Thursday, April 09, 2015

Jalan-jalan ke Pangandaran Part #1 of 5 Keberangkatan


Tahun 2007 untuk pertama kali saya dan keluarga ke Pangandaran. Sayang sekali karena tidak banyak informasi, kami cuma beristirahat di hotel, bersepeda menyusuri Pantai Barat dan Pantai Timur, berenang serta main ke pantai. Khusus kuliner ikan laut kami ke pasar di Pantai Timur untuk mencicipi hidangan khas Pangandaran. Saat itu kurang lebih setahun sejak tsunami menyapu hotel-hotel di sepanjang Pantai Barat. Meski gempa pemicunya hanya 6.8 SR, namun karena diakibatkan pertemuan dua lempeng Indo Australia dengan Eurasia di kedalaman 30 km, Pangandaran mengalami tsunami  yang cukup serius. Penduduk disana bercerita ketinggian gelombang mencapai lima meter, dan gubuk-gubuk disepanjang pantai yang tadinya menjajakan minuman keras serta wanita nakal ikut tersapu habis. Saat itu Pangandaran sempat lenyap dari list destinasi wisata.  Tak aneh ketika kami berlibur di tahun itu situasinya masih relatif sepi.

Tak terasa delapan tahun berlalu, saat saya bersama istri memutuskan untuk melakukan employee gathering tahun 2015 bagi klinik kami yang sudah hampir setahun beroperasi, lagi-lagi Pangandaran masuk nominasi. Berbeda dengan tahun 2007, kali ini kami mengontak sebuah travel yang dikelola penduduk asli Pangandaran.  Setelah diskusi panjang lebar dengan Pak Asep Hendra sebagai perwakilan travel, kami mulai memilih lokasi tujuan disekitar Pangandaran sehingga akhirnya kami memutuskan untuk berangkat Sabtu 21/3/2015 dan kembali Minggu 22/3/2015. Pihak travel mengajukan  berangkat jam 02:00 pagi, sementara saya berkesimpulan bahwa secara fisik kami akan mengalami keletihan karena kurang tidur, sehingga saya berinisiatif memajukan  waktu berangkat menjadi jam 23:00 Jumat 20/3/2015.




Setelah semua persiapan dilakukan termasuk kaos seragam klinik, employee gift, snack box, dll maka rombongan dengan jumlah sekitar 30 orang pun berangkat menggunakan bis Kramat Djati bermerk Hino berukuran menengah yang disewa pihak travel. Ternyata bis berhenti di sebuah restoran tanpa meminta persetujuan kami. Sepertinya ada kerja sama antara perusahaan bis dengan restoran tsb. Setelah berhenti cukup lama meski tidak satupun dari kami yang berniat makan (karena sangat mengantuk), bis pun lalu melanjutkan perjalanan.

Setelah subuh di sebuah masjid, maka sekitar 4 sd 5 km dari Pangandaran jalan mulai memadat, dan ternyata kami sampai saat matahari bersinar terang, alias menjelang jam 08:00.  Perjalanan pergi akhirnya membutuhkan hampir delapan jam untuk jarak sepanjang 223 km. Dari Bandung kami melalui Tasimalaya, Ciamis, Banjar dan akhirnya Pangandaran. Hemm Pangandaran memang bukan lokasi yang bisa dibilang dekat dari Bandung. Tour Guide kami yang sudah berkali kali menelpon dan menunggu sejak subuh untuk mengajak kami melihat sunrise, akhirnya naik ke dalam bis. Suparmin demikian nama pria asal Jawa yang sudah lama tinggal di Pangandaran. Dengan ramah dia bercerita dan menyayangkan kami yang tak sempat melihat sunrise yang pagi ini ternyata sangat indah karena cerahnya langit.

Pangandaran, demikian menurut Suparmin, berasal dari kata Pangan (makan) dan Daran (pendatang), yakni penduduk luar yang mencari makan di daerah tersebut. Menurut Suparmin sejak pemekaran dengan Kabupaten Ciamis tahun 2012, menjadi kabupaten Pangandaran, banyak kemajuan di Pangandaran. Di sepanjang jalan nampak baliho kandidat pejabat setempat yang sepertinya akan berkompetisi untuk menjadi pimpinan daerah.

Tak lama bis berhenti di sebuah warung makan dipinggir Pantai Timur, dan kami langsung menyerbu capcay seafood, cumi goreng tepung, sambal, kerupuk, serta teh manis yang sudah disediakan.  Warung ini milik Bu Surman, yang suaminya saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMAN 1 Pangandaran. Bu Surman turun tangan langsung untuk memastikan semua makanan sudah siap dan mempersilahkan rombongan makan.

Selesai makan kami melihat-lihat kumpulan perahu nelayan di depan Warung Bu Surman, dan terlihat cukup banyak perahu. Ternyata nelayan disini berangkat malam hari dan sudah kembali pagi hari, sehingga sepanjang siang perahu-perahu tersebut memang selalu berjejer di depan Warung Bu Surman. Di masa lalu karena banyak menggunakan layar, nelayan memang menggunakan angin untuk mencari ikan, saat malam angin bertiup ke laut dan menjelang pagi angin bertiup ke darat. Namun nelayan saat ini ternyata tetap memillih malam hari meski sudah banyak yang menggunakan mesin.


No comments: