Wednesday, August 19, 2015

Yoga, Halal atau Haram ?

Bulan Mei 2015 lalu saya ditugaskan mengikuti acara kantor di Bali, tepatnya di Stones Hotel  Jalan Raya Pantai Kuta, Legian. Acaranya berlangsung 2 hari, dan pagi hari di hari kedua, ada acara khusus program leadership dari kantor dengan nama “Art of Living”. Setelah mencari tahu, ternyata ini adalah acara Yoga.  Saya tidak pernah belajar Yoga, dan saat itu mengira Yoga ada hubungannya dengan mantra, jika saya ragu, artinya lebih baik bagi saya untuk tidak mengikutinya.  Apalagi saya pernah mendengar semacam Majelis Ulama di Malaysia melarang muslim mengikuti ini.

Balik ke Jakarta, saya tidak mengira kalau hal ini akan dijadikan program oleh kantor, dan pada tanggal 24 sd 26 Juni 2015, Presdir mewajibkan karyawan level pimpinan mengikuti pelatihan selama tiga x setengah hari. Presdir mengingatkan pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.  Dalam email beliau juga dijelaskan bahwa ini tak ada hubungannya dengan religi. Beliau juga mengingatkan bahwa pelatihan ini membantu untuk memusatkan perhatian, membantu menemukan kekuatan dalam diri kita, dan memberikan ketenangan jiwa sehingga secara keseluruhan memudahkan kita mencapai kebahagiaan.

Samar-samar, saya jadi ingat saat tahun terakhir di Metrodata Group, salah satu team member saya, yang merupakan instruktur Yoga saat kuliah di Malaysia. Meski sempat terpikir untuk bertanya padanya, namun akhirnya saya memilih googling. Saat berusaha mencari informasi soal halal-haramnya Yoga ini, ternyata fatwa Majelis Ulama Indonesia berbeda dengan Malaysia. Berikut fatwa Yoga yang dirilis Majelis Ulama Indonesia;
  • Yoga yang murni ritual dan spiritual agama lain, hukum melakukannya bagi orang Islam adalah haram.
  • Yoga yang mengandung meditasi dan mantra atau spiritual dan ritual ajaran agama lain hukumnya haram, sebagai langkah preventif (sadd al-dzari'ah).
  • Yoga yang murni olahraga pernafasan untuk kepentingan kesehatan hukumnya mubah (boleh).
Setelah membaca fatwa tersebut saya sedikit lega, dan memutuskan untuk membeli beberapa potong kaos serta celana olah raga, sesuai dengan anjuran, dan lalu bergegas ke Parklane, lokasi yang akan digunakan selama tiga hari kedepan. Seandainya memang ada mantra, saya berencana untuk izin tidak meneruskan program ini. 

Instrukturnya bernama Jerry Ng, menggunakan kostum putih putih, dengan rambut panjang terikat yang juga berwarna putih serta tanda bulatan merah di dahi, Jerry tampil layaknya pelukis papan atas alias “nyentrik”. Sebelum tahu nama beliau saya sedikit menebak, kenapa wajah China tp style-nya India ya ?, ternyata memang beliau keturunan China yang mendalami tradisi India.

Pada dasarnya Yoga adalah soal pernapasan, jika kita bisa tidak minum satu hari, tidak makan satu minggu, namun kita tidak bisa berhenti bernafas meski hanya 10 menit. Jadi konsep Yoga, menganggap bernafas lebih penting dari sekedar makan dan minum, dengan meningkatkan kualitas bernafas sekaligus akan berdampak positif bagi raga dan juga jiwa. Seorang master Yoga, bahkan dapat memerintahkan tubuhnya untuk bekerja lebih lambat dengan mengatur pernafasan, sehingga dapat tidak makan dan minum berhari-hari, atau bahkan dalam keadaan dikubur di bawah permukaan tanah untuk mendapatkan suasana yang lebih pas saat relaksasi. Sayang saya tidak mendapatkan penjelasan komprehensif kenapa dalam beberapa literatur yang saya baca seorang master Yoga bahkan dapat melayang saat bermeditasi. 

Selama tiga hari, khususnya hari kedua dan ketiga saya menderita gatal tenggorokan yang benar-benar mengganggu, entah karena pelatihan di lakukan saat Ramadhan dan kekurangan asupan cairan. Ritual sahur juga membuat saya mengantuk saat sesi  relaksasi di matras, dan sempat mengorok (namun ternyata bukan saya saja yang mengorok) dan membuat kaget peserta lainnya.



Kesimpulannya, memang di pelatihan yang saya ikuti, tidak ada mantra, namun saat latihan pernapasan, kita memang diperdengarkan suara lirih nan misterius dari Sri Sri Ravi Shankar, yang berulang uolang menjeritkan Sohhh.. (untuk menarik nafas) dan Hummm...(untuk melepas nafas). Tahap-tahap dalam melakukan Yoga melewati 4 tahap, sbb;
  • Pranayam 
    • Resting Stage,
    • 1st Stage, 
    • 2nd Stage, 
    • 3rd Stage.
  • Bhastarika (Bellows Breath), through 
    • Breathe in and, 
    • Breathe out
  • Sound Vibrations
  • Sudarshan Kriya 
    • Cycle 1 Long Deep Breath
    • Cycle 2 Medium Breath,  
    • Cycle 3 Fast Breath
    • Lie down or meditate 5 minutes after Kriya

Praktisi Yoga meyakini, bahwa banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukannya secara teratur, misalnya mengurangi level stress, meningkatkan daya tahan tubuh, mengurangi kolestrol, mengurangi kegelisahan dan tekanan akibat depresi, meningkatkan fungsi otak, dan secara keseluruhan kesehatan serta memberikan rasa damai. Bagaimana dengan saya ?, pada dasarnya bagi saya kondisi relaksasi agak berbahaya jika tidak diisi dengan dzikrullah atau mengingat Allah SWT, selain itu saya merasa belum benar-benar melakukan shalat, yang dimulai dengan wudhu yang benar, sujud yang benar, duduk yang benar, dll dengan semua gerakannya. Pada ibadah sholat, wudhu yang benar saja pun sudah dapat membangkitkan efek yang mendekati akupuntur. Karena itu saya memilih menyempurnakan sholat dulu, yang saya yakini mempunyai efek yang minimal sama.  

Silahkan cek link http://hipohan.blogspot.com/2010/10/gerakan-shalat-dari-persepsi-ilmu.html
 untuk mengetahui manfaat shalat.



Thursday, August 13, 2015

Menjadi Enterpreneur Part #1 of 7 : Mengawali Mimpi



If you don't design your own life plan, 
chances are you'll fall into someone else's plan. 

Jim Rohn

Sejak kecil saya mengamati Ayah almarhum, yang bekerja di Perum Pos dan Giro (sekarang PT Pos Indonesia) bekerja keras, dan pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Bagian Umum Pusat Perencanaan. Namun meski kerja puluhan tahun,  saat pensiun, untuk langganan media kesukaan ayah seperti Koran Tempo, Majalah Tempo dan Jakarta Post saja, sepertinya sudah membebani keuangan Ayah. Jadi menurut saya apa yang dikatakan Jim Rohn diatas benar sekali, jika kita tidak memiliki mimpi kita sendiri maka kita akan menjadi bagian dari (mewujudkan) mimpi orang lain, dan lalu "dicampakkan" (jika dianggap sudah tidak berguna bagi perusahaan). Mungkin terdengar kasar, namun kenyataan-nya anda memang cepat atau lambat akan diganti dengan sosok yang lebih muda, atau lebih murah, atau lebih bagus, atau apapun alasan yang digunakan perusahaan. 

Dunia enterpreneur sejujurnya bukan hal yang benar-baru bagi saya, saat SD saya pernah membuat perpustakaan bersama teman-teman sekelas, saat SMA saya sempat jualan kartu pos yang di gambar sendiri, saat kuliah pernah jualan minuman botol (meski hanya sehari), dan lulus kuliah sempat membantu usaha katering kakak.  Saya juga pernah membuat usaha fotografi kecil-kecilan dengan teman seangkatan kuliah. Bahkan saat menjadi Division Manager di Metrodata saya pernah jualan keripik singkong pedas (sekalian membantu Ibu yang ingin memiliki kegiatan meski sudah berusia lanjut). 

Tahu pentingnya memiliki jiwa enterpreneur, saya berusaha menularkannya ke Si Sulung dan Si Bungsu yang masing-masing pernah membuka kursus drum dan piano. Hanya saja memang tidak ada yang benar-benar secara serius dijalani. Saat di Sekolah Alam mereka juga turut berjualan bakwan udang, dll. 




Mari kita kembali ke tema blog kali ini, dimulai saat pindah ke Griya Bandung Asri tahun 1997 (Setelah menikah tahun 1994), maka istri mengambil inisiatif untuk buka praktek pribadi. Karena rumah kami yang beralamat di Blok I3 No 17 cuma berukuran 144 m2 (Dengan tanah 164 m2), maka pada awalnya praktek istri hanya menempati paviliun rumah. Kami sediakan kursi tunggu ala kadarnya, dan semua fungsi dijalankan istri sendirian, yakni menerima pasien, menimbang, mengukur tinggi badan, diagnosa, peracikan, kasir dan pemberian obat. Hari pertama tidak ada pasien, begitu juga hari kedua, namun alhamdulillah telor pecah di hari ketiga saat pasien pertama datang. Saya yang begitu gembira sampai-sampai menyediakan minuman dan mengajak pasien pertama berbicara ngalor ngidul layaknya sahabat yang lama tidak bersua. 

Moral of The Story 
  • Kalimat Jim Rohn sebagai pembuka diatas, adalah kiriman seorang teman yang sedang memulai peruntungannya dalam bisnis makanan supplemen. Namun kalimat itu terus mengiang-ngiang dalam benak saya, dan menjadi pendorong untuk bisa memulai usaha, dan mengubah klinik kecil yang lebih berorientasi praktek pribadi menjadi klinik dengan berbagai fasilitas layanan. 

Menjadi Enterpreneur Part #2 of 7 : Akhirnya Berdiri Sendiri.


Pada tahun 2001, Klinik pindah ke depan rumah yakni, Blok I4 No 7 untuk mengantisipasi terbatasnya space (khususnya ruang tunggu pasien). Sampai dengan saat itu layanan masih berupa pelayanan dokter umum (termasuk khitan) dan dispensing obat generik. Namun bagi saya dan istri, ini momen penting yakni saat klinik memiliki bangunan sendiri, meski secara layanan masih praktek umum dan fisoterapi. 




Karena klinik terus berkembang, maka tahun 2008 Klinik kembali pindah ke Blok I3 No 17, jika dulu hanya menempati paviliun, maka kali ini seluruh bangunan ex rumah kami dijadikan sebagai klinik. Sementara kami sekeluarga pindah ke Tirtawangi Raya sekitar 400 meter dari lokasi rumah lama atau klinik baru. Dimasa itu saya bertugas mendampingi istri belanja obat, ke percetakan, pengurusan izin ke lokasi sekitar, mengembangkan sistem layanan IT, dan yang berhubungan dengan kepegawaian.

Lantai dua kami gunakan untuk supir klinik beserta keluarganya, sementara  lantai satu masih berupa layanan fisioterapi dan dokter umum. Pada tahun ini kami sempat membuka layanan kebidanan, namun karena tidak memiliki bidan standby, layanan ini tidak berkembang. Sementara untuk layanan fisioterapi, karena partner kami memiliki lokasi praktek lain, layanannya kurang konsisten, dan masih sering bolong-bolong alias kadang ada dan kadang tidak. 

Awal tahun 2013, istri akhirnya keluar dari Rumah Sakit Al Ihsan, setelah diakuisisi Pemda, baginya birokrasi Rumah Sakit menjadi terlalu kompleks dan tak lagi nyaman. Sejak itu istri lebih fokus mengelola praktek pribadi di lokasi rumah kami yang lama. Namun kadang istri merasa sedih karena management skill sebagai Kepala Seksi Layanan Medis, yang dia jabat saat di Rumah Sakit tidak mendapatkan penyaluran dalam klinik kami. 

Pada masa itu, kami lebih fokus untuk menabung untuk persiapan hari tua dan sekolah anak-anak, lalu rumah di I4 No 7 kami jual, begitu juga rumah kami di Pinus Regency. Tahun 2013 istri yang sangat ingin wisata ke Blue Mosque dan Hagia Sofia di Istanbul menyisihkan sebagian tabungan kami untuk rencana akhir tahun tersebut. Belakangan rencana ini berubah menjadi Umrah dan Mesir saja, lantas berubah lagi disesuaikan dengan keuangan menjadi Umrah saja. Namun karena tabungan yang ada terus menerus disedot oleh aktivitas pembangunan klinik, maka tujuan liburan berubah lagi menjadi jalan2 ke Pulau Seribu.Untung saja anak-anak dapat memahami, meski Si Sulung sangat ingin kami umrah sekeluarga. 

Moral of The Story 
  • Menabung memang baik namun seberapa banyakpun tabungan selama tidak dinvestasikan akan segera habis. Menempatkan tabungan dalam bentuk logam mulia, properti dll akan memberikan peluang secara finansil untuk stabilitas nilai tukar, namun akan lebih baik lagi jika diinvestasikan dalam bentuk usaha. 
  • Anda mungkin berpikir bagi saya dan istri situasinya akan lebih mudah karena profesi istri, namun setiap orang sebenarnya dapat memilih bidang yang menjadi minatnya dan dapat memulai usaha segera, apakah kursus musik, kursus bahasa asing, kursus memasak, kursus komputer, kursus menyetir, kursus menjahit, bimbingan belajar, warung, agen properti di lingkungan anda, salon. dll


Menjadi Enterpreneur Part #3 of 7 : Menabung vs Investasi


Karena memang dasarnya tidak suka menabung, dua tahun setelah membangun rumah di Tirtawangi, sekitar tahun 2010 saya memutuskan untuk membeli lahan milik Bapak Haji Endang Gaos seorang pensiunan tentara di Blok C, yakni seluas 1.078 m2 dan berlokasi di pinggir jalan. Saat itu sempat tercetus untuk membuatnya menjadi lokasi kost. Di daerah kami cukup banyak tempat kost bagi mahasiswa STTTelkom (sekarang Telkom University).

Oh ya sekedar penjelasan, kenapa saya tidak suka menabung, pertama adalah karena masalah bunga yang memang secara Islam dianggap haram, kedua faktor inflasi yang terus menerus sehingga merosotnya nilai mata uang, lalu likuiditasnya yang tinggi dan kadang menggoda saya dan istri untuk ganti mobil misalnya. Itu sebabnya bagi saya alokasi dana yang ada lebih baik digunakan untuk membeli properti atau lahan serta modal usaha. 

Dengan berjalannya waktu, kami memikirkan alternatif lain yakni membuat kompleks mini dengan model Cul de Sac, trend yang saat itu mulai marak. Perhitungan saya lahan 1.075 m2 dapat digunakan untuk membuat enam rumah ukuran menengah. Namun istri belum setuju, jadi saya iseng-iseng menawarkan bagaimana kalau membuat klinik saja. Namun istri bertanya berapa kira-kira biayanya yang saya jawab cukup dengan menjual klinik saat ini (padahal saya tahu tidak akan cukup dan ternyata memang 5x lipat nya). Namun saya terpaksa berbohong “baik”, agar istri tergerak untuk mau menjalankannya. 




Pada saat itu pasien mulai bertambah, dan warga sekitar mengeluhkan pasien yang parkir sembarangan. Melihat istri yang masih ragu membuat keputusan, saya berusaha  membujuk istri untuk memberi order perencanaan gambar klinik ke mantan Abang Ipar. Kenapa ke Abang Ipar ? karena saat itu beliau mengalami kesulitan keuangan, dan ide saya akhirmya menghasilkan gambar awal klinik. Dengan adanya gambar saya berusaha menularkan mimpi saya kepada istri.  




Namun istri yang sudah berada di zona nyaman, masih belum juga untuk memulai. Tak mau putus asa saya mengontak mantan kontraktor rumah di Tirtawangi yakni Pak Yanto, untuk melanjutkan gambar tsb. Pak Yanto lalu meminta seorang arsitek freelance bernama Pak Hidayat. Dan muncullah penampakan tiga dimensinya, sayang saya masih merasa ada yang kurang pas. Melihat saya masih tidak puas, maka Pak Yanto demikian nama kontraktor sekaligus sahabat saya melanjutkan penyelesaian gambarnya. 

Akhirnya setelah komplain kesekian dari warga soal parkir, dan kehilangan aspek manajerial yang juga dia sukai selepas keluar dari Rumah Sakit Al Ihsan,  istri pun menyetujui pembangunan klinik baru. Dengan satu syarat, yakni biayanya tidak boleh melebihi nilai penjualan lokasi praktek sekarang di Blok I3 No 17. Karena niatnya memang "menjebak" istri, syarat tersebut dengan cepat saya setujui. Paralel sambil melakukan persiapan pembangunan klinik baru, kamipun menawarkan klinik di Blok I3 No 17 untuk dijual. 

Moral of The Story 
  • Sesungguhnya salah satu hal yang terpenting dalam dunia usaha, adalah berani langsung melangkah serta mau secara terus menerus menyempurnakannya. Jika terlalu khawatir akan segala hal, justru bisa berdampak serius dan malah menggagalkannya. 


Menjadi Enterpreneur Part #4 of 7 : Visi Arsitek Kelima.


Pak Yanto yang semakin jarang di Bandung akhirnya memohon maaf tidak bisa me-lead proyek yang kami tawarkan. Namun saat sedang melintas di jalan Ciganitri saya bertemu Pak Yan Sofyan, seorang teman tenis, yang biasa mengerjakan proyek-proyek irigasi. Saya dan istri menawarkan beliau me-lead proyek ini, dan bersama sama seorang arsitek veteran sebagai arsitek keempat alias Pak Zed, kami mulai menggarap penampakan klinik.




Namun setelah dua bulan saya masih saja belum puas dengan desainnya, sehingga saya menghentikan proyek desain tsb, dan lalu mengontak sahabat istri yakni seorang dokter spesialis penyakit dalam dan suaminya seorang ustadz. Mereka berdua mengenalkan saya pada keponakan beliau sepasang suami istri arsitek alumni ITB, yang salah satunya pernah menjadi team Pak Ridwan Kamil. Di tangan arsitek muda bernama Mas Priyatna inilah, akhirnya konsep tersebut terlihat lebih sesuai dengan keinginan kami.




Untuk nama klinik kami memilih nama Nadhifa Al Ghiffari, dimana Nadhifa artinya bersih sedangkan Ghiffari suka memaafkan dan lembut, harapan kami, selain bersih, klinik ini juga sabar dalam melayani pasien serta semua pegawainya bertutur kata lembut. Namun kalau ada yang bertanya kenapa nama  itu yang dipilih, sejujurnya selain arti yang disebut di atas, Nadhifa al Giffari adalah nama kedua anak kami. Saya juga meminta desain tersebut memiliki kaligrafi, baik untuk nama klinik maupun motto klinik. 



Proses diskusi dengan Mas Priyatna cukup sulit, karena ybs tinggal di Bali, sementara saya tidak punya budget untuk membiayai kedatangannya ke Bandung. Akhirnya Mas Priyatna menyarankan saya untuk instalasi software Sketchup, dan mengirim hasil desain tahap per tahap via Dropbox. Sementara saya setelah mereview design, memberikan umpan balik untuk proses perbaikannya. Untuk pengecekan kaligrafi, kami meminta bantuan Mas Ustadz Rofi' Usmani, suami mbak dr Ummie sekaligus paman Mas Priyatna.  Saat Mas Priyatna ada urusan di Bandung, ybs menyempatkan untuk meninjau langsung ke lokasi sekitar 2x. Kadang desain Mas Priyatna memerlukan ekstra effort, contohnya saat memerlukan kerajinan tanah liat bata bolong yang terpaksa saya cari sendirian sampai ke tempat pembakarannya di Plered. 



Lalu setelah meminta izin warga, RT, RW, Lurah dan Camat dan mendapatkan izin bangunan, kamipun memulai pekerjaan tersebut. Sejumlah warga sempat menyatakan keberatannya dan mengundang kami beberapa kali, khususnya masalah penggunaan sumber air, pengelolaan limbah medis, dampak pembangunan klinik terhadap banjir, namun alhamdulillah melalui diskusi yang cukup hangat dan karena mayoritas warga mendukung, kami bisa terus melanjutkan pembangunan.  Komplain warga salah satunya karena saat masih berupa sawah, lahan ini digunakan untuk untuk menampung kelebihan air dari blok sekitarnya.




Selain kasus diatas sejumlah broker tanah urugan dengan berbaju preman setempat, juga memaksa kontraktor kami Pak Yan Sofyan, menggunakan jasa mereka dengan jaminan pengamanan dan broker fee Rp 5000 per m3. Saat musim hujan, pasokan tanah urugan meleset dari waktu yang disepakati dan mereka terpaksa menanggung biaya eskavator yang di sewa secara jam-jaman, situasi sempat memanas, karena Pak Yan Sofyan tidak mau membayar kelebihan nilai. Namun akhirnya kami terpaksa mengalah meski hal ini menjadi pos pengeluaran tak terduga. Saya juga sempat konflik dengan sebuah organisasi massa berseragam yang sempat mengancam kami.

Dengan lurah lama (sekarang daerah kami sudah dipimpin lurah baru) pun sempat ada masalah, karena tidak jelasnya aturan soal tarif kontribusi. Ternyata salah seorang Ketua RW sahabat kami sempat menyebutkan komplain lurah lama, saat forum pertemuan RW, pada klinik kami mengenai kontribusi ke kelurahan yang menurut beliau terlalu kecil. Satu hal yang beliau lupa, kami sudah mencoba berkontribusi untuk infastruktur RT dan RW yang seharusnya menjadi tanggung jawab kelurahan.  Dan bukan maksud kami untuk menghindari pungutan, namun zaman transparansi seperti sekarang ini seharusnya dijelaskan aturannya dan jelas pula penggunaannya. Namun karena tidak bermaksud memperpanjang masalah, kami segera menyelesaikan kekurangan tersebut. 

Saya cuma berpikir, bayangkan saja, saya dan istri yang merupakan penduduk di daerah tersebut sejak 20 tahun yang lalu saja, sulit untuk berinvestasi, apalagi kalau pendatang. Bagaimana kalau beda agama atau suku misalnya, bisa jadi izin tidak akan pernah keluar.  Saya juga tidak melihat adanya kekhususan perlakuan untuk yang murni bisnis / komersil dengan yang sifatnya mengandung unsur sosial. Untuk layanan kesehatan, mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa tidak semua pasien sanggup membayar sesuai biaya, itu sebabnya tidak bisa disamakan dengan usaha yang murni bisnis / komersil seperti Alfamart atau Indomaret misalnya. Perhitungan kasar saya, untuk bisa break event point saja, kami butuh lima tahun, itupun dengan mengabaikan faktor inflasi. 

Lalu berlanjutlah pemeriksaan dari dinas seperti dinas lalu lintas, dinas tata ruang yang melakukan pengecekan terhadap koordinat klinik dan kesesuaian peruntukan, dilanjutkan dengan pengurusan izin dari dinas lingkungan dan amdal. Pada proses ini kami sempat memiliki kendala pengurusan dan dipimpong kian kemari karena masalah format dan dokumen-dokumen pendukung. Belum lagi ketidaksesuaian pasal dengan dinas kesehatan yang membuat kami bingung menggunakan yang mana. Saat proses masih tengah berlangsung mendadak ada reorganisasi di tubuh dinas lingkungan dan amdal, maka proses pengecekan kembali dimulai dari awal. 

Kami juga mengahadapi problem kelas klinik, karena Klinik Pratama dapat dipimpin dokter umum namun tidak mengizinkan praktek spesialis, sementara Klinik Utama meski mengizinkan praktek spesialis namun tak dapat dipimpin dokter umum. Kami lalu meminta sahabat yang sudah kami anggap sebagai kakak sendiri yakni Mbak dr Ummie Wasitoh SpPD, alias bibi Mas Priyatna, Sang Arsitek menjadi pimpinan di klinik, meski sehari-harinya operasional tetap menjadi tanggung jawab istri. Untuk penanganan limbah kami mengontak PT JasaMedivest, agar dapat memastikan prosedur pembuangan limbah berjalan dengan baik. 

Perizinan yang sempat terkatung katung ini juga bisa selesai karena bantuan Asosiasi Klinik Kabupaten, yang dipimpin dr. H. Kosim Syarief, MKM, disamping kerja keras istri yang semakin lama sudah semakin tabah menghadapi belitan birokrasi.  Semangat pantang menyerah Pak Kosim, meski sudah berusia lanjut, menjadi inspirasi bagi saya dan istri. Beberapa kali kami ke rumah dan klinik "Wasilah Sehat" milik beliau di Ciparay untuk berdiskusi mengenai soal perizinan yang memang sama sekali tidak mudah untuk diurus.

Juga kami lakukan penyesuaian terhadap aplikasi klinik menjadi model server, dilengkapi dengan router agar memudahkan mobilitas dan akses karyawan. Jika aplikasi klinik sebelumnya menggunakan PostgreSQL dan PHP dengan modul utamanya lebih ke medrec, maka aplikasi baru menggunakan SQL Server dan Delphi, dengan modul absensi/shifting, fisioterapi, kebidanan, apotik, gigi (termasuk sub modul cicilan yang ternyata harus ada), lab, perawat, dan rawat inap serta modul reporting sesuai kebutuhan Puskesmas di area kami. Untuk menghemat saya menggunakan 4 notebook bekas yang sebelumnya saya, istri dan anak-anak gunakan, serta 2 notebook baru. Untuk semua perubahan aplikasi kami meminta bantuan salah satu developer Rumah Sakit Al Ihsan, yakni mas Arief Rokhman. 

Moral of The Story
  • Tidak semua arsitek mengerti apa yang anda inginkan, sebagian besar arsitek membuat bangunan yang menurutnya bagus namun belum tentu menurut konsumen. Jadi tugas kitalah sebagai konsumen untuk mengarahkan agar desain akhir sesuai dengan peruntukan, namun tetap indah secara bangunan dan sesuai dengan anggaran.
  • Membuat usaha seperti ini sesungguhnya salah satu aspek tersulitnya adalah birokrasi / perizinan dan penerimaan lingkungan. 

Menjadi Enterpreneur Part #5 of 7 : Survive Saat Kepepet.


Salah satu aktivitas lari masa kanak-kanak dengan rekor tercepat yang pernah saya lakukan dalam hidup adalah saat dikejar anjing galak, itu benar-benar lari bagaikan angin. Saya tidak pernah berlari secepat itu sebelumnya, namun gonggongan dan moncong anjing yang mendengus-dengus meniup betis saya, memberikan saya “The Power of Kepepet”. 




Balik ke tema kita, menyadari estimasi penyelesaian klinik cukup sulit, maka kami mengatur proses penjualan klinik lama di Blok I3 No 17, dibagi menjadi beberapa tahap, dimana tahap terakhir sengaja kami minta ditunda karena klinik baru belum selesai. Namun setelah sempat berjalan, si pembeli berkeras agar bisa segera menempati klinik lama dan memaksa mempercepat pembayaran fase terakhir, karena beliau juga diminta pindah paksa dari rumah lamanya. Terpaksa saya mengontrak sebuah rumah untuk menampung beliau beserta seluruh barang-nya sambil menunggu penyelesaian klinik baru . Setelah sebulan, lagi-lagi si pembeli memaksa kami untuk keluar, bahkan meminta rumah dibagi menjadi dua, lantai atas ditempati pembeli beserta keluarga sedangkan praktek istri di lantai bawah.  Maka suatu hari di bulan April 2014 tepatnya tanggal 10, dengan terpaksa kami mengatur kepindahan ke klinik baru. 

Si Sulung sangat sedih saat rumah Blok I3 No 17 kami jual, baginya rumah itu menyimpan kenangan yang sulit dilupakan, kamarnya yang beratapkan glass block, dan sering bersuara merdu saat dentingan hujan menari nari diatasnya sangat berbekas di hatinya. Ruang tengah yang didesain dengan levelling, ruang main di lantai atas, dan banyak hal lainnya. Pantas saja lagu "House for Sale" di tahun 1970 an terdengar begitu menyayat, memang tidak mudah melupakan rumah ini, yang kami diami sejak 1997 sampai 2008. Namun hidup harus terus berjalan, dan tidak ada tempat terbaik bagi kenangan selain tersimpan di dalam hati. 





Situasi menjadi sulit, karena klinik baru sebenarnya belum siap, air masih kotor, parkiran belum ada, puluhan tukang bekerja, debu dimana-mana, suara gergaji listrik, pemotong keramik dan pukulan palu. Belum lagi tukang-tukang yang nakal merokok dimana-mana, juga menggunakan kamar mandi pasien. Sehingga saya terpaksa membeli pagar seng membatasi area kerja dan area layanan, meski kadang masih dilanggar. 



Saat perencanaan atap, untuk memenuhi keinginan Mas Priyatna, ternyata penggunaan baja WF bukan hal yang sederhana, setelah konsultasi dengan berbagai vendor baja atap ringan, hampir semuanya menyerah karena bentangannya yang ekstra lebar dan kemiringan kurang dari 5 derajat. Tidak kehilangan akal, saya ingat salah satu customer Metrodata (perusahaan tempat saya bekerja saat itu) bernama BlueScope Steel. Ternyata pimpinan cabang Bandung yakni Pak Rachmat sangat welcome dan sangat nyaman untuk diajak berdiskusi, akhirnya desain berhasil kami finalisasi dengan baik dan disesuaikan dengan produk yang Pak Rachmat miliki.  





Untung saat pembangunan memang dibuat secara modular, sehingga bangunan rawat jalan, fisioterapi dan lab dapat berjalan duluan, sedangkan rawat inap, mess karyawan dan mushalla menyusul. Meski sudah menjual klinik lama,  namun dana yang kami miliki masih saja tidak cukup, sementara pendapatan di saat-saat awal habis untuk membeli persediaan obat dan juga bagi hasil serta gaji karyawan. Setelah diskusi panjang lebar, unit link kami di Prudential pun kami korbankan, empat polis yang sudah ngendon di Prudential selama lebih dari 8 tahun, terpaksa kami amputasi masing-masing setengahnya. 



Setiap akhir minggu seperti saat membangun rumah di Tirtawangi tahun 2008, saya dan istri keliling untuk memilih keramik, kursi tunggu, peralatan kamar mandi, mebel, genset dan lain-lain. Khusus untuk mebel yang sifatnya spesifik kami mengontak Bu Lia, salah satu langganan kami untuk pekerjaan mebeler. Namun di lapangan ternyata terjadi problem komunikasi antara team Pak Yan Sofyan dan Bu Lia, berkali-kali saya mengundang kedua belah pihak, yang masing-masing saling menyudutkan.  







Istri yang sejak awal memang tidak ingin klinik ini dibangun, cukup tertekan dengan situasi finansial kami, sehingga memicu konflik antara kami. Sementara setiap minggu kami terus menerus harus menguras tabungan puluhan bahkan ratusan juta. Namun saya bertahan dan terus berkeras bahwa ini harus selesai apapun yang terjadi. Bagi saya, kami sudah tidak punya jalan mundur, kadang saya ingat kisah Tarikh Ibn Ziyad saat menaklukkan Spanyol dan membakar semua kapal yang mereka gunakan untuk mendarat, agar mendapatkan “The Power of Kepepet”. 




Pada hari pertama pindah, setelah kami melakukan seleksi para pegawai dan meminta tolong pada teman-teman perawat dan juga bidan dari RS Al Ihsan. Akhirnya layanan apotik, kebidanan berjalan, Lalu disusul praktek gigi, internis, fisioterapi dan laboratorium (dengan bantuan teman-teman Kimia Farma). Proses ini dapat berlangsung mulus khususnya untuk farmasi, karena istri sudah meminta mereka magang beberapa bulan sebelum kami pindah. 

Moral of The Story 


  • Saat tidak punya pilihan lain, ternyata saat itulah kemampuan ekstra bisa keluar, dan hal ini umumnya tidak bisa berhasil dalam zona nyaman. Mungkin itu sebabnya salah satu suku di Indonesia yang dikenal sukses secara finansil memiliki tradisi merantau secara turun temurun. Merantau memaksa keluarnya kemampuan maksimal yang kita miliki, untuk bisa bertahan hidup. 



Menjadi Enterpreneur Part #6 of 7 : Terwujudnya Mimpi.


Beberapa bulan kemudian rawat inap dan tempat tinggal karyawan di lantai atas selesai pula, dan kamipun belajar melayani pasien menginap yang tentu saja pengalaman baru bagi kami, khususnya soal penyediaan makanan, kebersihan ruangan dan lain lain. 

Untuk taman, air mancur,  kolam ikan dan pepohonan kami minta tolong Kang Deden, seorang pekerja taman dan bangunan yang sudah kami kenal lebih dari 10 tahun. Kang Deden juga yang melakukan perawatan rutin pada seluruh taman. 

Senang sekali melihat bagaimana layanan gigi dan apotik berjalan dengan baik dan menjadi salah satu top kontributor bagi klinik. Saya jadi ingat bagaimana istri saat-saat awal menolak keras berdirinya kedua layanan ini, namun akhirnya  melunak dan justru istrilah yang melead semua layanan ini secara langsung di lapangan, karena saya masih harus bekerja di Jakarta Senin sd Jumat. 




Wawasan  kami juga menjadi lebih terbuka setelah salah satu rekan istri, apoteker di RS Al Ihsan, menjelaskan bahwa secara normal pemasukan layanan kesehatan terbesar adalah dari Apotik dan Rawat Inap, sementara saat ini kami baru mulai mengaktifkan layanan Apotik, sedangkan Rawat Inap masih merupakan pelengkap sebagai syarat berdirinya Klinik Utama. Namun untuk merangkul apotik di sekitar klinik, khusus untuk obat-obatan mahal yang stok nya sengaja dibatasi, kami memrioritaskan apotik disekitar kami. 




Tak terasa sampai blog ini ditulis sudah sekitar setahun klinik ini berdiri, dan memiliki puluhan sumber daya dengan perincian 2 fisoterapi, 2 asisten apoteker, 1 apoteker, 1 peracik obat, 2 dokter gigi (dimana salah satunya spesialis orthodenti), 1 internis, 2 dokter umum (termasuk istri), 2 cleaning service merangkap petugas parkir, 1 driver, 1 pemeliharaan alat, 1 kasir, dan 2 bidan serta 4 perawat. Disamping itu ada 4 petugas lab yang merupakan pegawai mitra klinik kami.





Untuk menyemangati sumber daya yang memberikan layanan langsung ke pasien, khusus fisioterapi, dokter, bidan dan perawat (khusus RS Al Ihsan) kami menggunakan model bagi hasil sehingga semakin banyak pasien semakin besar pendapatan dan sebaliknya. Namun untuk apotik, kasir/keuangan,  cleaning services dan driver kami menggunakan model gaji tetap. 

Moral of The Story 
  • Mimpi hanya akan tetap jadi mimpi selama kita memilih untuk tidak mewujudkannya. 
  • Mewujudkan mimpi berarti harus berani mengorbankan banyak hal, interaksi dengan anak2 yang jauh berkurang, friksi dengan pasangan saat berbeda pendapat, keluar dari pekerjaan, kondisi ekonomi yang menurun drastis, dll, dan tak semua mimpi pasti langsung berhasil diwujudkan. 
  • Namun manakala suatu sistem sudah berjalan dengan baik, maka dia akan dapat berjalan dengan intervensi minimal dari pemiliknya. Pada saat itulah kita memiliki kebebasan finansial. 
Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/08/menjadi-enterpreneur-part-7-of-7-mari.html

Menjadi Enterpreneur Part #7 of 7 : Mari Berbagi Kebahagiaan

Meski tabungan sempat habis, dan harus langsung memikirkan THR di bulan pertama berdiri. Ternyata ada kenikmatan lain yang tak pernah saya duga, yakni kenikmatan berbagi. Istri share cerita saat lebaran 2015, dimana beberapa karyawan sampai berlinang air mata terharu ketika mendapatkan parcel ala kadarnya dan amplop THR, wuihh ternyata indah sekali nikmatnya berbagi. Alhamdulillah Allah SWT memberikan kami kesempatan menyalurkan sebagian rezeki kami ke para mitra kami di klinik. 






Salah  satu karyawan kami dulu harus berangkat tengah malam karena bekerja di Bekasi, dengan gaji yang kurang lebih seperti yang dia dapat di klinik kami. Belum lagi soal makan, dan biaya kos, sehingga dia hanya bisa pulang sebulan sekali, dan nyaris tidak bisa menabung apapun . Namun, kini dia bisa membantu orang tuanya. Sedangkan karyawan lain. mulai membeli motor, membantu modal bagi orang tuanya mendirikan warung, menyekolahkan adik, bahkan mencicil rumah, sehingga rezeki ini dapat terus mengalir dan membantu banyak orang dll 




Kenikmatan lain adalah saat mengajak karyawan menginap dan jalan-jalan ke Pangandaran. Melihat ekspresi gembira mereka sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Menyewa satu bis besar kami berangkat bersama-sama, menggunakan seragam yang sama, makan makanan yang sama, dan menginap di penginapan yang sama. Semoga kami dapat mengulanginya lagi tahun depan. 

Saat ini melihat Klinik sudah berdiri, di tepi jalan dengan sekian banyak fasilitas dan layanan, serta kunjungan terus menerus dari pasien setiap hari, rasanya jerih payah kami meski harus dijalani dengan sabar dan banyak berdoa, insya Allah tidak percuma.  Semoga Klinik ini terus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, bagi para mitra kami dan kiranya kami diberi kemudahan serta kesehatan untuk dapat menjalankan dengan sebaik-baiknya. 

Apakah kami akan berhenti ?, insya Allah tidak, kami sedang memikirkan layanan psikolog, penambahan ruang rawat inap, penyediaan ambulans, penyediaan base camp bagi karyawan, seleksi dokter-dokter yang memiliki chemistry dengan pasien, kerjasama dengan sekolah (saat ini kami sudah merintis klinik sebagai tempat magang bagi anak-anak lulusan SMK Farmasi di Kabupaten Bandung) dan perguruan tinggi dan koordinasi dengan perusahaan obat untuk kegiatan-kegiatan khusus seperti senam kehamilan, senam diabetes, renovasi beberapa sisi dari bangunan klinik,  investasi alat medis terbaru misalnya USG 3D, serta pembenahan administrasi kepegawaian dan pajak, dll. 


Moral of The Story 
  • Memiliki usaha sendiri memungkinkan kita berbagi rezeki, memberi kita kesempatan menentukan arah bisnis, dan memberikan kita wadah untuk beramal pada sesama, dan menjadi inspirasi bagi yang ingin memulai usaha. 
  • Mungkin hanya langkah kecil yang bisa kita ayunkan, namun semua perjalanan panjang dan sukar meski ke puncak Mount Everest sekalipun dimulai dengan satu langkah kaki kecil, setelah sebelumnya menetapkan tujuan yang ingin dicapai. 
  • Bagi saya dan istri, ini adalah salah satu ujian terberat dalam kehidupan rumah tangga kami, namun kami membagi peran dengan sangat pas, saya lebih sebagai perintis (karena memang berwatak sedikit nekat) dan istri yang lalu meneruskannya. Saat saya menjadi gas istrilah yang menjadi rem, demikian pula sebaliknya.