca kembali  buku ini, saya sempat membaca salah satu komik Kim Dong Hwa yang merupakan interpretasi grafis dari beberapa kisah pilihan dari Chicken Soup of The Soul, dimana dikisahkan seorang wanita yang sedang dalam perjalanan kaget menemukan buku milik-nya sendiri saat masih kecil pada sebuah toko buku bekas, dan tergoda untuk membeli buku Le Petit Prince namun akhirnya memutuskan untuk tidak jadi membelinya kembali, karena berharap buku ini akan menemukan anak2 lain yang dapat menikmatinya, sambil berharap Le Petit Prince dapat kembali ke asteroid-nya sendiri yaitu B612.

Mirip seperti kisah nyata yang dia alami sendiri saat pesawatnya jatuh di Gurun Libya, dan nyaris mati kehausan selama tiga hari, seperti itulah Exupery memulai ceritanya. Pangeran Kecil yang akhirnya bertemu dengan Sang Pilot bercerita pada Sang Pilot bagaimana akhirnya mereka bertemu di Gurun tersebut. Pangeran kecil sudah melakukan perjalan yang sangat jauh dan bertemu dengan banyak orang, seperti pertemuan-nya dengan Sang Raja yang menganggap selain dirinya adalah rakyat-nya, pertemuan dengan Si Sombong yang menganggap selain dirinya adalah fans-nya, pertemuan dengan sang Ahli Ilmu Bumi, yang tak pernah benar2 menjelajahi bumi, dengan Sang Ahli Keuangan yang tak pernah benar memiliki semua harta yang dia yakini dia miliki, begitu juga dengan pertemuan dengan Si Pemabuk,  sepertinya merupakan pandangan sinis Exupery pada kebanyakan manusia dewasa di sekitarnya.

Sosok Le Petit Prince, IMHO lebih merupakan sosok Exupery dalam memotret sosok dewasa di sekitarnya. Sosok dewasa digambarkan lebih fokus pada faktor “kulit” ketimbang faktor “isi”, misalnya jika seorang anak mengatakan betapa indahnya rumah, yang dihiasi bunga dan taman yang cantik, maka orang dewasa baru akan tertarik jika kalimat tersebut diubah menjadi betapa indahnya rumah yang berharga mahal dengan menggunakan angka / harga sebagai fokus utama-nya. 

Kembali ke ilustrasi, saya mengagumi apa yang sudah dibuat Exupery, meski teknik ilustrasi-nya pas2an, tetapi apa yang di gambarkan adalah sekaligus visualisasi yang paling pas atas apa yang dia tulis. Tak seorangpun selayaknya meragukan ini, dan teks serta ilustrasi secara bersama sama merupakan bagian tak terpisahkan. Rasanya tak heran kalau buku ini merupakan salah satu buku Prancis yang paling banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia dan konon mencapai 230 bahasa. Dan bagi kita manusia dewasa, buku ini mengingatkan penting-nya memahami bagaimana anak2 berkomunikasi, dan bukankah kita dulu pernah juga menjadi anak2 ?

The Wizard of Oz - L.F. Baum

Bertahun tahun yang lalu poster film klasik Wizard of Oz pernah membuat saya penasaran. Petualangan seorang Gadis Cilik, seekor Anjing Kecil, Manusia Kaleng dengan kapak, Manusia Jerami dan seekor Singa Penakut, sangatlah memancing rasa ingin tahu. Namun hingga kini film itu tetaplah misteri bagi saya hingga suatu saat melihat sebuah buku berjudul sama, yang langsung saya sambar untuk dihadiahkan pada anak bungsu saya. Banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya buku ini juga merupakan inspirasi dari salah satu komposisi Elton John berjudul “Goodbye Yellow Brick Road” yang lirik-nya di tulis Bernie Taupin. Begitu juga Ozzy Osbourne vokalis “gendeng” ex Black Sabbath yang banyak memanfaatkan kemiripan nama-nya dengan tokoh dalam buku ini.



Setelah melihat Si Bungsu begitu tekun-nya membaca buku ini, dan selalu membawa-nya kemana-mana sekalipun sedang dalam perjalanan di jok belakang mobil ataupun ketika pergi ke kursus musik Yamaha di hari Sabtu, saya jadi tertarik untuk meminjam-nya dan ikut2an menikmati kisah yang sangat terkenal ini. Buku ini dibuat oleh L.F. Baum di 1900 an, yang sepertinya kecewa dengan dongeng ala Grimm bersaudara yang pada masa itu sangat digemari. Menurut Baum, buku2 Grimm sering sekali tidak cocok buat anak2 dan cenderung “sadis”. Karena itu Baum memutuskan memberikan alternatif bagi anak2 di masa itu.

Cerita-nya bermula ketika rumah pertanian yang ditempati Dorothy (si Gadis Cilik) bersama paman dan bibi-nya di daerah pedesaan Kansas diterpa angin kencang, dan Dorothy beserta anjing-nya Toto terseret dan terdampar di suatu negeri lain. Namun tanpa sengaja rumah yang juga terseret pusaran angin tersebut menimpa seorang penyihir jahat yang akhirnya menjadikan Dorothy sebagai pahlawan kesepian di negeri asing. Dorothy yang ingin pulang ke Kansas akhirnya mendapatkan informasi untuk menemui seorang penyihir lain yaitu Oz yang Agung, dan untuk pergi kesana, Dorothy harus mengikuti jalan batu bata kuning (Yellow Brick Road). Dalam perjalanan, Dorothy menemukan sahabat Manusia Jerami yang ikut karena ingin mencari otak, lalu Manusia Kaleng karena ingin mencari hati, dan Singa Penakut karena ingin mencari keberanian.
Uniknya setelah melalui perjalanan yang luar biasa sulit, dan sempat menyebabkan Manusia Jerami terjebak di tengah sungai, Manusia Kaleng dihempaskan Monyet Bersayap sehingga rusak berat yang juga mluluh lantakkan Manusia Jerami hingga menjadi tumpukan jerami dan potongan2 baju yang tersangkut di pucuk pohon, dikejar2 Kalidah si monster hutan serta Singa Penakut terperangkap racun ladang bunga poppy, ternyata mereka harus menerima kenyataan bahwa Oz tak lebih, hanyalah seorang penipu.

Meski demikian cerita ini mengajarkan untuk mengetahui potensi yang ada dalam diri seseorang, bahwa Sang Singa telah memiliki keberanian, Manusia Kaleng telah memiliki hati, dan Manusia Jerami telah memilki otak, hanya saja mereka tidak menyadarinya. Petualangan dahsyat yang mereka lalui memaksa mereka mengeluarkan potensi tersebut. Cerita ini mengingatkan saya sebuah cerita tentang seorang anak lelaki yang selalu diintimidasi teman2nya sehingga dia bertemu seorang tua yang memberikan batu ajaib yang membuat dia memiliki keberanian (tapi yang jelas ini bukan batu Ponari) , dan meski lantas berhasil menyelesaikan persoalannya, namun kehilangan batu tsb dan akhirnya mengetahui bahwa batu tsb hanyalah batu biasa dan sebenarnya dia memiliki keberanian dalam dirinya hanya selama ini tidak tahu bagaimana harus mengeluarkannya.

Selain cerita batu ajaib dan keberanian saya merasa cerita ini memiliki kemiripan dengan kisah seorang pendeta (mewakili manusia) yang bersama sama Sun Go Kong (mewakili kecerdasan), Siluman Kuda (mewakili kekuatan) dan Siluman Babi (mewakili hawa nafsu) pergi jauh ke timur untuk mencari ilmu Sang Budha.

Thursday, January 19, 2012

Who Wants To Be Smiling Investor - Lukas dan Thomdean

Setelah menamatkan kartun Larry Gonick tentang sejarah kebudayaan, dan teringat tentang rekomendasi salah seorang sahabat tentang karya Lukas Setia Atmaja dan Thomdean, maka saya segera mencari buku ini. Dan ternyata benar2 tidak salah pilih, karena komik ini sangatlah menarik, meski teknik gambar yang digunakan Thomdean tidak luar biasa namun bagaimana Lukas menyederhanakan kompleksitas ilmu persahaman (baca stocks), dan cita rasa humor Thomdean membuat komik ini jadi luar biasa menarik.

Di awal buku, kata pengantarnya saja sudah tidak biasa, menolak menggunakan istilah “sekapur sirih” dan menggantinya dengan “satu lot saham” sudah membuat kita geli, belum lagi perkenalan dengan tokoh yang nantinya akan mengawal kita memahami hal2 sulit, diantaranya Profesor Telo, yang merupakan tokoh utama dalam buku ini. Tak lupa tokoh Sapi yang muncul dimana mana serta memberikan komentar2 lucu.



Setiap Bab, diawali dengan petuah singkat dari orang2 yang dikenal sebagai empunya dunia ini, seperti Warren Buffet. Akan tetapi salah satu petuah cukup membuat saya tercengang adalah yang dikutip dari Baron Nathan Rotschild yaitu “Buy when there’s blood in the streets”, Hemm apakah ini sebabnya dinasti Rostchild  diisukan menjadi dalang perang dunia ? karena pembelian terbaik dilakukan saat terjadi kekacauan, dan kekacauan bisa dibuat, persis seperti Soros mengacak2 sebagian dunia dan menyebabkan kejatuhan pemerintah Orde Baru, dengan memainkan mata uang, lantas perusahaan2 tersebut dapat dibeli dengan harga luar biasa murah.

Buku ini benar2 membuka mata kita akan dunia stocks, bagaimana memilih-nya, beda antara tipe trader (fokus pada keuntungan jangka pendek) dan investor (fokus pada keuntungan jangka panjang) dalam strategi, beda antara tipe fundamental (fokus pada yang tidak terlihat) dan teknikal (fokus pada yang terlihat seperti fluktuasi harga), cara2 terbaik dalam memilih stocks (dengan menempatkan telur tidak hanya pada satu keranjang)  dll. Kita juga diingatkan untuk berpikir jauh kedepan dan tidak terjebak dalam dunia konsumtif (pembelian barang2 yang lebih mementingkan keinginan dibanding kebutuhan), serta bukan cuma investasi pada properti, emas, obligasi pemerintah atau sekedar menabung di Bank.

Informasi di buku ini juga membantu kita memahami kasus Enron, juga trick jahat yang digunakan korporasi dengan “menggoreng” stocks. Setiap akhir Bab ada kesimpulan yang sangat menarik dan dibuat dengan sederhana dan membuat kita lebih memahami maksud dan tujuan Bab tersebut.  Judul2 lucu pada setiap Bab seperti “Delapan Jurus Dewa Mabuk”, “Saya Datang Saya Lihat Saya Beli”, membuat kening kita tidak perlu berkerut untuk memahami point2 penting yang disampaikan duet ini.

Cara duet guru besar keuangan di Prasetya Mulya dan Kartunis ini mengakhiri buku, dan mengubah daftar pustaka menjadi kocak juga menarik, dan mirip dengan teknik yang digunakan Larry Gonick, yang ternyata merupakan inspirasi mereka berdua. Latar belakang Lukas yang juga penggemar komik masa lalu seperti Gundala, juga mengindikasikan hal ini membantu keduanya untuk dapat memunculkan karya yang  memiliki sinergi dan chemistry nan pas dan cair. Juga ditambah dengan komik pendek yang menggambarkan "cara kocak dalam membuat komik kocak" . Benar2 buku yang direkomendasikan untuk jadi koleksi

Tuesday, January 17, 2012

Ucapkanlah apa yang kau ketahui dan ketahuilah apa yang kau ucapkan

Salah satu customer saya merupakan perusahaan asing yang kebetulan memiliki usaha eksplorasi gas di Papua kita sebut saja PT B. Mereka memiliki standar sangat tinggi di bidang keamanan kerja. Jika di customer lain, bobot presentasi selalu didominasi performansi, maka sebaliknya di PT B, presentasi bagaimana team menjalankan prinsip keamanan dan kesehatan dalam kerja (HSE) menghabiskan lebih dari setengah materi presentasi. Apalagi baru2 ini mereka mengalami salah satu musibah terbesar dalam dunia eksplorasi bumi.

Suatu hari saya dan team diminta memresentasikan performansi kerja dan implementasi HSE tiga bulan terakhir. Sebelumnya kami sudah melakukan simulasi untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik. Karena sesuai pengalaman, meski pekerjaan bagus jika tidak dipresentasikan dengan baik, maka tidak akan dapat memberikan kesan yang baik. Hal ini seperti memberikan kado bagus dengan bungkus jelek misalnya kertas koran.

Sesaat sebelum presentasi, mendadak salah satu PIC customer menitipkan satu slide tanpa sepengetahuan saya, dan meminta PM (project manager) sekaligus presenter  mengangkat issue tsb dalam forum. Sayang-nya team saya belum sempat bertanya maksud slide tsb dan berasumsi bahwa slide itu akan dibantu untuk dijelaskan oleh PIC ybs.  Ketika akhirnya presentasi baru mulai, Manager PT B (sebut saja T dan dikenal sebagai sosok berkarakter “angker”) yang memimpin jalan-nya forum dan  presentasi bertanya makna salah satu singkatan pada slide titipan, dan team saya tentu saja sama sekali tidak mampu menjawab-nya. PM melirik sang penitip, sambil memberikan isyarat memohon bantuan, tetapi begitu melihat gelagat tsb dengan suara keras dan tegas, T mengatakan bahwa dia hanya minta jawaban dari presenter dan tidak dari yang lain.

Lalu dengan suara lirih PM mengakui bahwa dia tidak tahu singkatan yang dimaksud, maka dengan murka, T berkata, “Saya berprinsip setiap orang harus tahu apa yang dia buat, jika tidak maka tidak usah mengatakan apapun tentang itu, dengan ini saya minta forum dihentikan, dan persiapkan diri anda lebih baik pada kesempatan berikutnya !” Dengan demikian maka sesi tersebut berakhir secara memalukan, dan ini menjadi pengalaman berharga bagi saya dan team.

Friday, January 13, 2012

The Khilafa - Zaynur Ridwan

Ini Novel keempat Zaynur yang saya baca, dan di luar novel Indonesia Inc (II), novel The Khilafa (TK) merupakan suatu kesatuan trilogy bersama sama The Greatest Design (TGD), lalu Novus Ordo Seclorum (NOS). Sepertinya riset dua tahun dalam Novel TGD masih menyisakan materi yang cukup bernilai dan dapat dijadikan sebagai novel ketiga. Saat tugas ke Samarinda, begitu ada waktu senggang saya menikmati novel ini sepanjang perjalanan. Dan mencoba menuliskan resensi-nya saat menunggu pesawat yang akan membawa saya kembali ke Jakarta di Bandara Sepinggan.
 Tetapi sayang-nya lagi2 sebagaimana TGD dan juga NOS, novel ini juga tidak memiliki ending yang memuaskan. Berbeda dengan II yang memiliki ending cantik, Trilogy TGD, NOS dan TK masih menyisakan teka teki besar, tadinya saya berharap dengan novel ketiga ini semua ending yang tidak pas pada kedua novel sebelumnya akan diselesaikan dengan cantik. Apakah kesemua ending Trilogy ini terjadi karena memang Zaynur tidak ingin berandai andai, terkait sebagian besar data yang ditampilkan mengacu pada fakta yang sebenar-benarnya ? sehingga mengira ngira ending justru akan menjauhkan trilogy ini dari fakta ? saya rasa iya.  Meski demikian Zaynur tetap secara cerdas membuat pembaca-nya terpaku dan penasaran untuk menjelajahi novelnya lembar demi lembar dengan hasrat menggebu yang sulit dihentikan.
Tokoh2 yang terlibat masih Bumi, lalu Syaikh Naggar (yang di TGD juga memainkan peran sentral meski muncul belakangan), Aurora Bulan (Ibu Bumi yang juga seorang professor di bidang sains), dan sosok tambahan yaitu Dokter Mayra dan adiknya yang cacat Faisal. Sayang-nya tokoh Maria kali ini tidak kita temukan (padahal adanya tokoh Maria ini membantu pembaca non Muslim sekaligus Non Yahudi bahwa Yahudi adalah musuh semua umat). Novel ini memainkan skenario-nya di Gaza, Palestina dan dibuka ketika Bumi mengunjungi Masjidil Aqsa di saat Ramadhan, namun mengalami musibah karena dihajar tentara Israel tetapi sekaligus juga keberuntungan karena dapat menghindarkan diri dari ledakan yang menyebabkan semua penumpang bis tewas.
Selain Palestina atau Gaza, secara umum, maka secara khusus kehidupan di bawah lorong2 tanah juga digambarkan oleh Zaynur dengan mendetail. Serta juga bagaimana rencana perlawanan akan dilakukan dengan persenjataan kimia lewat pipa2 bawah tanah yang meneruskan racun ini lewat sebuah pabrik kimia yang juga dibangun di bawah tanah. Skenario persenjataan kimia ini bagi saya pribadi tidaklah Islami, khususnya karena efeknya tidak mengenal jenis sasaran, sedangkan perang ala Nabi sangat lah menghargai wanita, anak2, orang tua, lawan yang sudah menyerah, binatang dan bahkan sehelai daun.
Novel ini juga mengingatkan kita akan pengorbanan Rachel Corrie, wanita Amerika  yang berani berdiri melawan gerak maju buldozer Israel, meski akhirnya beliau terjatuh, lantas kakinya digilas hingga patah, dan di hantam penggaruk buldozer berkali kali sampai akhirnya tewas. Kisah Al Dorrah anak dan ayah, yang dihajar bertubi tubi dengan tembakan, meski sudah memohon ampun, begitu juga dengan penderitaan Palestina secara umum atas perkosaan, penggusuran, penggunaan senjata dengan teknologi kejam seperti CSM3 dan Fosfor. Juga diungkapkan kasus penculikan 7600 anak2 Palestina sejak tahun 2000 yang dirusak masa depan-nya agar kelak tidak menjadi Mujahid yang membahayakan eksistensi Israel.  Perlu diketahui bahwa Israel juga satu-satunya Negara yang tidak mempunyai tapal batas yang jelas, dan sejak perjanjian Oslo di 1993 masih terus tumbuh menjadi 3x lipat lebih luas. Juga fakta yang sering dilupakan orang, adalah Bangsa Yahudi bukanlah bangsa pertama yang tinggal di kawasan ini, sehingga klaim mereka atas kawasan ini dengan menggunakan kitab2 mereka sambil menggusur bangsa lain adalah suatu hal yang  sulit untuk diterima.
Kita diingatkan kembali bahwa usaha2 untuk merubuhkan Masjidil Aqsa masih terus berjalan, dan kelak akan dikurbankan Sapi Merah (yang proses kloning-nya sudah final) serta diselesaikan-nya Haykal Sulaeman untuk menyambut datangnya Raja Yahudi (Dajjal). Dan sesuai dengan nubuat, saat itu sudah sangatlah dekat. Perhitungan astronomi, di 2014 sd 2015, dua hari besar Yahudi (Paskah dan Tabernakel) bertepatan dengan 4 gerhana bulan berturut turut yang disebut juga dengan BloodMoon atau Tetrad dimana warna bulan akan terlihat merah, sedangkan dua hari besar lainnya (Nisan atau tahun baru Yahudi dan Trumpet) bertepatan dengan dua gerhana Matahari. Dan Tetrad ini adalah yang terakhir di abad, dan ini dipercaya merupakan isyarat datang-nya Raja Yahudi.
Akhir kata, novel ini sesungguhnya mempermalukan umat (baik Indonesia yang jauh maupun tetangga2 Palestina yang jauh lebih dekat), yang bersikap seakan akan semua berjalan normal, padahal semua penindasan ini masih terus berlangsung hingga kini, dan lewat novel ini semoga kita semua tercerahkan.

Wednesday, January 11, 2012

Panji Koming - Dwi Koendoro

Saat jalan2 ke Toga Mas Buah Batu, mata saya tertarik melihat pojok discount buku2 Mizan, dan tertumbuk pada dua buah komik Dwi Koendoro edisi koleksi 85-86 dan 87-88. Komik ini tadinya merupakan serial yang muncul di Kompas Minggu. Muatan utama-nya merupakan kritik dan diperankan oleh beberapa tokoh. Bagi penggemar komik pastilah nama Dwi Koendoro ini tidak asing, dan tidak tanggung2, dalam keluarganya bukan cuma Dwi Koendoro yang terjun dalam dunia coret mencoret, nama istrinya yang sering ditulis dengan Cik DK juga merupakan ilustrator rubrik sains dalam beberapa majalan anak2.
Tokoh utama adalah Panji Koming sendiri yang merupakan sosok pemuda dengan karakter polos dengan pipi tembem, dan sahabatnya diperankan Pailul seorang pemuda kurus, bungkuk dan kritis. Untuk meramaikan cerita Dwi Koendoro menempatkan pasangan wanita dari masing2 tokoh , yaitu Ni Woro Ciblon dan Dyah Gembili, serta tak lupa sosok yang mewakili pejabat pemerintah yang digambarkan sebagai sosok sok tau yaitu Adipati Arya Kendor yang sering lupa “berdiri” karena keasikan “duduk”.  Serta sosok penting yang penampilannya bagaikan Gandalf di Lord of The Ring, yaitu si mbah, yang memberikan nasihat bila mana perlu dan, kadang jadi dukun, dan bahkan mampu melakukan teleportasi obyek2 dimasa depan untuk dimunculkan di abad Majapahit.
Hal2 yang dikritik oleh Dwi Koendoro sangat beragam, mulai dari kedatangan artis luar negeri, kenaikan BBM, SDSB, bencana alam, janji pemilu, dll. Karikatur-nya sendiri digambarkan dengan sangat halus tetapi tajam, sepertinya pengakuan Dwi Koendoro bahwa ybs merupakan turunan Ronggo Warsito meski cuma kebagian “gila”nya cukup beralasan. Tak heran kalau pada masanya Kompas dan Dwi Koendoro berkali kali mendapat teguran bahkan beberapa sempat mendapat larangan tayang. Pada era Soeharto sebagaimana kita ketahui sensor sangatlah ketat, dan rezim pendukung Soeharto kadangkala menginterpretasikan sekedar “batuk kecil” dari Sang Penguasa menjadi proses breidel, meski mengorbankan hajat hidup banyak orang.
Secara teknik gambar, tidak banyak yang bisa kita angkat, karena Dwi Koendoro cenderung bermain aman, dan tidak bermain dalam ranah perspektif, gelap terang ataupun sejarah “wardrobe” dan teknologi di era Majapahit. Akan tetapi Dwi Koendoro harus diakui cukup banyak akal untuk menterjemahkan masalah saat ini ke era dulu, misal mengganti kecelakaan pesawat ke kecelakaan gerobak, dll.  
Sebagai saran bagi peminat komik ini,  yang diperlukan selain kecerdasan, salah satunya adalah latar belakang kenapa suatu strip dirilis, tanpa pemahaman soal latar belakang ini, akan sulit memahami “sindiran” Dwi Koendoro. Rasanya terima kasih banyak mesti kita ucapkan bagi Mizan, yang mau bersusah payah menerbitkan komik menarik ini. Akhir kata Ironis  juga  menyadari bahwa obyek yang menjadi bahan kritikan Dwi Koendoro saat ini ternyata masih sangat banyak yang relevan dengan kekinian, sepertinya apa yang pernah disampaikan Soekarno, mengenai idiom “Jas Merah” (jangan melupakan sejarah) masih sangat mengena.

Wednesday, January 04, 2012

Iconoclast - Symphony X

Masih terkesan dengan Paradise Lost, jujur agak kaget dengan kompleksitas Iconoclast album ke delapan Symphony X. Perlu waktu yang cukup lama bagi saya untuk dapat menikmati album ini, yang bahkan lebih berat dari A Dramatic Turn of Events nya Dream Theater. Salut buat Russell Allen yang masih sempat menyediakan waktu untuk membuat album ini meski beliau sudah cukup disibukkan dengan Jorn Lande di Allen Lande serta dengan Mike Portnoy di Adrenaline Mob.

01. Iconoclast (****)
02. The End Of Innocence (****)
03. Dehumanized (***)
04. Bastards Of The Machine (***)
05. Heretic (***)
06. Children Of A Faceless God (****)
07. When All Is Lost (*****)
08. Electric Mesiah (***)
08. Prometheus (I Am Alive) (***)
09. Light Up The Night (***)
10. The Lord of Chaos (***)
11. Reign In Madness (****)
Untuk permainan seperti biasa Michael Romeo masih yang terbaik untuk ritem, dengan sound berat andalan-nya beliau memainkan berbagai macam teknik ritem dengan cepat dan akurat. Sayang untuk melodi beliau masih harus angkat topi pada John Petrucci, ini terlihat di Track When All Is Lost, track luar biasa ini sayang-nya tidak diisi dengan permainan melodi cantik. Meski unison antara Pinella dan Romeo di bagian awal sangat menjanjikan. Dalam album ini saya memberikan apresiasi khusus bagi Jason Rullo, yang benar2 dapat menjaga seksi drum sehingga menjadi bingkai yang presisi bagi semua track dalam album.



Track kedua terbaik menurut saya adalah sekaligus track terpanjang dalam album ini, tepatnya yang merupakan lagu pembuka sekaligus merupakan title dari album, juga merupakan track terumit. Membutuhkan lebih dari 6x spin untuk bisa menikmati track yang satu ini.

Tema yang diangkat dalam album ini berhubungan dengan ketika mesin mengambil alih segalanya dari manusia, mengingatkan saya akan komik Arad dan Maya yang menceritakan kejadian serupa. Artwork sendiri masih dikerjakan oleh Warren Flanagan yang juga mendesain artwork untuk Paradise Lost. Di zaman digital ini effort ekstra untuk artwork patut dikagumi, ini menunjukkan perfeksionis-nya Symphony X. Meski hal2 seperti ini memang umum-nya merupakan ciri band progressive.


Pada awalnya saya agak sedikit bingung dengan istilah iconoclast, soalnya ,mengingatkan saya akan penghancuran icon (iconoclasm) saat kejayaan imperium Byzantine. Dimana pada masa itu semua simbol agama khususnya patung dihancurkan karena dianggap tidak sesuai dengan keyakinan. Dalam Sejarah Islam iconoclasm juga  terjadi ketika Nabi Muhammad menduduki Mekkah dan menghancurkan semua berhala yang ada.

Akhir kata meski album ini layak koleksi saya menilai album ini sedikit dibawah Paradise Lost, dan cenderung selevel dengan The Odyssey. So penantian empat tahun dari album sebelumnya tidak lah sia sia.
 

Novus Ordo Seclorum - Zaynur Ridwan

Ini novel Zaynur ketiga yang saya baca, dan teknik penulisan-nya semakin matang di banding The Greatest Design (TGD). Lagi2 Zaynur menunjukkan kemampuan-nya sebagai penulis Novel dengan skenario kuat, serta begitu banyak referensi tambahan tanpa harus membuat Novel ini menjadi ganjil. Cara yang ditempuh adalah dengan menciptakan sosok Aurora Bulan (yang digambarkan sebagai ibu-nya Bumi), yang melakukan seminar dari satu negara ke negara lain sekaligus memberikan pemahaman pada pembaca, sehingga plot-nya terasa wajar. Bagi saya kualitas Novel ini sedikit diatas TGD, namun hal ini bisa dimaklumi mengingat TGD merupakan novel fiksi pertama Zaynur. 



Meski sudah cukup banyak membaca soal Novus Ordo Seclorum (NOS), saya masih cukup surprises dengan informasi baru yang dimunculkan Zaynur, yaitu Burung Hantu Moloch yang ternyata muncul disebelah angka satu dalam pecahan satu dollar Amerika. Juga upacara yang dilakukan perkumpulan ini (baca Bohemian Grove) diantara pohon2 besar Redwood. Secara content apa yang disajikan dalam buku ini mirip dengan CODEX-nya Rizki Ridyasmara, akan tetapi lagi2 harus diakui keahlian Zaynur dalam meramu fakta dan fiksi memang setingkat lebih tinggi.

Membaca Novel ini, sangatlah sulit untuk berhenti, sampai dini hari rasanya mata masih terus haus dengan informasi dan kejadian2 yang bakal di hadapi tokoh2 dalam buku ini yang lagi2 mengangkat Bumi dan Maria (dua keturunan Kohen yang sempat muncul dalam The Greatest Design).  Dalam petualangan kali ini mereka harus berurusan dengan misteri meninggal-nya tiga petinggi Mason, dengan luka2 yang sangat khusus dan diakibatkan chip yang terpasang di wajah mereka. Ketiga-nya meninggalkan misteri kata2 dan Codex Magica yang terucap saat sekarat dan tulisan “The Best of Karma Be The Masonic”. Ajaibnya kalimat ini memiliki masing2 anagram sesuai dengan siapa korban-nya.

Berbekal dengan petunjuk dari korban, maka mereka melakukan petualangan sampai ke Washington, yang menjadi tempat dirancang-nya program depopulasi umat manusia. Dengan menggunakan tangan WHO lewat Codex Alimentarus, maka organisasi yang dirancang oleh Adam Weishaupt, terus menerus akan berusaha menciptakan dunia dibawah satu pemerintahan. Uniknya agen FBI yaitu Vinod, dalam buku ini justru berada dalam kelompok yang sama dengan Bumi dan Marie, meski pada awalnya Marie sempat berusaha menghindar dari FBI.

Zaynur juga mengingatkan bahwa lagu Imagine John Lennon, merupakan lagu kebangsaan kaum Mason. Perhatikan lirik berikut “Imagine there's no countries #  It isn't hard to do # Nothing to kill or die for #  And no religion too # Imagine all the people living life in peace # You, may say # I'm a dreamer #  but I'm not the only one # I hope some day you'll join us # And the world will be as one”. Lirik ini jelas2 mengimpikan dunia di bawah satu pemerintahan dan terang2an mengajak kita untuk bergabung.

Selain itu diungkapkan juga tokoh2 penting dunia adalah kaum Mason, dengan jabatan2 yang mereka miliki akan semakin mudah bagi mereka untuk melakukan depopulasi lewat berbagai instansi dan komunitas bisnis yang notabene dipimpin oleh mereka sendiri. Program ini bisa melalui penggunaan fluoride dalam pasta dan proses penjernihan air, penggunaan aspertame sebagai pemanis makanan. Selain itu penggunaan vaksin dari perusahaan besar di industri farmasi juga disusupi dengan berbagai macam program depopulasi. Saat ini statistik penyebab kematian penduduk mulai didominasi berbagai macam bentuk kanker sampai dengan sekitar 40%, tentu saja sangat layak bagi kita untuk menyelidiki kenapa hal ini terjadi. 

Buku ini merupakan buku yang sangat direkomendasikan untuk dimiliki. Dan lagi2 buku ini mengingatkan saya akan penting-nya hidup sehat, dengan menggunakan produk obat2an serta makanan yang sedapat mungkin menggunakan prinsip Back to Nature.

Tuesday, January 03, 2012

Kartun Riwayat Peradaban - Larry Gonick

Banyak orang mengatakan sejarah yang digunakan adalah selalu sejarah versi pemenang. Kita saat ini pelan pelan melihat bagaimana sejarah di Indonesia versi Soeharto mulai bergeser ke versi lain, misalnya saat peristiwa G30S, dimana pada era Soeharto hanya diarahkan pada satu versi dengan “buku putih”. Memang tidak mudah untuk menyimpulkan apa yang sudah terjadi dan dapat diterima semua pihak, contoh sederhana saja misalnya dalam permainan sepak bola jika terjadi pelanggaran meski di lakukan reply dengan slow motion dari segala sudut, tetap saja apakah gol yang masuk offside atau tidak, sering sekali jadi kontroversi.



Begitu juga karya Larry Gonick (1946) dalam buku Kartun Peradaban, seorang ahli matematika alumni Harvard dengan Summa Cum Laude, yang memilih berprofesi sebagai kartunis, yaitu buku sejarah yang dibuat dengan menggunakan kartun, dimana cukup banyak terjadi kontroversi yang mau tak mau harus kita telan ketika mengeksplorasi buku ini.

Kontroversi pertama adalah soal evolusi, dimana tidak digambarkan sama sekali faktor Tuhan sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci (tetapi anehnya dalam perkembangan kebudayaan berikutnya Gonick malah menggunakan kitab suci sebagai referensi) dalam proses munculnya mahluk hidup, melainkan semata mata bahwa semua kehidupan berasal dari air, dan proses evolusi kemudian menghasilkan mahluk yang kita kenal saat ini, pertanyaan simpel-nya adalah, kenapa fosil mahluk yang menjadi perantara (missing link) hingga kini tidak ditemukan, kenapa kecoa yang sudah berusia jutaan tahun sosok-nya tidak berubah ?, kenapa saat ini masih ada monyet kalau manusia dianggap sosok yang lebih sempurna mengarungi waktu ?, dan darimana datang-nya nyawa dan kemana nyawa akan pergi ?

Kontroversi kedua, adalah sosok Yesus yang digambarkan dengan sangat sederhana dan melakukan hubungan “khusus” dengan Maria Magdalena, yang mana saya yakini juga tidak dapat diterima mayoritas penganut Kristen.

Kontroversi ketiga, adalah sosok Budha yang digambarkan Gonick wafat karena kebanyakan makan daging babi, tentu saja ini hal yang saya yakin tak dapat diterima kebanyakan umat Budha.  Sebagian umat Budha sebenarnya lebih berpegangan pada sejumlah literatur bahwa yang dimaksud adalah adalah jamur Kaki Babi, yang memang merupakan tanaman yang digemari sejumlah Babi, dan bukan daging Babi itu sendiri.

Kontroversi keempat, adalah kesan bahwa Nabi Muhammad seakan akan ngambek pada sekumpulan kaum Yahudi dan lantas memindahkan kiblat dari Yerusalem ke Mekkah, yang mana umat muslim meyakini perubahan tersebut adalah karena turun-nya ayat saat Nabi memimpin sholat Lohor di Mesjid Qiblatain (mesjid dengan dua kiblat). Untung saja editor buku ini menambahkan keterangan tambahan sehingga tidak semata mata menggunakan interpretasi Gonick. Umat Yahudi pada masa Nabi juga digambarkan seakan akan selalu menjadi pihak yang menjadi korban Muslim, padahal dalam banyak literatur Islam, Yahudi dianggap selalu melanggar kesepakatan. Piagam Madinah adalah bukti bahwa pada masa itu setiap keyakinan memeroleh hak-nya masing masing dengan adil, begitu juga dengan penaklukan Yerusalem oleh Umar bin Khatab, ataupun Shalahuddin Al Ayubi, yang sangat menoleransi kebebasan berkeyakinan. Meski demikian putusan Gonick untuk tidak menggambar Nabi Muhammad, bahkan juga sekalian juga dengan empat  khalifah setelahnya patut dihargai.

Membaca buku ini cukup berat, saya sendiri membutuhkan paling tidak enam hari untuk menamatkan ketiganya. Berbeda dengan buku teks biasa, bagi seorang penikmat ilustrasi, halaman2 tertentu dinikmati sebagai karya seni sehingga membuat satu halaman sajapun perlu waktu yang lebih lama. Saya tidak merekomendasikan buku ini bagi anak2, karena banyak adegan pemotongan kepala, pencungkilan mata, hubungan intim tidak wajar, pembantaian musuh, dll.
Kualitas gambar Gonick tidak konsisten, kadang ada beberapa bagian dari buku ini terkesan digambar secara asal2an. Teknik gambarnya masih jauh dibawah Uderzo akan tetapi untuk selera humor Gonick layak mendapat pujian. Idealnya Gonick seharusnya juga menggambarkan beberapa versi untuk kejadian2 yang saat ini masih menjadi kontroversi, dengan demikian buku ini bisa dinikmati oleh lebih banyak komunitas tanpa harus kehilangan rasa “nyaman”.