Tuesday, September 09, 2014

Jantera Bianglala - Ahmad Tohari

Bagian ketiga dari trilogi alias JB (Jantera Bianglala) ini ternyata tetap konsisten memberikan kejutan di akhir cerita, Jika dalam RDP (Ronggeng Dukuh Paruk), kejutannya adalah Rasus meninggalkan begitu saja Srintil, maka dalam LKDH (Lintang Kemukus Dini Hari) pembaca dibuat kaget dengan nasib tragis Srintil yang terpaksa masuk penjara selama dua tahun, karena terjebak dalam pengaruh Bakar, oknum PKI yang menjadikan perkumpulan ronggeng Dukuh Paruk sebagai alat propaganda-nya.

Bagaimana dengan nasib Dukuh Paruk, tak kurang sialnya dengan nasib Srintil, Dukuh Paruk nyaris musnah dibakar massa dalam huru hara 1965. Meski lebih cepat keluar dari penjara, nyaris semua tokoh penting di lingkaran satu Srintil ikut terseret, meski mereka sendiri tak jelas benar dengan kesalahan yang mereka lakukan.




Apa sih arti jantera ?, sesuai kamus besar Bahasa Indonesia, arti jantera adalah kincir yang dapat digerakkan angin atau air. Kenapa dirangkai dengan kata bianglala alias pelangi ?, mungkin hanya Ahmad Tohari yang bisa menjelaskan ?, yang jelas kincir raksasa memang sering diibaratkan sebagai pelangi. Apakah ini mengibaratkan hidup Srintil yang dipermainkan nasib, lahir dari kedua orang tua perajin tempe bongkrek yang justru akhirnya merengut nyawa mereka berdua, lalu tenar dan menaiki bianglala serta terbang tinggi sebagai ronggeng ternama untuk kemudian dihempaskan nasib, kembali jatuh dalam kubangan.

Dalam LKDH, tokoh Rasus yang menghilang, ini muncul lagi dalam JB, namun hanya di awal dan akhir cerita, dan kejutannya adalah ketika akhirnya Rasus memutuskan untuk kembali, namun terlambat, karena Srintil telah mengidap depresi akibat perbuatan Bajus, sang kontraktor brengsek yang mengorbankan-nya ke mafia proyek.  Akhir cerita yang menyedihkan, sebagaimana kenyataan hidup sendiri yang tak selalu berakhir bahagia, demikian lah trilogi ini diakhiri dengan tragis.

Kemampuan Ahmad Tohari dalam melukis alam dengan kata dalam JB, seperti nyaris menghilang, mungkin dibanding RDP dan LKDH, JB mencapai level yang lebih rendah, meski masih tetap menarik sekaligus menuntaskan akhir dari trilogi dengan bernas. Dan meski tanpa lukisan, Ahmad Tohari tetap berhasil mengaduk ngaduk emosi pembaca, dengan “menyiksa” Srintil secara habis-habisan.

Akhir kata, maka para pembaca, pun menyesali kenapa, tokoh Rasus yang digambarkan berubah menjadi lebih dekat dengan Tuhan, memiliki profesi sebagai tentara yang dihormati, dan mampu melepaskan diri dari bayang-bayang suram Dukuh Paruk, justru lebih dari sekali mengabaikan cinta Srintil. Bukannya merangkul Srintil ke dalam kehidupan yang penuh cahaya untuk menghindar dari kelamnya Dukuh Paruk yang cabul dan penuh dengan kebodohan, Rasus seakan akan menyongsong masa depannya yang kemilau namun dengan membiarkan Srintil terpuruk di belakangnya. Meski menyakitkan, namun memang akhir cerita seperti itulah yang lebih dipilih Ahmad Tohari, dan mungkin karena akhir cerita layaknya Raumanen, karya Marianne Katoppo, trilogi ini dengan akhir tragis ini, meraih posisi terhormat dalam kesusastraan Indonesia.

Saya tutup review ini dengan salah satu paragraf menjelang akhir buku “Aku diam dan menunduk. Ada angin beliung berpusar keras dalam kepalaku. Dan beliung itu berubah menjadi badai yang amat dahsyat karena aku mendengar Srintil melolong-lolong dalam kamar yang persis kerangkeng. Satu-satu diserunya nama orang Dukuh Paruk dan namakulah yang paling sering disebutnya. Aku merasa saat itu keberadaanku adalah nurani tanah airku yang kecil, Dukuh Paruk. Aku adalah hati ibu yang remuk karena mendengar seorang anaknya melolong dan meratap dalam kematian yang jauh lebih dahsyat daripada maut.”


Monday, September 01, 2014

Lintang Kemukus Dini Hari - Ahmad Tohari

Meski Ahmad Tohari menggambarkan Srintil nyaris sempurna sebagai seorang wanita, namun pada awal bab 5, Ahmad Tohari menyebut betapa pada tahun 1964, menjelang pemberontakan PKI, situasi Dukuh Paruk justru sebaliknya, alias  tetap cabul, sakit dan bodoh. Lintang Kemukus Dini Hari (LKDH) merupakan bagian kedua dari trilogi Ahmad Tohari.

Dalam LKDH, Rasus yang menjadi tokoh utama di RDP, nyaris lenyap. Perginya Rasus dengan sekaligus mengabaikan Srintil, menyebabkan tokoh utama kali ini bergeser pada Srintil. Rasus pergi begitu saja setelah menyatakan "Aku tidak mungkin mengawinimu karena kamu seorang ronggeng. Kamu milik Dukuh Paruk". Namun LKDH disisipi konflik-konflik yang lebih menarik, dan sebagaimana ironi yang muncul di RDP, lagi-lagi Ahmad Tohari, mengakhiri LKDH dengan ironi lainnya. Saya menilai LKDH lebih baik dan juga lebih matang dibanding RDP. 

Apa sih arti Lintang Kemukus, dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah bintang berekor alias komet. Dalam masyarakat tradisional, hal-hal seperti ini dapat dianggap sebagai pertanda alam. Pada 1965 memang dilaporkan adanya penampakan Lintang Kemukus yang menurut pandangan tertentu merupakan pertanda pergantian kepemimpinan dengan cara kekerasan. 

Bagi saya buku kedua dari trilogi ini menunjukkan perkembangan  kematangan menulis dibanding buku pertama, namun tentu saja  Ahmad Tohari tetap hadir dalam LKDH dengan stylenya yakni "melukis alam". Meski berbeda gaya dengan Pramoedya Ananta Toer, namun tidak aneh kalau trilogi ini digadang gadang sekelas dengan karya puncak kwartenariusnya Toer, yakni Bumi Manusia.  




Perhatikan bagaimana Ahmad Tohari melukis alam dengan kalimat "Di tanah Dukuh Paruk semua pepohonan mulai mengurangi kerimbunan daun. Beringin di puncak kuburan melepaskan ribuan daun kuning bila angin berhembus. Daun pisang dan keladi muda tumbuh lebih sempit. Rumpun-rumpun meranggas. Alam telah mengajar mereka bahwa untuk mempertahankan hidup mereka harus hemat air selama kemarau. Yang agak menyendiri adalah pohon mangga dan bungur. Keduanya malah mulai berbunga ketika kemarau menjelang". Ahmad Tohari juga menyinggung berbagai tokoh dalam lukisan alamnya yang entah apakah masih bisa kita lihat saat ini seperti burung celepuk, sikatan, keket, bluwak, trinil, kacer, cabak, branjangan, dan hahayaman.

Salah satu bagian paling menarik adalah saat menggambarkan bagaimana ilmu hitam memainkan peran. Adegan saat Dilam berkonsultasi dengan  Tarim digambarkan dengan memikat dan terkesan kelam serta mistis. Begitu juga ketika  Marsusi "mengerjai" Srintil saat pentas, digambarkan dengan menegangkan, meski akhirnya anti klimaks, alias terjadinya perdamaian antara Marsusi dengan kerabat Srintil. 

Ahmad Tohari, lagi-lagi mengenalkan kita pada budaya unik masa lalu, seperti tradisi Gowok. Dimana wanita yang berprofesi layaknya Srintil memiliki tugas untuk terlibat dalam "transformasi" seorang bocah menjadi lelaki dewasa. Komunikasi antara Waras, si pemuda yang menjadi obyek gowok dengan Srintil digambarkan dengan menyentuh. Ahmad Tohari, harus diakui memang seorang pencerita yang handal. 

Novel legendaris ini akhirnya melengkapi mosaik situasi diIndonesia, saat saat kerusuhan di 1965, dimana begita banyak masyarakat yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, terseret dalam aneka tuduhan serius yang berakhir dengan perampasan hak hak mereka sebagai manusia, begitu juga Srintil. Akhir kata, mengamati begitu hidup dan detailnya penggambaran DUkuh Paruk, menyisakan pertanyaan buat saya, apakah dukuh ini benar-bena ada ? dan siapakah sebenarnya Ahmad Tohari di dalam setting Dukuh Paruk di alam nyata.