Thursday, May 31, 2012

Road Salt One - Pain of Salvation

Hanya mendengar beberapa lagu di album Road Salt One (2010) ini dan sedikit kecewa mendengar porsi dan kualitas instrumen musik-nya yang terasa semakin turun, maka fokus saya beralih ke yang lain, begitulah yang terjadi dengan album POS yang ini. Namun ketika hampir semua koleksi di USB 16 GB  sudah saya dengar dan belum sempat meng”copy” koleksi baru lainnya dari notebook, maka Senin lalu saat perjalanan dini hari ke Jakarta dari Bandung, sepanjang tol saya coba kembali memutar album POS ini. Hemm ternyata kali ini saya menyadari saya sudah sangat mengabaikan album ini, suasana kesendirian dan dingin-nya dinihari (jam 03:00) ternyata sangat membantu saya memahami karya Gildenlow dan saya merasa berdosa menyepelekan "Road Salt One".


Sebagai ekspresi permintaan maaf saya ke POS, maka saya coba membuat review album, dengan harapan semoga siapapun tidak segan2 menjadikan album ini sebagai obyek eksplorasi musik ala POS. Kebanyakan orang melihat album2 awal mereka pastilah menganggap POS beraliran progressive metal seperti “Entropia” (1997) ataupun “One Hour By The Concrete Lake” (1998), namun IMO bagi penggemar metal album “Road Salt One” ini sudah pasti terdengar sangat “aneh” apalagi riff2 berat  seakan akan digusur dari album ini. Apakah kecenderungan ini baru2 saja ?, sebenarnya sih tidak karena track ajaib “Disco Queen” di album “Scarsick” (2007) sudah menunjukkan “kesintingan” Gildenlow memasukkan unsur disko. Tapi jika anda terbiasa mendengar vokal di album2 Peter Gabriel baik saat solo maupun ketika bersama Genesis, album “Road Salt One” ini sangatlah nikmat. Mohon tetap diingat jika anda menginginkan solo instrumen yang indah, dan dominan sebagaimana kolaborasi Petrucci-Rudess di Dream Theater, maaf saja, album ini bukanlah untuk anda. Harus diketahui meski kualitas vokal Gildenlow luar biasa, namun skill musisi lain di POS cenderung biasa saja. Dalam hal ini Gildenlow seperti putri raja yang terperangkap di desa terpencil, dengan fasilitas seadanya, untung saja kecantikan-nya dapat menutupi segala kekurangan di desa tersebut meski tidak maksimal.
Terdiri dari 13 track, boleh dibilang 12 track masuk kategori oke, kecuali track 7 “ Sleeping Under The Stars” yang lebih  mirip musik sirkus.  Dengan perincian sbb;
1. "What She Means To Me"   0:50 (**)
2. "No Way"   7:09 (****)
3. "She Likes to Hide"   2:57 (***)
4. "Sisters"   6:15 (*****)
5. "Of Dust"   2:32 (***)
6. "Tell Me You Don't Know"   2:42 (***)
7. "Sleeping Under the Stars"   3:37 (*)
8. "Darkness of Mine"   4:15 (****)
9. "Linoleum"   4:55 (****)
10. "Curiosity"   3:33 (***)
11. "Where It Hurts"   4:51 (****)
12. "Road Salt"   4:40 (****)
13. "Innocence"   7:13 (****)

Track satu, sangat pendek, meski cukup mengagetkan karena terlalu manis serta dibawakan dengan paduan suara namun langsung mengantar kita ke indahnya track dua yang menggigit dengan gaya rock’n roll tempo lambat, namun benar2 larut mendengar Gildenlow melolong, menggeram, serta berbisik. Hemm memang disinilah asyiknya Gildenlow dan selalu bagi saya terdengar bagaikan Peter Gabriel.
Track tiga dimulai dengan gaya blues dan kali ini dihiasi solo Hallgreen meski doi hanya bermain di tujuh track dalam album ini, dan tidak seasyik track dua tetapi masih oke lah untuk dinikmati. Lanjut ke track empat, dimulai dengan nada2 muram, dan lalu nada2 mandarin dengan iringan violin menambah ajaib lagu ini, dan bagi saya ini salah satu track terbaik, rasanya kalau menjadi “theme song” film, ini akan menjadi track yang sangat pantas dan “memorable”.  
Track lima, kembali rintihan Gildenlow membetot sukma pendengar-nya, memang penjiwaan ybs terhadap lagu harus diancungi jempol, lepas dari dominasi syair yang memang menjadi porsi Gildenlow. Namun tak lama mendengar track ini (karena sangat singkat) kita sudah langsung berhadapan dengan track dengan intro akustik track 6, lalu dilanjutkan dengan solo bergaya blues yang dimainkan Gildenlow ditengah tengah komposisi. Lalu lanjut ke track tujuh sekaligus track terburuk di mata saya.
Track delapan, diawali dengan bau psychedelic dan gelap sesuai dengan judul “Darkness of Mine” track ini langsung menggebrak di reff-nya namun tetap sangat serasi dengan intro awal-nya. Jangan berharap ada ketukan yang jelas di track ini, pendekatan yang digunakan Gildenlow lebih mirip curhat diiringi musik. Track sembilan diawali teriakan2 Gildenlow mengingatkan saya akan sosok guru kejam di album “The Wall” nya Pink Floyd. Track sembilan sangat ekspresif dan cara bernyanyi Gildenlow mengingatkan saya akan “Back In NYC” dari album konsep “The Lamb Lies Down on Broadway” nya Genesis.
Track sepuluh, secara umum tidak ada yang khusus, meski tetap menawan dengan teriakan “Curiosity” yang diulang ulang untuk memberikan tekanan pada makna track ini. Track sebelas diawali dengan suara keyboard dengan sound2 seperti mainan pengantar tidur anak2 pada film horor, lalu dengan gaya yang sama horor-nya Gildenlow setengah berbisik menonjok jiwa pendengarnya. Pada track ini nada2 yang dimainkan sangat asyik khususnya di saat reffrain, menjelang akhir lagu teriakan Gildenlow cukup mengagetkan, jika anda menjadikan lagu ini sebagai pengantar tidur jangan kaget kalau tiba2 mimpi buruk.
Track duabelas, dimulai dengan gaya jazzy namun muram dan ditambah dengan sound keyboard yang entah kenapa mengingatkan saya akan track “No Quarter” nya Led Zeppelin. Track tigabelas tetap dapat dikelompokkan dalam track terbaik di album ini. Kesimpulan akhir, album ini meski tanpa riff2 berat ala metal, drum dengan sound kering dan terkesan live  serta minus rapatnya double bass, lalu dengan permainan bass setengah hati dan keyboard tanpa solo2 ekspresif, namun tetap album yang dahsyat. Saya pribadi salut dengan konsistensi Gildenlow yang pernah menolak konser di US selama beberapa tahun karena tidak suka kebijakan Bush dalam penerapan prosedur imigrasi ini, memang mempunyai karakter yang keras dan sangat diperlukan di area progressive yang fans-nya terbatas. 

Wednesday, May 30, 2012

Zaman Edan - Richard Lloyd Parry

Ada tiga hal yang menarik dalam buku setebal 451 halaman ini (yang edisi asli-nya berjudul “In the Time of Madness : Indonesia on the Edge of Chaos”), pertama; ketika Parry menggambarkan kerusuhan 1997 di Kalimantan Barat (Kalbar), saat saya juga sedang terjebak di Sambas dan harus menunggu situasi tenang untuk kembali ke Singkawang, dengan beberapa balita dalam rombongan.  Hal kedua; yang menarik, bagaimana Parry mampu memilih profesi yang disukai-nya berkeliling ke daerah rawan dengan resiko tinggi sebagai orang asing namun tetap dapat menjadikan “hobby”-nya sebagai mata pencaharian. Hal ketiga;  adalah Parry lebih senang berada di titik pusat kekacauan dan merekam segala sesuatunya dengan matanya sendiri.
Cover buku ini sangat menarik, simbol Indonesia menggunakan wayang dengan tangan berapi serta menggunakan warna yang menarik meski terkesan kelam. Secara klasifikasi tidak jelas benar masuk dalam kelompok mana buku ini, saya cenderung menyebut-nya sebagai novel jurnalis, gabungan antara petualangan dan realitas. Style penulisan yang digunakan Parry juga sangat menarik, meluncur begitu saja, sekaligus juga menegangkan serta sulit ditebak.


Saat kerusuhan 1998, setahun setelah pembantaian suku Madura di Kalbar, Parry juga berada di Indonesia dan sempat merasakan menjadi orang yang empat kali lebih kaya karena jatuhnya nilai rupiah dibanding kedatangan sebelum-nya. Namun jangan berharap buku ini membahas “root cause” berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, seperti 1965 (PKI), 1997 (Kalbar), 1998 (Reformasi), 1999 (Kalbar), dll khususnya dari sudut pandang konspirasi tingkat tinggi, karena Parry memilih memotret-nya dari sudut pandang “grass root”.  Ketika banyak orang menghindari api, Parry malah memilih untuk mendekati semua sumber api dan merekam-nya serta mencoba menceritakannya sebagai orang pertama bagi seluruh pembaca-nya. Tahun 1999, ketika seseorang yang meragukan apa yang dia tulis karena saat itu Parry dianggap tidak melihatnya secara langsung terutama tentang kanibalisme di 1997 meminta bertemu, maka dia memilih membatalkan pertemuan itu di saat saat terakhir dan langsung ke Kalimantan Barat dengan pesawat pertama, dan akhirnya dapat membuktikan sendiri soal kanibalisme tersebut dengan mata-nya sendiri.
Buku ini kembali membuka mata saya tentang betapa manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna, dan diberi pilihan untuk lebih baik dari Malaikat ataupun bahkan lebih jahat dari Setan, dan dalam buku ini sisi Setan lah yang lebih berkuasa. Ketika ranah konflik berubah dari personal menjadi ras, agama, dan keyakinan, maka musuh tidak lagi berupa “pasukan lawan”, namun bisa wanita, anak2, atau bayi dalam kandungan sekalipun yang bahkan memicu kreatifitas dan teknik membunuh termasuk praktek kanibalisme, pemenggalan, pencingcangan atau bahkan pembakaran tubuh. Bukan cuma pembunuhan, bahkan kepala2 lawan di pajang, dihinakan dengan dijadikan permainan serta dipertontonkan di hadapan banyak orang.
Kesimpulan akhir, buku ini sangat menarik namun sama sekali tidak saya anjurkan dibaca oleh orang dengan karakter lemah, juga anak2, karena isinya yang cenderung horor dan sangat bertentangan dengan karakter Indonesia yang sering disebut sebagai bangsa yang ramah. Hal ini mengingatkan saya akan kata2 guide-nya Parry saat di Kalbar tahun 1999, mengenai karakter suku Dayak, mereka adalah suku yang paling ramah di Dunia, namun saat marah dan di rasuki arwah perang, ceritanya akan berbalik 180 derajat. Singkatnya cerita horor Edgar Alan Poe yang baru saja selesai saya baca, dibandingkan buku Parry saat ini jadi terasa seperti buku anak2.

Monday, May 28, 2012

The Miracle of DNA - Kazuo Murakami

Melihat buku ini kembali dicetak ulang membuat saya penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk membeli buku ini dan cukup surprised dengan cara Kazuo menulisnya. Daripada berpusing pusing menjelaskan teori dan implementasi seputar genetika, Kazuo memilih untuk fokus menuliskan kesimpulan-nya, meski di bab tertentu seperti bab 5, Kazuo tetap secara ringkas menjelaskan aspek teknis dari genetika dalam salah satu percobaan-nya.

Lantas apa yang membuat buku ini menarik ? sebelum masuk ke topik ini ada baiknya kita bahas sedikit tentang genetika. Kombinasi genetik yang dihasilkan dari perkawinan dapat menghasilkan tujuh trilliun kombinasi, dan tidak ada jaminan kedua orang tua pintar akan menghasilkan keturunan pintar, atau kedua orang tua rupawan akan menghasilkan keturunan yang juga rupawan (sepertinya beberapa artis Indonesia sudah membuktikan hal ini). Ketika seseorang telah menjadi manusia dewasa seberat 60 kg misalnya, maka dia memiliki enam puluh trilliun sel (sedangkan bayi memiliki kurang lebih 3 trilyun sel), yang semuanya memiliki gen yang sama. Walau pun kuku dan otak kita anggap tidak memiliki kesamaan tetapi dalam tingkat sel mereka adalah sama, hanya saja setting on/off untuk setiap gen-nya saja yang berbeda. Semua sel kita bemula dari satu yang membelah diri menjadi dua, lalu membelah diri menjadi empat, dan seterusnya, serta dilanjutkan dengan mekanisme koordinasi yang masih misterius bagaimana setiap sel saling membagi fungsi dan peran dalam pembentukan organ.  Meniadakan Tuhan dalam kasus ini sama saja dengan berharap sebuah mobil yang terdiri dari ribuan parts, dapat merakit dirinya sendiri menjadi suatu mobil.
Karena berasal dari sel yang sama, maka setiap bagian tubuh dapat digunakan untuk proses ”cloning”. Kode genetik pada setiap sel tersusun oleh lebih dari tiga milliar “huruf2 kimia” (adenin, timin, guanin dan sitosin)  dalam untaian mikroskopik dan hanya memiliki berat 1/200 miliar gram dengan lebar 1/500.000 mm dan jika direnggang-kan dapat mencapai 3 meter.  Jika anda mengiris kawat dengan diameter 1 mm secara memanjang, sehingga didapat kawat dengan diameter 1/100 kawat sebelumnya, maka ini masih lima ribu kali lebih tebal dibanding sehelai DNA.
Meski sifat2 tertentu diwariskan secara genetik, namun gen kita dilengkapi dengan suatu mekanisme on/off. Misal ketika seseorang berolah raga, maka gen yang berhubungan dengan otot akan aktif sebaliknya gen yang berhubungan hal2 yang merugikan kesehatan akan padam. Tetapi penemuan terpenting Kazuo adalah bahwa mekanisme on/off ini ternyata dapat diaktifkan melalui sikap mental. Nah apa hal2 yang secara mental akan menyalakan gen positif ?, dalam buku ini Kazuo menyebutkan, sifat memberi tanpa mengharapkan balasan, sikap selalu bersyukur, sikap untuk terus berpikir positif meski sedang menghadapi hal2 yang tidak nyaman, berada dalam lingkungan yang positif. Contoh dampak lingkungan pada perubahan adalah sebuah pohon tomat yang setiap batangnya hanya berbuah puluhan tomat dapat menghasilkan 12.000 tomat, dimana dia ditempatkan pada lingkungan yang mengaktifkan gen2 positif-nya dengan cara hidroponik.  
Kesimpulan menarik lainnya, berbeda dengan Darwin yang menjelaskan bahwa persaingan adalah kunci untuk sukses dan sekaligus cikal bakal evolusi, dalam konteks genetika yang terjadi adalah sebaliknya. Setiap sel meski tadinya identik, akan menyesuaikan dengan takdirnya dengan mengeset DNA masing2. Ada yang menjadi sel otak, sel tulang, sel otot, sel hati, dll. Lantas meski sama2 sel otak misalnya, mereka masih berbagi tugas, ada yang menjadi sel otak kiri misalnya dan ada yang kanan, dst. Jadi sama sekali tidak ada persaingan dalam konteks sel, sehingga ketika semua sel mencapai bentuk dan fungsi masing2, maka kerjasama tahap yang lebih tinggi pun terjadi yaitu kerjasama antar organ.
Meski mendukung riset yang lebih mendalam terhadap genetika, namun Kazuo juga berpendapat perkembangan ilmu ini tidak boleh melanggar hukum alam. Kazuo juga menggaris bawahi bahwa meski kini, gen manusia telah dapat dipetakan seluruhnya, namun dia menyadari masih sangat banyak misteri yang ada dalam area ini, termasuk campur tangan Tuhan (Kazuo menyebutnya sebagai “Sesuatu Yang Agung”) yang menjadi jawaban atas eksistensi nyawa. Apa salah satu misteri dalam genetika ? Francis Crick dalam bukunya “The Astonishing Hypothesis : Scientific Search for The Soul” menyimpulkan bahwa meski gen meski memiliki kesinambungan fisik dengan manusia, tetapi tidak memiliki jiwa,  karena jiwa berada di dimensi lain serta sudah sepantasnya akan terus menjadi misteri Tuhan bagi kita.




Wednesday, May 23, 2012

Flying Colors - Steve Morse, Neal Morse dan Mike Portnoy

Hemm penasaran sekali ketika pertama kali tahu album rilisan 2012 ini dari salah seorang sahabat penggemar progressive, akan seperti apakah musiknya ? apakah nama2 top sudah pasti menjadi jaminan kualitas musik yang dihasilkan ? saya rasa tentu saja nama2 top tidak selalu menjamin kualitas musik yang juga top, misalnya “Explorers Club” IMHO sama sekali tidak sesuai dengan kualitas musisi yang join meski ada nama2 Steve Walsh, Derek Sherinian, La Brie, atau Petruccci sekalipun. Lantas kenapa ada  keterlibatan Portnoy dalam album ini  ? bagi saya hal ini memberikan kesan seakan akan meski tidak lagi berpasangan dengan Petrucci, Portnoy dalam hal ini justru tidak tanggung tanggung malah kerjasama dengan idola-nya Petrucci sekalian.
Terdiri dari sebelas track dimana ada tiga track melebihi enam menit, yang tentu saja merupakan salah satu ciri progressive meski belakangan setelah saya amati nuansa pop cukup terasa di beberapa track.  Track “Infinite Fire” menjadi track terpanjang dengan 12.02 menit. Berbeda dengan keterlibatan Portnoy dalam Adrenaline Mob bersama Russel Allen, dalam album ini pukulan2nya terasa “pas” dan tidak pamer, akan tetapi yang ter”cantik” bagi saya adalah kualitas vokal Neal Morse yang benar terkontrol secara apik dalam album ini. Steve Morse sendiri bermain seperti biasa, bersih, cepat dan membubuhkan kualitas melodi apik dari track ke track, dan didukung David LaRue yang memang pasangan-nya sejak di Dixie Dregs. Khusus McPherson, jujur ini nama yang juga baru bagi saya, dan karena juga memegang Keyboard, tidak mudah membedakan mana part yang dimainkan Neal Morse dan mana McPherson, dan begitu juga dimana McPherson mengisi ritem untuk gitar, sehubungan dengan dua instrumen yang dia mainkan.
1.       Blue Ocean 7:05 (****)
2.       Shoulda Coulda Woulda 4:32 (**)
3.       Kayla 5:20 (****)
4.       The Storm 4:53 (****)
5.       Forever in a Daze 3:56 (****)
6.       Love Is What I’m Waiting For 3:36 (**)
7.       Everything Changes 6:55 (***)
8.       Better Than Walking Away 4:57 (***)
9.       All Falls Down 3:22 (***)
10.   Fool in My Heart 3:48 (**)
11.   Infinite Fire 12:02 (*****)
Setelah menikmati track “Blue Ocean” yang sangat pantas menjadi pembuka dan langsung membuktikan kualitas personil “Flying Colors” sebaliknya track “Shoulda Coulda Woulda” kembali menurunkan tensi pendengar dan saya agak aneh dengan track kedua ini, karena terasa kesan Muse yang kuat disini, dan mengingatkan saya akan pengaruh Muse yang sama pada salah satu album Dream Theater beberapa tahun lalu. Untung track berikutnya kembali menanjak  dengan “Kayla” dan  lanjut ke “The Storm” yang kedua-nya benar2 mantap.
Pembukaan track “Forever In A Daze” mengingatkan saya pada permainan power chord minor bernuansa gelap ala Tonny Iomi dari Black Sabbath dan di tengah lagu kita disuguhi duet bass LaRue dan gitar Steve Morse yang sedap. Track keenam “Love Is What I’m Waiting For” terasa seperti lagu2 pop kebanyakan dan untung saja masih ada solo Steve Morse yang sedikit menyelamatkan track ini walau tidak begitu berhasil sepenuhnya.
Pembukaan track ketujuh “Everything Changes”, mengingatkan saya akan Dixie Dregs, namun begitu Neal Morse menyanyi justru kesan “Coldplay” yang muncul yang entah kenapa cara mengambil falsetto dan nada dalam lagu ini terkesan sangat Chris Martin. Begitu juga track kedelapan “Better Than Walking Away” lagi2 sangat berbau “Coldplay” dan kali ini permainan Steve Morse tidak bisa menyelamatkan kualitas track ini karena hanya mengulang nada yang dijeritkan Neal Morse dengan gitar.
Track kesembilan “All Falls Down” lagi2 Neal Morse menunjukkan style “Muse”-nya, meski di bagian awal kolaborasi Steve Morse, dan Portnoy sempat menunjukkan pembukaan yang cukup menggigit, dan di bagian akhir lagi2 Steve Morse dan Portnoy menunjukkan gigitan-nya sekali lagi dengan gaya sedikit berbau progressive metal sehingga track ini terselamatkan. Track kesepuluh “Fool in My Heart” agak berbau country rock, membuat album ini menjadi semakin unik sekaligus tidak jelas.
Pada track kesebelas “Infinite Fire” sekaligus track terpanjang dan terbaik, terlihat sekali bagaimana Steve Morse memberikan pengaruh pada Petrucci, jika kita menutup mata pada bagian solo selama 30 detik di track ini (menit 5:27 sd 5:57), maka permainan mereka benar2 identik, baik teknik, sound dan pemilihan melodi khususnya dalam track ini (lepas dari posisi mereka berdua sebagai endorser Music Man yang mungkin saja menggunakan pickup yang setipe). Track ini juga menuntaskan kebingungan saya menempatkan album ini dalam kelompok “pop”, “rock” atau “progressive”, sehingga memutuskan untuk tetap meletakkan-nya dalam sisi “progressive” dimana selain panjang track dan perubahan beat-nya juga cukup signifikan serta mengingatkan saya akan “Spock’s Beard”. Akhir kata dengan segala keunikan-nya album ini tetap layak koleksi karena beberapa track dahsyatnya.

Monday, May 21, 2012

Kisah Kisah Tengah Malam - Edgar Alan Poe

Saat yang lalu, saya tidak pernah benar2 bisa dikatakan membaca karya Edgar Alan Poe (1809-1849), saat SMP memang sempat membacanya  di perpustakaan sekolah yaitu salah satu ceritanya yang berjudul “Terjebak di Pusaran Maelstorm”, lalu salah satu ceritanya dengan tema menjelang ajal dengan alat pemotong logam yang berayun seperti pendulum dan tidak ingat persis apa judulnya dan saya baca pada salah satu majalah. Lalu pada buku koleksi almarhum ayah lagi lagi saya menemukan kisah tentang kehidupan Poe yang begitu miskin-nya sehingga dia terpaksa “merayu” kucingnya untuk tidur di kaki istri-nya yang sedang sakit saat musim dingin yang mengerikan sedangkan Poe tidak punya uang untuk sekedar membuat perapian-nya hangat, serta kisah hidupnya yang berakhir tragis dalam kesendirian kemiskinan  meski setelah meninggal, karya2-nya justru menemukan puncak kejayaan-nya.

Karena itulah ketika menemukan buku ini yang berisi tiga belas kisah karya beliau saya sangat senang dan tanpa pikir panjang langsung membawanya pulang. Melihat covernya Staven Andersen saja sudah bikin penasaran, sebuah karya dengan teknik ilustrasi mirip Sibarani (salah satu maestro karikatur Indonesia yang sangat terkenal di masanya dengan serial “Si Utjok”) menggambarkan beberapa tokoh dengan ekspresi aneh, duduk beralaskan kursi diatas lantai papan dengan potongan2 tubuh mayat yang termutilasi di bawahnya. Dan ilustrasi ini memang sekaligus visualisasi kisah pertama dalam buku ini. Buku Poe ini juga mengingatkan saya akan salah satu album Alan Parsons Project “Tales of Mystery and Imagination” yang memang menjadikan Poe sebagai inspirasi album ini.



Poe terkenal dengan karya2nya yang “gelap”, kemampuan-nya menggiring pembaca dalam psikologis tokoh dalam cerita-nya sangat luar biasa, meski tema2 cerita-nya sering kali sederhana. Dia juga tidak segan2 mengumbar kesadisan dalam cerita-nya seperti dalam kisah “Hop Frog” dimana seorang badut cacat yang teraniaya akhir-nya membalas perlakuan Raja padanya dengan cara yang tak kurang kejam-nya yaitu membakar hidup2 sang Raja di hadapan rakyat-nya.

Begitu juga tak kurang sadis-nya mutilasi yang dilakukan tokoh utama pada cerita “Gema Jantung Yang Tersiksa” yang sekaligus divisualisasikan sebagai cover atau bagaimana tokoh utama menggantung seekor kucing hitam dengan terlebih dahulu mencongkel matanya dalam “Kucing Hitam”, namun bagi saya “Terjebak di Pusaran Maelstorm” yang dalam buku ini berjudul “Mengarungi Badai Maelstorm” tetaplah yang terbaik. Adegan saat pelaut tua mendaki puncak gunung dan lantas bercerita pada pembaca sambil menatap lokasi kejadian dari kejauhan, memberikan kesan yang sangat kuat.  Lantas apa terbaik kedua ?, tak lain dan tak bukan adalah “Jurang dan Pendulum”, yang menggambarkan kondisi psikologis tokoh yang terkurung dalam ruang gelap dan lantai berlendir dengan lubang yang dipenuhi tikus serta ancaman pendulum logam dengan pisau berayun turun perlahan tapi pasti serta mengancam hidup sang tokoh.
Selain kedua cerita terbaik versi saya diatas, ada satu cerita yang membuat saya cukup terkesan. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 1999 saya sempat menonton "Fight Club" kisah tentang kepribadian ganda, yang diperankan oleh Brad Pitt dan Edward Norton, namun ternyata dalam "William Wilson", Poe sudah menuliskan-nya terlebih dahulu, dimana kedua tokoh dalam satu tubuh ini akhirnya saling membunuh satu sama lain.

Bagi penggemar cerita suspens, buku ini dipastikan sangat menarik, selain “Mengarungi Badai Maelstorm”, “Hop Frog”, "William Wilson", “Kucing Hitam”, “Jurang dan Pendulum” dan  “Gema Jantung Yang Tersiksa” , judul2 cerita lain dalam buku ini antara lain

Pesan Dalam Botol.
Potret Seorang Gadis.
Kotak Persegi Panjang.
Obrolan Dengan Mummy.
Setan Merah.
Kucing Hitam.
Pertanda Buruk.
Misteri Rumah Keluarga Usher.

Mengingat karya Poe sangat kental dalam mengungkapkan psikologis tokoh2nya, tentu bukan hal yang mudah menerjemahkan karyanya, untuk itu jerih payah Maggie Tiojakin sebagai penerjemah patut diapresiasi meski masih ada kejanggalan pemilihan kata disana sini.  

Yahudi Dalang PD I dan PD II - Donny Rickyanto

Dalam buku Rizki Ridyasmara disebut sebut mengenai buku Donny yang dijadikan oleh Rizki sebagai salah satu referensi. Berpegang dari informasi itu saya memasukkan-nya sebagai “wish list” dan lalu mencoba melakukan pencarian, namun setelah berbulan bulan di banyak toko buku, buku ini tetap saja tidak dapat saya temukan.  Namun suatu hari saat ada urusan dengan Bank di MTA, JakBar, saya sempatkan ke Gramedia dan dengan bantuan aplikasi searching akhirnya saya menemukan dua buku yang tersisa, dan teronggok di rak paling bawah, dengan gembira langsung saja buku ini saya bawa pulang untuk dibaca lebih lanjut.

Judulnya mengingatkan saya akan tudingan Ahmadinejad, Presiden Iran, mengenai Holocaust, yang memang merupakan salah satu topik yang dibahas dalam buku ini. Meski judulnya terdengar “bombastis” namun buku yang disusun dengan gaya bahasa “text book” ini semakin lama semakin membuat kita yakin akan apa2 yang dia simpulkan. Persis seperti ungkapan orang “Two Sides of Every Story”, yakni ini adalah versi yang berbeda dengan apa yang selama ini di sampaikan oleh banyak media.

PD I (1914-1918) diset sedemikian rupa, agar Palestina dapat diambil alih dengan menggunakan tangan Inggris serta provokasi kabilah2 disekitarnya sehingga dapat mengusir Turki Ottoman dan dengan demikian berhasil memecah belah Arab menjadi negara negara kecil yang lebih mudah dikendalikan serta dihisap kekayaan minyaknya oleh Eropa yang membutuhkan minyak bumi untuk industrinya. PD II (1939-1945) diset sedemikian rupa agar Yahudi yang tercerai berai dapat “digiring” secara paksa ke Palestina, dan dengan demikian dapat mengimbangi  populasi Arab disekitarnya. Jika mengacu ke “The Protocols of Zion” dan juga surat Albert Pike (1809-1891)  bertanggal 15/8/1871, situasi ini memang sesuatu yang disengaja, khususnya dengan  melihat kemiripan isi dari kedua dokumen. Meski terdengar aneh, namun bahkan tokoh pengarang Yahudi sendiri seperti Emil Ludwig mengatakan “Hitler akan dilupakan dalam beberapa tahun, tetapi ia memiliki monumen indah di Palestina, ribuan yang hilang terlihat sepenuhnya. Agama Yahudi dibawa kembali ke tempatnya oleh Hitler, dan untuk itu secara pribadi saya berterima kasih kepadanya”.

Bagaimana keterlibatan Yahudi dalam PD I ?, pertama adalah keterlibatan mereka dalam revolusi Bolshevik (yang di motori Lenin yang mana sesuai buku Robert Service berjudul “Lenin” disebutkan merupakan buyut Moishe Itskovich Blank yang memang seorang Yahudi), lalu revolusi Jerman, lalu revolusi di Turki.  KhususTurki meski terdengar aneh, namun perlu diketahui sesuai pengakuan Kemal Pasha, bahwa dia adalah keturunan Sabbatai Zevi dan Kemal Pasha bahkan memiliki keterlibatan dengan Freemansory Turki.

Dalam konteks PD II, apa yang membuat buku ini mengambil kesimpulan seperti itu, sebagai contoh, sampai saat ini tidak pernah ada dokumen yang di ttd Hitler yang menginstruksikan “Holocaust”, artinya meski benar terjadi, itu bukanlah hal yang dilakukan secara sistematis dan berdasarkan perintah, demikian juga “dongeng” mengenai kamar gas dan jumlah enam juta yang selama ini didengung2kan oleh Yahudi. Fakta yang ada adalah jumlah total yang tewas di kamp Auschwitz, Bergenbelsen sd Abteilung adalah 271.301 jiwa sesuai laporan ICRC, sementara laporan lain dari Sonderstandesamt berkisar antara 282.077 sd 373.468. Lantas kenapa sangat banyak yang akhirnya mati dalam kamp ? kematian dalam kamp terjadi karena pada masa itu Jerman mengalami kesulitan bahan pangan yang luar biasa akibat pengepungan oleh tentara sekutu.

Selain issue “Holocaust” ternyata sebagian team inti Nazi bahkan berdarah Yahudi, seperti Adolf Eichmann, Alfred Rosenberg, Hans Frank, Heinrich Himmler, Herman Goring, dan banyak lagi, sebagaimana yang disampaikan buku2 Konrad Heiden, Gerhard Kessler dll.  Bahkan yang lebih mengagetkan Hitler sendiri ternyata masih keturunan tidak sah  Rothschild, salah satu tokoh keuangan Yahudi terkaya di zaman-nya sesuai dengan analisa Konrad Heiden, Dietrich Bronder, Franz Jetzinger, dll. Bukan cuma team inti Nazi, aktor PD II lainnya seperti Churcill yang sangat terkenal dengan pidatonya yang dijadikan sebagai pembuka salah satu track group metal Inggris "Iron Maiden" saat penyerangan Inggris oleh Jerman dan juga Stalin pemimpin Rusia diisukan sebagai keturunan Yahudi.

Untuk memahami kenapa ada Yahudi yang dikorbankan untuk Yahudi yang lain, perlu diketahui bahwa ada dua jenis Yahudi yaitu Ashkenazim dan Sephardim. Dalam hal ini yang banyak menjadi korban adalah Sephardim, sebaliknya yang berada di balik ide New World Order adalah Ashkenazim, dan bagi bangsa pragmatis ini, pengorbanan adalah bagian dari strategi yang lebih besar. 

Saat ini di beberapa negara, bantahan terhadap “Holocaust” merupakan hal yang dapat mengakibatkan tuduhan penghinaan dan tuduhan anti Semit, dan begitu kuatnya lobi Yahudi, sehingga di Amerika yang berjarak ribuan kilometer dari Jerman terdapat lusinan museum “Holocaust” sebaliknya di Amerika tidak ada museum untuk mengenang pembantaian terhadap kaum Indian, ataupun kulit hitam yang menjadi korban pendudukan kulit putih di Amerika.

Akhir kata, lantas bagaimana dengan PD III ? mengingat isi dari “The Protocols of Zion” adalah menghancurkan aristokrasi, melegalkan minuman keras, melegalkan pornografi, menciptakan gagasan baru seperti marxisme, sosialisme yang menjadi kontradiksi baru, menanamkan kecenderungan terhadap materialisme, menciptakan perang dunia, merekayasa bencana, penguasaan media, penguasaan sistem keuangan dengan berlindung dibalik pinjaman asing serta pendefinisian ulang kekayaan (baca : uang) dimana dalam hal ini mata uang tertentu di kondisikan menggantikan emas yang sebenarnya justru merupakan “kekayaan riil”, merekayasa kebangkrutan nasional suatu negara. Pada akhirnya PD III adalah perang terakhir sekaligus menjadikan satu ras sebagai penguasa bumi dan ras lain yang tersisa menjadi budaknya dengan kata lain “New World Order”. Kesimpulan-nya, benar atau tidak dugaan ini diserahkan kembali pada pembaca, dan tugas kitalah sebagai masyarakat dunia untuk tetap waspada, saling membantu dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk didiami.

Monday, May 14, 2012

The Never Ending Way of ORwarriOR - Orphaned Land

Jika anda belum pernah mendengar group progressive metal timur tengah, apa yang kira2 anda pikirkan ? Tentu sulit membayangkan-nya, namun Orphaned Land (OL) menjawab semua kebingungan tsb dengan mantap lewat salah satu album-nya yang dirilis di 2010, dan berjudul “The Never Ending Way of ORwarriOR”. Apa yang kira2 menjadi kelebihan group Israel ini, tentu salah satunya adalah nada2 khas timur tengah, vokalis wanita dengan cengkok suara menakjubkan, kualitas vokalis pria yang mengingatkan saya akan SOAD, dimana dengan mudahnya dia menyanyikan lagu sendu namun juga dapat nge”growl” pada bagian lain, lalu yang terakhir gitaris yang kreatif, meski biasa2 saja di solo melodi namun bermain cantik dalam ritem.



ORwarriOR sendiri berarti ksatria cahaya, yang  menjadi simbol perlawanan terhadap kegelapan. Tidak tanggung2 album ini dikemas sebagai album konsep yang setiap track-nya saling berhubungan, dan membentuk jalinan yang utuh serta terbagi menjadi 15 track yang dikelompokkan  dalam tiga group dengan total waktu 79 menit.

Part I: Godfrey's Cordial – An ORphan's Life

1."Sapari" – 4:04 (***)
2."From Broken Vessels" – 7:36 (****)
3."Bereft in the Abyss" – 2:45 (***)
4."The Path (Part 1) – Treading Through Darkness" – 7:27 (*****)
5."The Path (Part 2) – The Pilgrimage to Or Shalem" – 7:45 (*****)
6."Olat Ha'tamid" – 2:38 (***)

Part II: Lips Acquire Stains – The WarriOR Awakens

7."The Warrior" – 7:11 (***)
8."His Leaf Shall Not Wither" – 2:31 (***)
9."Disciples of the Sacred Oath II" – 8:31 (****)
10."New Jerusalem" – 6:59 (***)
11."Vayehi Or" – 2:40 (***)
12."M i ?" – 3:27 (***)

Part III: Barakah – Enlightening the Cimmerian

13."Barakah" – 4:13 (***)
14."Codeword: Uprising" – 5:25 (***)
15."In Thy Never Ending Way" – 5:09 (****)

Track Sapari Ini salah satu track yang bisa dengan cepat menggambarkan style OL dalam bermusik, perpaduan irama padang pasir di Sapari namun dibumbui dengan jeritan maut Shiomit Levi, wanita yang mengisi additional vocal OL. Masuk track kedua kita disuguhi kolaborasi power chord metal ala Yossi Sa’aron dan Matti Svatitzki namun jangan kaget diantara komposisi, jika mendadak muncul suasana timur tengah, sepertinya istilah yang paling tepat menggambarkan ini adalah judul salah satu film nasional baru2 ini yaitu “Mendadak Dangdut”. Track ketiga atau “Bereft in The Abyss” sepintas sangat berbau Opeth, dan tentu saja hal ini bukan hal aneh mengingat keterlibatan Steven Wilson sebagai sound engineer pada beberapa album Opeth. Khusus “The Path”, sepertinya ini merupakan track yang menjadi nyawanya album ini, kompleksitas-nya, kemegahan-nya, dan perubahan2 beat-nya lebih unggul dibanding track2 lain. Lalu Part#1 ini ditutup dengan “Olat Ha’tamid”, yang banyak menggunakan instrumen2 lokal, sehingga membuat track ini kaya dengan bunyi2an unik.

Part #2, juga berisi enam track, dan langsung dimulai dengan track The Warrior yang dibuka dengan alat tiup tradisional, dan vokal Kobi Farhi yang seakan akan menjadi narator dari keseluruhan tema album konsep ini. Track "The Warrior" memiliki solo2 gitar yang panjang dengan nada melengking, setelah dalam track2 sebelumnya lebih banyak memainkan ritem. Lalu lagi2 track setipe dengan Opeth, yaitu “His Leaf Shall Not Wither”. Track  "Disciples of the Sacred Oath II" lalu memainkan harmonisasi selama delapan menit sekaligus terpanjang dengan syair yang diinspirasi dari Qur'an Surat An Nur, yang dianggap sejalan dengan tema utama album ini. Kemudian tensi yang sempat tinggi di track ini lalu di padamkan di “New Jerusalem” yang mengingatkan saya akan album Blackmore’s Night. Lalu dilanjutkan dengan “Vayehi Or” dan part#2 akhirnya ditutup oleh track "M i ?".

Part#3 dari Album ini dimulai dengan ritem panjang, penuh semangat  dan asyik dalam track “Barakah”, namun perubahan beat di tengah-nya disisipkan petikan akustik ala latin dapat memberikan kejutan manis. Track berikut-nya "Codeword: Uprising"  dimainkan dengan gaya progressive metal menyentak nyentak, sehingga tetap memberikan dinamika pada track ini dan vokal yang didominasi oleh growl. Akhirnya kesemua track dalam album ini ditutup dengan "In Thy Never Ending Way" yang setengah bagian track-akhirnya diisi dengan dentingan piano yang syahdu.


Pada akhirnya OL memberikan pengalaman yang sangat berbeda dari kebanyakan album progressive metal lain-nya, baik kualitas mixing-nya Steven Wilson yang jernih dan prima, penggunaan berbagai instrumen musik tradisionil timur tengah, vokalis nya yang memiliki multi karakter dan bernyanyi dengan tiga bahasa Arab, Hebrew dan Inggris, gitaris dengan ritem super kreatif,  dan kualitas additional musician-nya yang memperkaya album ini dengan cara-nya masing2 dan tentunya Steven Wilson yang juga terjun menjadi salah satu keyboardist. Tidak aneh jika album ini mendapatkan peringkat #1 dari MetalStorm di awal 2011 sebagai “Progressive Metal Album of The Year 2010” dan bahkan termasuk group metal yang disukai punggawa metal seperti Kirk Hammet sekalipun.

Catatan tambahan, meski mencoba menghargai berbagai keyakinan (baca : agama) penggemarnya, namun faktanya OL di tolak di beberapa negara sepertinya karena berasal dari Israel, namun demikian di negara seperti Turki mereka masih dimungkinkan untuk menemui para penggemarnya. Pernyataan Kobi mengenai paham yang mereka anut terkait foto personil band yang terdiri dari sosok mirip Yesus, dua orang Rabbi dan dua orang Arab yang sedang membaca Qur'an, dijelaskan-nya dengan cara yang cukup unik yaitu "Many people we're a bit confused by the first photos we did, so let us make it clear once and for all: we are not a religious band, we are not anti religion, we are not a black metal band, not a white metal band, we are about the unification of everything - all is one”, hemm sepertinya "all is one" agak mirip2 dengan pesan penyatuan dunia dibawah "New World Order" ?. Seorang teman yang juga menggemari OL menyatakan kekaguman-nya terhadap salah satu lagu OL yang menyuarakan perdamaian di Yerusalem bagi penganut tiga agama, namun menyuarakan perdamaian di atas tanah yang diduduki secara paksa terdengar ironis bagi saya. Tentu-nya hanya waktu yang bisa membuktikan dan tugas kita untuk mencermatinya meski musik adalah bahasa yang universal.



Saturday, May 12, 2012

Hope for the best, but prepare for the worst

Sekitar awal tahun 2000-an saya pernah dipercaya sebagai Project Manager (PM) untuk melead hampir 130 resources, terdiri dari System Analyst, System Designer, dan Programmer. Team ini bertugas untuk melakukan implementasi sekitar tujuh aplikasi pabean secara nasional. Karena waktu yang sangat ketat dan juga harus implementasi saat bulan puasa pada puluhan kota di Indonesia, team cukup tertekan dengan situasi tersebut. Situasi ini juga diakibatkan sebagian dari aplikasi ini harus berjalan 24x7, pilot paralel di 2 lokasi,  sedangkan aplikasi-nya masih terus menerus berubah karena belum stabil.
Pada saat yang sama perusahaan induk kami, karena keputusan untuk fokus ke bisnis inti, yang merupakan dampak penjualan ke pihak asing, secara paralel melakukan proses penjualan anak perusahaan yang bukan bagian dari inti, termasuk perusahaan kami. Sayang-nya perusahaan pembeli, tidak melakukan evaluasi terhadap proyek berjalan, dan langsung saja menawarkan program pensiun dini pada seluruh karyawan. Karena nilai pesangon yang cukup besar khususnya bagi yang masa kerjanya cukup lama, hampir semua  karyawan senior tertarik, termasuk semua team leader dalam proyek yang saya pimpin.
Perusahaan pembeli menentukan hari Jumat sebagai batas akhir pendaftaran program pensiun dini, sehingga pada hari Kamis, sekitar enam orang team leader dalam team saya sudah gelisah dan berencana untuk mengambil program tersebut. Melihat saya tenang2 saja, mereka memutuskan untuk mengundang saya sore itu juga untuk meeting, dan menyampaikan kesepakatan diantara mereka serta niat mereka untuk mengajak saya. Kalau istilah salah satu iklan rokok kira2 “Gak Ada Lu Gak Rame !”, namun mereka terkejut, karena saya menyampaikan pada mereka, tidak mungkin saya ikut dengan mereka, meninggalkan team yunior serta proyek yang masih berjalan. Heran dengan sikap saya mereka bertanya apa alasan-nya, maka saya katakan karena saya PM-nya, sehingga walau tawaran pensiun dini sangat menarik, saya memutuskan untuk menolak-nya, bahkan meski mereka semua keluar dari proyek. Saya sampaikan juga profesi IT, adalah dunia yang sangat sempit, orang saling mengenal dan saya tak sanggup membayangkan cap yang diberikan orang pada saya karena mengabaikan pekerjaan yang belum selesai.
Setelah rasa terkejut mereka mendengar penolakan saya perlahan lenyap, akhirnya mereka pamit dengan ekspresi sedih lalu menyalami saya satu demi satu, namun mereka tetap memutuskan untuk mengambil program tersebut. Malam harinya menjadi salah satu malam terpanjang dalam hidup saya, karena sangat sulit untuk tidur dan gelisah menghadapi hari esok, maka saya mencoba menyusun team baru dari member yunior yang tersisa. Akhirnya menjelang dini hari tersusunlah team baru, dan saya menguatkan diri untuk menghadapi hari esok, untuk mulai melakukan penugasan ke masing2 team.  
Namun, ketika masuk kantor pada keesokan harinya, saya sangat terkejut, karena semua team leader ternyata masih masuk pada hari itu dan mengerjakan kewajiban mereka seperti biasa padahal limit dari program pensiun dini adalah jam 10:00. Melihat saya keheranan, lalu mereka minta untuk berbicara lagi dengan saya pagi itu, dan dalam diskusi itu, salah satu wakil mereka menyampaikan hal yang tak terduga, yaitu mereka merasa malu dengan keputusan saya, lalu mereka memutuskan mengabaikan tawaran menggiurkan dari program pensiun dini, serta tetap mendukung saya sampai dengan berakhirnya proyek. Dengan terharu saya menjabat tangan mereka satu demi satu, dan berharap putusan ini tidak akan mereka sesali kelak.
Kami akhirnya meninggalkan proyek tersebut dalam keadaan selesai, dan telah diimplementasikan secara nasional. Meski tak ada bonus dan pesangon yang di dapat, namun mengingat apa yang terjadi, saya  tetap bangga dengan team, dan kami meninggalkan pekerjaan secara terhormat dan dengan kepala tegak. Kini alumnus team tersebut sudah bekerja dalam perusahaan2 yang terpisah, namun saya yakin mereka masih mengingat kenangan ini sebagai sesuatu yang berkesan.  
Kesimpulan yang saya dapat dari pengalaman ini adalah, “Hope for The Best, but Prepare for The Worst” yaitu kita bisa berharap apa yang sedang berjalan baik baik saja, namun selalu lah bersiap untuk yang terburuk, dan biasakan selalu ada plan B untuk setiap plan A yang anda miliki dengan demikian kita bisa lebih siap menghadapi perubahan situasi.  






Wednesday, May 02, 2012

Sherlock Holmes - Sir Arthur Conan Doyle

Sekitar dua bulan yang lalu, abang saya menunjukkan buku Sherlock Holmes yang dia beli di London  beberapa tahun yang lalu setebal sekitar 8 cm, hard cover dan dihiasi ilustrasi suram dan gelap karya   Sydney Paget. Buku ini sepintas lalu saya lihat berisi cerita Sherlock Holmes secara lengkap, benar2 buku yang membuat iri penggemar Sherlock Holmes. Bukan cuma buku tersebut yang bikin iri, namun juga cerita tentang kunjungan Abang saya ke Baker Street 221B dan bertemu dengan pria berbaju kotak2 kecil, jangkung dan kurus, bertopi dan pipa tembakau di mulutnya serta memberikan kartu nama private investigator  pada abang saya. Hemm cara yang menarik dalam menjual ketokohan Sherlock Holmes.



Siapa Sydney Paget ? beliau merupakan ilustrator yang sangat terkenal di zaman Victoria, yaitu zaman dimana Sherlock Holmes digambarkan hidup dan karya-nya secara berseri dengan 356 ilustrasi melengkapi gambaran tentang Holmes di majalah Strand. Dengan Paget, cerita Sir Arthur Conan Doyle menjadi sangat hidup dan mengingatkan saya akan kolaborasi Djokolelono dengan Wakidjan yang bagi saya merupakan salah satu kolaborasi terbaik ilustrator dan pengarang buku di Indonesia. Film yang menggambarkan Holmes juga banyak menggunakan ilustrasi Paget sebagai referensi.

Karena belum ada jodoh untuk memiliki buku tersebut, saya memilih untuk berkunjung ke Gramedia, dan menemukan trilogi tanpa ilustrasi dengan cover menarik dan seragam, terbitan Gramedia, dan langsung saya sambar tiga2nya, yaitu “Koleksi Kasus Sherlock Holmes”, “Memoar Sherlock Holmes” dan “Petualangan Sherlock Holmes”. Sebelumnya saya juga sudah mendapatkan “Salam Terakhir Sherlock Holmes”, dan sepertinya masih ada dua lagi terbitan Gramedia yang belum saya dapatkan yaitu “The Memoir of Sherlock Holmes” dan “The Return of Sherlock Holmes”.  



Agak aneh rasanya melihat Gramedia menerbitkan begitu banyak buku Sherlock Holmes namun tidak memilih untuk mengumpulkan-nya dalam satu buku tebal saja serta melengkapi-nya dengan ilustrasi Paget. Khusus tiga buku dengan cover berstyle kembar yang saya beli bahkan terkesan buru buru untuk di terbitkan ulang, karena pemilihan kertas, dan font terkesan kuno dan seakan memanfaatkan momen yang masih hangat mengenai  Sherlock Holmes akibat dua film karya  Guy Ritchie baru baru ini.

Petualangan Sherlock Holmes

1. Skandal di Bohemia.
2. Kasus Identitas.
3. Perkumpulan Orang Berambut Merah.
4. Misteri di Boscombe Valley.
5. Lima Butir Biji Jeruk.
6. Pria Berbibir Miring.
7. Batu Delima Biru.
8. Lilitan Bintik Bintik.
9. Ibu Jari Insinyur.
10. Bangsawan Muda.
11. Tiara Bertatahkan Permata Hijau.
12. Petualangan di Cooper Beeches.

Koleksi Kasus Sherlock Holmes

1. Kasus Klien Penting.
2. Kasus Prajurit Berwajah Pucat.
3. Kasus Batu Mazarin.
4. Petualangan Rumah Beratap Tiga.
5. Petualangan Vampir Sussex.
6. Petualangan Tiga Garrideb.
7. Kasus Jembatan Thor.
8. Petualangan Professor yang Gemar Merangkak.
9. Misteri Surai Singa.
10. Misteri Penyewa Kamar yang Berkerudung.
11. Misteri di Gudang Tua Shoscombe.
12. Petualangan Mantan Pengusaha Cat.

Memoar Sherlock Holmes

1. Kuda Pacuan Silver Blaze.
2. Wajah Kuning yang Mengerikan.
3. Pegawai Kantor Bursa.
4. Ritual Keluarga Musgrave.
5. Tuan Tanah di Reigate.
6. Si Bungkuk.
7. Pasien Rawat Inap.
8. Penerjemah Bahasa Yunani.
9. Dokumen Angkatan Laut.
10. Kisah Penutup.


Saat masih kecil saya sendiri merupakan penggemar berat karya Sir Arthur Conan Doyle ini (melebihi minat saya pada Agatha Christie yang pemecahan masalahnya terkesan bertele tele) , dan bahkan sempat terobsesi menjadi detektif. Beberapa cerita yang sangat berkesan bagi saya adalah “Lima Butir Biji Jeruk”, yang berkisah tentang kematian Paman dan Ayah seorang pemuda sesaat setelah menerima amplop dengan lima butir biji jeruk kering. Karena akhirnya menerima juga amplop dengan lima biji jeruk kering Si Pemuda lantas segera mengontak Holmes untuk meminta pertolongan, namun sayang-nya Pemuda tersebut keburu tewas secara misterius, dan dalam kisah ini metode deduktif Holmes diuji untuk memecahkan kasus ini. Selain kasus diatas, yang juga menarik adalah kasus “Ibu Jari Sang Insinyur”, “Pria Berbibir Sumbing”, “Surai Singa”, dll.

Sayang sekali ketiga buku ini tidak memuat salah cerita terbaik petualangan Sherlock Holmes yaitu "Hound of Baskerville" yang mana merupakan salah satu petualangan Sherlock Holmes dengan cerita terpanjang yang pernah dibuat oleh Conan Doyle.