Wednesday, May 25, 2016

Jalan jalan lagi ke Singapore Part#1 of 5 : Persiapan dan Check In di Hotel V Lavender


Tanggal 5/5/2016 , kami sekeluarga bersama sekelompok teman berencana untuk jalan-jalan ke Singapore. Rombongan terbagi menjadi tiga group, group pertama berangkat duluan tanggal 4/5/2016, lalu disusul group 2 dan group 3 dengan menggunakan flight yang berbeda. Saya sekeluarga menggunakan Lion Air Flight JT150 jam 08:20, sebelumnya rombongan kami sudah memesan beberapa hal berikut via sunburst;

  • EZ-link (untuk akses transportasi MRT dengan saldo awal 12 SGD)
  • USS (Universal Studio Singapore) Ticket
  • Gardens by The Bay Ticket
  • Voucher Hotel V Lavender untuk 2 malam.
Sedangkan tiket pesawat kami pesan duluan langsung ke maskapainya untuk mendapatkan harga terbaik. Selain itu juga kami menyiapkan peta MRT revisi terakhir sebagai pegangan saat menggunakan fasilitas transportasi massal yang rencananya akan menjadi sarana kami saat bepergian. Juga termasuk menukarkan duit IDR ke SGD sesuai perkiraan rencana belanja. Buat saya sendiri Singapore tidak lagi merupakan surga belanja seperti dulu, sejak pernah membanding-bandingkan harga perlengkapan kamera, ternyata harga di Jakarta tidak kalah murahnya. 





Si Bungsu dan Si Sulung senang sekali mendapatkan kartu edisi khusus Batman dan Star Wars. Kuatir karena week end, saya memutuskan tidak ke Bandung melainkan langsung menuju bandara dari Jakarta bersama Si Sulung, sedangkan Si Bungsu dan Ibunya menyusul. Belakangan keputusan untuk membeli tiket duluan ternyata sangat tepat melihat antrian yang begitu panjang di USS.

Eh ternyata meski sudah bangun 03:30 dan berangkat jam 04:00 dari Grogol, jalan macet luar biasa, karena ada bottle neck di simpang menuju Bandara Soekarno Hatta dan Tanjung Priok, dan untungnya Pak Supir cukup tahu medan, serta setelah meminta izin, beliau langsung memutar via Slipi. Sesampainya di Bandara sambil menunggu Istri dan si Bungsu, saya dan Si Sulung sarapan Dunkin Donuts, dan lalu sholat subuh bergantian di Mushalla Bandara Terminal 2, Gate 1.

Sebenarnya ini bagi saya sudah merupakan kunjungan ke 5 (dan salah satunya pernah via Batam, dengan menaiki ferry dari Batam Center menuju Harbour Front), jadi saya dan keluarga ingin fokus pada destinasi lain yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya.

Jauh-jauh hari kami sudah memesan Hotel V Lavender, sayangnya saat kami tiba ternyata kolam renang sedang dalam perbaikan. Kamarnya memang relatif sempit, namun air panas melimpah ruah. Begitu sampai saya langsung mencoba mencari arah kiblat, sayang medan magnetiknya cukup kuat, sehingga saya memutuskan menggunakan aplikasi Qibla Compass Pro. Bagi kami sekeluarga menginap di sini sangat menyenangkan, hanya jarak sepelemparan batu, kita sudah langsung menemukan MRT Station Lavender, di sekitar hotel bertebaran berbagai kios makanan dan buah. Untuk tahu halal dan haramnya cukup cek sertifikat yang biasa ditempel di dekat kasir. Umumnya penjual disini juga akan melarang kita membeli jika haram, terutama jika melihat pakaian muslim yang kita gunakan. 


Karena hari pertama dan kedua, kami berencana untuk jalan sebagai rombongan, maka disini seni jalan berombongan lah harus dipakai, alias banyak sabar, karena ada saja yang mendadak ke toilet, masih tertahan di pos imigrasi, menambah saldo EZ-link, kartu EZ-linknya error, mau belanja Singtel Travel Card, dan lain-lain.  Bukan cuma itu dua anggota rombongan juga sakit, sehingga hari pertama ada dua keluarga yang memisahkan diri dan tidak ikut ke Gardens by the Bay. Setelah check in kami langsung ke MRT Station menuju Bayfront agar memiliki waktu cukup untuk eksplorasi Gardens by the Bay.  MRT Station khusus buat Gardens by The Bay sendiri rencananya baru akan beroperasi tahun 2021.  

Jalan jalan lagi ke Singapore Part#2 of 5 : Gardens by The Bay dan Clarke Quay


Tiket yang kami miliki terdiri satu tiket besar yang menghubungkan dua helai tiket kecil, masing-masing disisi kiri dan kanan. Sisi yang satu mewakili Flower Dome sedangkan sisi lainnya Cloud Forest. Barangkali tidak banyak yang tahu, destinasi nomor 1 di Singapore ini mampu meraih 20 Juta pengunjung hanya dalam 3 tahun sejak pendiriannya.  





Gambar diatas, merupakan salah satu penampakan Gardens by The Bay di Internet yang membuat kami penasaran untuk melihatnya secara langsung. Dari pintu depan, untuk menghemat stamina, kami menaiki bis terbuka dan mengingatkan saya akan Dusun Bambu yakni lokasi wisata di Lembang.






Lokasi Gardens by The Bay ini sangat dekat dengan Marina Bay, jadi saat di pintu masuk kita sudah bisa ambil beberapa foto di taman bagian depan dengan latar belakang Marina Bay. Sebenarnya sayang juga melewatkan pemandangan dari pintu masuk menuju ke Flower Dome dengan menggunakan bis terbuka, namun kami juga sadar harus menghemat stamina.





Jumlah koleksi tanaman di lokasi seluas 101 hektar ini tidak tanggung-tanggung yakni 1.000.000 tanaman, termasuk tanaman Eropa seperti Tulip yang hanya dapat tumbuh di cuaca dingin. Dengan rumah kaca raksasa seperti ini, udara bisa diset sehingga sesuai dengan kebutuhan setiap jenis tanaman. Setelah puas mengunjungi Flower Dome, bangunan rumah kaca setinggi 38 meter, kamipun menuju Cloud Forest.




Begitu kita masuk, langsung disambut dengan air terjun dan udara seperti di pegunungan. Sedih juga melihat betapa air terjun palsu ini menjadi lokasi dengan kunjungan wisatawan yang begitu tinggi, padahal air terjun aslinya dengan mudah kita temukan di banyak tempat di Indonesia. Bagi saya air terjun di Cloud Forest, terlihat tidak alami diantara pelataran logam, kabel baja dan kaca.




Lalu kami mulai merambat menaiki jembatan logam mengelilingi air terjun sampai ke tempat tertinggi. Rumah kaca Cloud Forest yang lebih tinggi dari Flower Dome sekitar 4 meter. Nampak sebuah kolam yang airnya begitu tenang, sehingga saya sempat mengira terbuat dari kaca. Tenangnya air ini menandakan struktur bangunan Cloud Forest yang kokoh. Menjelang pintu keluar nampak kumpulan stalaktit dan stalakmit, yang rasanya terlihat aneh, karena lebih mirip ruang pamer dibanding gua dimana kita biasanya menemukan obyek ini. 




Secara umum lokasi ini mengingatkan saya akan film Avatar, khususnya pohon-pohon raksasa artifisial alias Supertree Grove, dan konon kabarnya, film The Guardian of Galaxy menjadikan Gardens by The Bay menjadi inspirasi bagi Planet Xandar. Tadinya saya kira desain Garden by The Bay ada hubungannya dengan Ridwan Kamil, ternyata didesain oleh Grant Associates untuk Bay South and Gustafson Porter untuk Bay East, yang keduanya berasal dari UK. Ridwan Kamil sendiri lebih berperan untuk masterplan di  Marina Bay Waterfront.




Dari sini kami memisahkan diri dengan rombongan dan langsung menuju Clarke Quay. Diantara sungai dan jembatan cantik yang menghubungkan kedua sisi sungai, nampak banyak restoran di kiri dan kanan sungai. Perahu dengan lampu berwarna warni nampak hilir mudik melintasi sungai. Kami langsung menyeberang lewat jembatan sambil memotret sana sini, dan lalu menikmati kebab berukuran raksasa di salah satu warung di pinggir sungai. Karena tidak membawa tripod, saya menggunakan pegangan jembatan untuk mengabadikan foto ini. 



Di masa lalu Singapore River merupakan pusat perdagangan khususnya sejak Singapore mengalami cikal bakal modernisasi tahun 1819. Selama masa kolonial, perdagangan dengan kapal yang melintasi sungai ini,  menggunakan Clarke Quay sebagai gudang. Tahun 1977 sampai dengan 1987, Pemerintah Singapore membersihkan Singapore River dan resmi dibuka tahun 1993. 10 tahun setelahnya difasilitasi tempat bagi para penyewa yang membuka berbagai restoran yang dihubungkan dengan pedestrian yang nyaman bagi para turis.Ada festival rutin dan live music yang semakin membuat tempat ini menarik khususnya di malam hari.  

Lanjut ke Part #3 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/05/jalan-jalan-lagi-ke-singapore-part3-of.html

Jalan jalan lagi ke Singapore Part#3 of 5 : Sentosa, USS dan Bugis Junction


Pagi-pagi setelah sarapan di Burger King (dan cek sertifikasi halal sebelumnya) kami berkemas ke USS, kali ini semua anggota rombongan lengkap. Sampai di Vivo City melihat antrian panjang untuk membeli tiket, baru terasa betapa strategi kami membeli duluan saat masih di Jakarta tepat sekali. Tanpa membuang-buang waktu kami langsung menuju shuttle ke Sentosa Island dan berhenti di stasion pertama alias Water Front.




Karena sudah pernah kesini, sebenarnya USS buat kami tidak terlalu menarik, namun Si Bungsu masih ingin sekali lagi, dan memang saat kesini beberapa tahun lalu ada wahana yang tidak sempat kami coba yakni The Mummy dan Water World. Saat itu waktu kami habis untuk antri di Transformer, dan begitu keluar energi dan waktu sudah mendekati ambang batas. Nah karena itu kami cuma berkeliing keliling dan mencoba beberapa wahana yang belum pernah kami datangi sebelumnya seperti

  • Pussy in the Boots
  • The Mummy
  • Sesame Street.
  • Donkey Comedy
  • Light, Camera and Action (meski sudah pernah kesini sebelumnya tapi tetap takjub melihat special effectnya)
  • Waterworld
Sejak jalan-jalan ke Thailand beberapa waktu lalu, saya jadi suka sekali air kelapanya yang memang segar dan manis. Nah sempat menikmati dua kelapa yang ternyata dijual di USS, benar-benar mengembalikan semangat setelah berjalan di terik matahari diantara penantian wahana yang satu dengan yang lain. Mushalla masih berdiri di tempat yang sama yakni dibawah roller coaster, senang sekali bisa kembali menuaikan sholat disini.

Sambil menunggu jam tayang Waterworld kami makan di Mels Drive Inn, dan lewat jalan belakang kami kembali ke pusat wahana, ternyata kami melewati lokasi yang eksotis ala suasana pinggiran pelabuhan di Eropa. Kejutan bagi kami,  ada tempat yang disetting demikian menarik tetapi tidak berada di lokasi utama.




Kejadian lucu di Donkey Comedy, saat di absen oleh mbak-mbak MC, meski ada berbagai penonton yang berasal dari berbagai negara, ternyata tidak satupun yang berasal dari Singapore. Sepertinya USS sudah sangat membosankan bagi penduduk Singapore meski masih menjadi daya tarik bagi penonton dari negara tetangga di sekitar Singapore.

The Mummy termyata roller coaster dengan diiringi special effect yang sesuai dengan filmnya, cukup ekstrim gerakan-gerakan roller coasternya termasuk gerakan mendadak mundur dengan kecepatan tinggi. Si Bungsu yang sudah mengecek sebelumnya di Youtube memilih menunggu di luar, apalagi Pussy in The Boots sebelumnya sudah membuatnya cukup ketakutan. Sebelum masuk, kami harus menitipkan semua barang di loker berbayar, setelah keluar dari wahana baru saya mengerti kenapa semua barang-barang harus dititipkan di loker, soalnya kacamata saja nyaris lepas akibat gerakan roller coasternya.  

Waterworld hanya ada dua pertunjukan perhari, sekitar jam 13:00 dan sekitar jam 16:00, penonton luar biasa banyak, namun ternyata kapasitas kursi di dalam juga tidak kalah  banyak, sehingga ribuan penonton dapat masuk sekaligus dan ternyata masih cukup banyak kursi kosong alias sekitar 20% bangku. Pertunjukkannya merupakan live show dengan dibintangi aktor tampan dan aktris  cantik yang langsung beraksi menggunakan berbagai perahu, dan Jet Ski yang dipacu dengan cepat dan kadang disengaja menyemprotkan air ke arah penonton. Suasananya mengingatkan saya akan pertunjukan cowboy di Taman Safari.  Sebelum acara dimulai petugas yang bergaya jagoan dengan seenaknya menyemprot para penonton dengan senapan air. Jika tidak ingin basah sebaiknya anda menghindari duduk di bagian depan.

Sekitar enam dari anggota rombongan, memilih menggunakan express ticket , namun harus membayar kembali seharga tiket alias sekitar 500.000 IDR. Dengan tiket khusus ini mereka bisa antri di tempat tertentu yang memungkinkan untuk menjelajahi semua wahana secara cepat.

Saat keluar dari USS sambil menunggu rekan yang lain bergabung, tanpa disangka-sangka kami bertemu Pak Razak, tour leader sekaligus merangkap sebagai petugas intelijen Singapore, yang tempo hari menemani kami jalan-jalan di Singapore. Si Bungsu yang terkesan dengan Pak Razak langsung minta saya mendampinginya untuk bersalaman, dengan ramah Pak Razak yang memang masih keturunan Indonesia, langsung menyambut kami.

Istri sebenarnya sempat ingin ke Imbiah Station dan Beach Station sambil menunggu anggota rombongan yang lain, namun karena hari kedua masih merupakan acara kelompok, saya memilih menunggu yang lain berkumpul lalu makan malam di Bugis Junction. Sayang sekali tidak ada tempat yang benar-benar nyaman di Bugis Junction, kalau saja kami ke  Kampong Glam atau Clarke Quay mungkin kami bisa menikmati makan malam bersama-sama yang lebih seru.  Setelah makan kami ke Smiggle menemani Si Bungsu, paha yang sudah lecet dan betis yang sudah “berkonde” memaksa saya menunggu di salah satu stand Standard Chartered yang sudah ditinggalkan penjaganya.

Lanjut ke Part #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/05/jalan-jalan-lagi-ke-singapore-part4-of.html

Jalan jalan lagi ke Singapore Part#4 of 5 : Mustafa Center, Kampong Glam, Masjid Sultan


Tibalah pada hari ketiga, setelah menitipkan tas di penitipan khusus dan gratis yang memang disediakan oleh manajemen hotel, kami kembali sarapan di Burger King. Lalu langsung menuju MRT station ke Farrer Park. Lalu kami berjalan kaki di cuaca terik menuju Mustafa Center setelah mengaktifkan Googlemap.

Untuk hari ketiga, istri jauh-jauh hari sudah menyiapkan itinerary yang meski menarik namun juga harus berdekatan, mengingat kami harus segera ke bandara sore harinya. Boleh dibilang semua lokasi ini dapat dijangkau dengan berjalan kaki, karena jika harus menggunakan MRT, cukup banyak waktu terbuang untuk turun naik stasion. Mulai dari Farrer Park, Mustafa Center, Kampong Glam, Masjid Sultan, Haji Lane, Bugis Street sampai dengan Mint Museum of Toys. 



Mustafa Center sepagi itu masih sepi, lalu kami berkeliling kian kemari juga turun naik ke beberapa lantai, anak-anak minta dibelikan jam dan headset, sedangkan istri membeli paket khusus Lancome namun dalam kemasan mini. Saya tidak tertarik membali apapun, karena kaki yang terus berdenyut, sehingga bagi saya saat ini, kursi, tangga atau apapun yang bisa diduduki, lebih menarik dari apapun. Kami melewati deretan toko yang saat kunjungan dulu,  sempat menyimpan cerita tidak enak, ketika dikasari oleh satu pegawai toko kamera di seberang Mustafa Center.




Dari sini kami berjalan kaki lagi ke Kampong Glam untuk makan siang di Kampong Glam Cafe, dan lalu menikmati beberapa gelas besar Teh Leci yang sungguh sangat nikmat, lalu makan masakan ala Melayu seperti Tumis Toge, Ikan Goreng dan lain-lain. Suasana disini sangat nyaman, dan sepanjang jalan penuh dengan berbagai makanan halal. Kampong Glam, nama awalnya Kampung Gelam, mendapat nama dari Pohon Gelam yang banyak terdapat di Singapore. Dahulu tempat ini menjadi pemukiman awal masyarakat Bugis dan Jawa dari Indonesia.

Selain Masjid Sultan, disini terdapat Istana Kampung Glam, Taman Warisan Melayu dan perkampungan tradisional Melayu yang menjadi cikal bakal sejarah awal pembentukan Singapura. Destinasi ini  semasa pemerintahan Inggris, direnovasi dan dikelola, lalu dilanjutkan dengan baik oleh pemerintah Singapura dengan bekerjasama bersama Singapore Tourism Board. Saat ini Kampong Glam menjadi salah satu destinasi pariwisata khusus bagi turis yang tertarik dengan budaya masa lalu.




Lalu kami melewati Kampung Arab menuju Masjid Sultan untuk menuaikan shalat Lohor. Nampak sekumpulan anak-anak perempuan berjilbab sambil berbicara dan  beberapa kali menyebut kata-kata Bandung. Masjidnya sangat bersih dan nyaman, sambil menunggu istri dan Si Bungsu yang sholat di lantai dua, saya mengecek kondisi kaki dan kuku yang sempat mencuat, eh ketika ditarik alhasil malah berdarah. 



Lanjut ke Part #5 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/05/jalan-jalan-lagi-ke-singapore-part5-of.html

Jalan jalan lagi ke Singapore Part#5 of 5 : Haji Lane, Bugis Street dan Museum of Toys

Dari Masjid Sultan kami langsung menuju Haji Lane, yang memang sudah menjadi impian Si Bungsu sebelum berangkat, setelah merekam beberapa aksi Si Bungsu kami menyusuri jalan ini sampai ke ujung. Haji Lane, merupakan sebuah jalan kecil dipenuhi banyak toko butik dengan merk sendiri, yang didesain dengan cantik dan modern. Kami menemukan toko mainan juga disini, juga beberapa rumah cetak dengan kumpulan "quote" tokoh-tokoh dunia. Lokasi ini persih ditengah komunitas muslim Singapore. Kumpulan toko disini seperti antitesis merk-merk dunia di mall besar. Di bagian ujung kita dapat menemukan kumpulan grafiti yang merupakan satu dari sekitar 20 tempat yang kualitas grafitinya diakui di Singapore.  




Suasana yang begitu asri di sekitar Haji Lane dan sekaligus asli menyadarkan saya bahwa arsitektur bukan melulu menghancurkan yang lama dan menggantinya dengan yang baru, tetapi bagaimana justru melestarikan peninggalan lama sehingga menjadi cagar budaya dan jendela ke masa lalu. Semoga saja ini menjadi inspirasi bagi Jakarta dengan misalnya lokasi Luar Batang.





Lalu kami lanjut lagi jalan kaki melintasi jalanan menuju ke Bugis Street. Sebelum sampai kami menikmati berbagai buah-buahan,  juice sekaligus dan tentu saja Kelapa Thailand sambil beristirahat sebentar. Si Bungsu sesekali nampak meringis karena tumitnya sudah mengelupas. Sesampai di Bugis Street ternyata situasi terlihat sangat padat, kami berjalan sampai ke ujung sambil melihat-lihat sana sini.



Jika tujuan anda ke Singapore untuk belanja, maka Bugis Street cocok menjadi alternatif selain Orchard Road. Kelebihannya adalah harganya cenderung murah  sebagai pusat perbelanjaan dan lokasi yang strategis di antara Rochor, Victoria dan Queen Street. Untuk memudahkan turis berkunjung kesini, Pemerintah Singapore membangun MRT Station khusus.  

Dari Bugis Street kami kembali berjalan kaki menuju Mint Museum of Toys, jika di MRT istri (dan sesekali Si Sulung) yang bersemangat sebagai penunjuk jalan, kali ini sejak pagi saya yang selalu berada di depan sebagai penunjuk jalan sambil terus menerus mengaktifkan Googlemap. 




Sampai juga akhirnya di Mint Museum of Toys setelah melewati National Library of Singapore, lantai per lantai kami menikmati berbagai mainan, termasuk mainan tersohor yang konon kabarnya dibuat oleh pekerja anak-anak China alias Door of Hope, di rumah bordil Eropa. Terlihat juga boneka Tintin saat petualangan di Amerika. Tata cahaya nyaris semuanya diset dengan suram, sepertinya untuk menjaga agar koleksi museum tidak cepat rusak. 




Beberapa sudut dari museum ini agak menyeramkan seperti boneka Felix The Cat yang lebih mirip boneka di film-film horor. Meski dipenuhi mainan, Si Bungsu jelas menolak jika harus menginap di tempat seperti ini. Selesai dari Museum, tenaga kami sudah benar-benar habis, sebenarnya sangat menarik tur semua museum di Singapore, seperti
  • Lee Kong Chian Natural History Museum
  • The Sun Yat Sen Memorial Hall
  • National Museum of Singapore
  • The Mint Museum of Toys
  • Singapore Philatelic Museum
  • Peranakan Museum
  • The Heritage Centre
  • Asian Civilisation Museum
  • The Red Dot Design Museum
  • Singapore Art Museum
  • ArtScience Museum
Namun karena waktu kami yang sangat terbatas, hanya Mint Museum of Toys saja yang dapat kami kunjungi.  Kecapaian kalau harus kembali berjalan kaki ke Station terdekat, saya mutuskan mencoba aplikasi Uber untuk pertama kali, dan memilih cash sebagai moda pembayaran. Tak lama sebuah Hyundai Verna tiba, dan dengan supir yang ramah kamipun sampai kembali ke Hotel V Lavender.





Saat kembali ke Bandara, kami ke penukaran tiket MRT untuk dikonversi kembali ke SGD, dan teryata masih dapat sekitar 20 SGD, sayang EZ-link Batmannya ternyata tidak dikembalikan. Lalu dengan Jetstar Flight 3K205 dari Changi Airport Terminal 1 Jam 20:00, kamipun lepas landas kembali menuju di Jakarta. Sesampai di Soekarno Hatta, rasanya seperti kembali ke negara dunia ketiga, semoga saja negara tercinta ini dapat mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain, dan kamipun berpisah dengan Si Sulung yang langsung menuju pertapaaannya di Serpong. Istri sempat menyeletuk, sudah tidak tertarik untuk kembali ke Singapore, sedangkan saya masih tertarik namun misalnya dengan tujuan semua museum diatas. 



Berikut  pengeluaran total untuk 4 anggota keluarga, diluar makan, belanja, taksi UBER  serta tambahan EZ-link yang ternyata harus beberapa kali diisi ulang;




Tuesday, May 17, 2016

Jalan jalan Klinik Nadhifa Al Ghiffari Part #1 of 4 : Berangkat ke Yogya

Tak terasa klinik sebentar lagi memasuki dua tahun berjalan secara operasional, dan seperti komitmen pada para keluarga besar klinik, setiap tahun diadakan 1x Jalan2 ala “Rawat Jalan” alias seharian jalan-jalan namun pulang pergi, dan 1x jalan2 ala “Rawat Inap” alias jalan-jalan dengan menginap. Jika tahun pertama ke Pangandaran dan Kampung Gajah, maka tahun kedua kali ini untuk “Rawat Inap” kami memilih ke Yogya. Sayangnya tidak semua keluarga besar klinik dapat bergabung, sehingga total peserta adalah 20 dewasa dan 1 anak (yakni keponakan yang turut ikut). Berikut link blog saat kami ke Pangandaran


Setelah memilih tanggal dimana kebetulan hari Jumat  merupakan hari libur Hari Raya Nyepi yang jatuh pada tanggal 25/3/2016, dan karena kuatir dengan pengalaman buruk kami saat terjebak berjam-jam di Nagrek saat ke Yogya beberapa tahun lalu, maka kami memilih menggunakan KA Lodaya dibanding naik bis. Sesampai di Yogya subuh dini hari, langsung dijemput bis lokal yang kami sewa menuju tempat sarapan.  

Untuk memudahkan mobilitas rombongan, jauh-jauh hari kami sudah memesan bis dari Menara Trans, dengan PIC Pak Sigit, dan drivernya yang bernama Pak Aan. Bis ini kami sewa dengan biaya 2,6 juta sudah termasuk supir dan bahan bakar selama dua hari (tidak termasuk tip supir). Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan meninggalkan Stasiun Tugu. Senang sekali mendapatkan supir seperti Pak Aan, orangnya sabar dan ramah.




Awalnya beruntung sekali rasanya mendapat bis dengan mesin Elf Isuzu dan karoseri Adiputro, yang masih sangat baru, namun nantinya dalam perjalanan AC nya sempat bermasalah dan mengakibatkan anggota rombongan bagaikan direbus dalam gerbong kereta pengungsi Jepang saat zaman penjajahan dulu. Kami lalu menuju Cafe Semesta untuk sarapan, makanannya lumayan, lagian memang tidak mudah mencari sarapan sepagi itu.




Perjalananpun lanjut menuju Gua Pindul di daerah Gunung Kidul dengan melintasi kota Yogya,  selama sekitar 1,5 jam menempuh jarak sekitar 55 km. Ada beberapa spot menarik sebenarnya namun karena harus sampai secepatnya kami tidak sempat berfoto. Nama Goa Pindul sendiri berasal dari kisah perjalanan Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan yang dutus oleh Panembahan Senopati di Mataram untuk membunuh bayi laki-laki buah cinta putri Panembahan Senopati yaitu Mangir Wonoboyo dari Mangiran (Bantul). Dalam perjalanannya, kedua abdi itu sepakat untuk tidak membunuh sang bayi, keduanya lalu pergi lalu pergi kearah timur (arah Gunung Kidul) hingga tiba disuatu dusun didaerah Karang Mojo. Disana keduanya menggelar tikar dan alas tempat tidur bekas persalinan sang bayi kemudian menguburnya.


Dusun tersebut dinamakan Dusun Gelaran. Sementara itu karena sang bayi terus saja menangis, maka kedua utusan itu pun memutuskan untuk memandikan Sang Bayi. Ki Juru Mertani naik kesalah satu bukit dan menginjak tanah di puncak bukit, dan dengan kesaktiannya  tanah yang diinjakpun  runtuh dan mengangalah sebuah gua besar dengan aliran air dibawahnya. Sang bayi kemudian dibawa turun dan dimandikan di dalam goa di lubang tadi. Saat dimandikan, pipi sang bayi terbentur (Jawa : kebendhul) batu yang ada didalam. Karena peristiwa tersebut akhirnya goa itu dinamakan Goa Pindul.

Lanjut ke Part #2 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/05/jalan-jalan-klinik-nadhifa-al-ghiffari_66.html

Jalan jalan Klinik Nadhifa Al Ghiffari Part #2 of 4 : Cave Tubing di Gua Pindul dan River Tubing di Sungai Oya


Kamipun  sampai di kawasan Gua Pindul, rombongan langsung menitipkan tas, mobile phone, dompet dll ke locker yang memang sudah disiapkan oleh petugas outdoor dari Panca Wisata. Lalu mengganti baju dengan pakaian yang memang disiapkan untuk berbasah-basah. Petugas lalu membantu memasangkan pakaian pelampung karena konon kabarnya gua sepanjang 350 meter ini cukup dalam, bahkan dibeberapa tempat dapat mencapai 12 meter. Lebar gua sendiri  sekitar 5 meter dan jarak dengan stalakmit sekitar 4 meter. Lalu kami berjalan ke bawah setelah menemukan jalan kecil ke arah kiri, kami sampai di pos pembagian ban, setiap orang mendapatkan satu ban.

Lalu satu persatu kamipun turun dan menyusuri gua dengan menggunakan ban sambil bergandengan tangan, atau istilah kerennya Cave Tubing. Stalaktit dan stalakmit didalam gua memiliki berbagai bentuk, mulai dari horden, alat reproduksi dan bahkan kumpulan batu berbentuk puting yang menetes, dan dipercaya sebagian orang dapat mempercantik dan membuat usia terlihat muda. Kalau dipikir-pikir aneh juga, karena jalan jalan keluarga besar klinik sebelumnya juga mengunjungi gua di sekitar Pangandaran. Namun berbeda dengan Pangandaran yang terdapat kuburan keramat "palsu", di Gua Pindul kami tidak menemukan hal serupa. 




Nampak kelelawar bergelantungan di beberapa tempat, setiap batu unik dikenali oleh juru kunci yang menemani kami. Di bagian tengah ada bagian gua yang terbuka sehingga langit terlihat jelas seakan akan berfungsi sebagai jendela yang menerangi gua. Konon kabarnya “jendela” ini digunakan dalam iklan rokok Djar*m, namun setelah saya coba cek sepertinya yang dimaksud adalah Gua Jomblang. 



Setelahnya kami langsung berkumpul dengan menggunakan tiga buah mobil bak terbuka, dan sambil berdiri dan berpegangan di pipa besi yang mengelilingi bak terbuka, kami menuju jalan kecil dengan kondisi off road. Ketiga pickup langsung  menghajar jalanan hancur dengan kecepatan lumayan tinggi. Satu pickup khusus untuk membawa ban dalam yang nantinya kami gunakan untuk River Tubing di sungai Oya.




Sungai Oya yang kami telusuri, berjarak kurang lebih 4 kilometer, dengan suguhan pemandangan alam sepanjang aliran sungai yang dihiasi batuan karst.  Awalnya persawahan, lalu tebing-tebing purba dan puncaknya air terjun yang menyegarkan.  Kedalaman Sungai Oya ini adalah sekitar 7-10 meter , namun demikian tidak perlu takut mengarungi sungai ini karena setiap rombongan ditemani pemandu. Meski memang ada beberapa batu yang besar dan berada di tengah aliran. Di sekitar lokasi air terjun ada tempat meloncat buat yang bernyali, dari ketinggian sekitar 4 meter.



Lalu setelah puas Cave Tubing dan River Tubing, semua anggota rombongan mandi. Di bagian belakang Panca Wisata, disediakan cukup banyak kamar mandi dengan air bersih. Dalam keadaan lapar kami segera mengeroyok makanan yang disediakan warung di depan Panca Wisata, total biaya per orang untuk Cave Tubing, River Tubing serta makan siang adalah 110.000 per orang. Masakannya sederhana, namun karena sudah lapar terasa nikmat sekali, dan lalu kantuk pun menyerang. 

Lanjut ke Part #3 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/05/jalan-jalan-klinik-nadhifa-al-ghiffari_17.html

Jalan jalan Klinik Nadhifa Al Ghiffari Part #3 of 4 : Pantai Indrayanti dan Oemah Djowo Oto Classic Resto


Dari sini kami lanjut ke Pantai Indrayanti, salah satu destinasi pantai andalan di sekitar Yogya.  Jaraknya sekitar 40 km dari Gua Pindul, dan kami lintasi dalam keadaan siang terik. Sebagian besar rombongan tertidur dalam bis, dan bangun saat kami sudah mencapai pantai sekitar jam 14:00.

Tempat kami menikmati pantai terletak diantara dua bebatuan raksasa, karena teriknya matahari kami menyewa tikar plastik dan empat payung sambil menikmati deburan ombak dan angin pantai. Tak lama pesanan air kelapa pun datang. Saya sempat berjalan ke ujung kanan pantai dan mengambil beberapa foto, sayang untuk naik ke tebingnya ada pungutan masyarakat setempat, sehingga saya putuskan untuk merekam momen di bagian bawah tebing batu.




Dari Pantai Indrayanti kami langsung menuju Malioboro untuk menemani Ibu belanja, kami sendiri hanya mendampingi. Sementara seluruh anggota keluarga besar klinik sudah berpisah masing-masing mencari oleh-oleh buat keluarga. Sekitar Isya kami kembali berkumpul di bis yang diparkir di sebelah Pasar Beringharjo.  Lokasi parkir disini cukup strategis, karena di ujung jalan sudah langsung terlihat Mirotta Batik, salah satu toko terlengkap di kawasan ini. Mulai dari makanan, kain, pernik-pernik, tas, sepatu sampai permainan tradisional semua tersedia dengan harga relatif miring.



Menjelang jam 20:00 kami melaju ke Oemah Djowo Oto Classic Resto, tempatnya terletak di Jalan Lowanu 105. Para anggota keluarga besar klinik sibuk mengambil berbagai foto dengan latar belakang mobil-mobil antik di halaman belakang resto.




Merk-merk mobil tersebut antara lain Chevrolet, Dodge, serta Fargo mulai dari tahun 1959. Namun kebanyakan mobil berjenis pick up. Disebelahnya berjejer puluhan motor-motor antik seperti Honda C50 dan C70, Suzuki  GP 100, Kawasaki Binter AR125 dan ada juga Harley Davidson. Di bagian bangsal dalam lainnya nampak tersimpan KTM serta trail mini Yamaha DT80.

Saat Isya, kami segera menuju Hotel Nugraha, hanya 3 km dari Oemah Djowo, disini kami memesan 5 kamar dimana dua diantaranya berukuran ekstra besar. Lokasinya masuk ke jalan kecil, namun ternyata area parkirnya cukup besar. Dibagian depan nampak berbagai gerobak mulai dari mie baso, kue putu, mie goreng dan lain-lain. Saat menjelang tengah malam, saya dan istri sempat mencoba mie bakso-nya ternyata cukup enak, khususnya bakso goreng yang sebelum dinikmati, digunting-gunting seukuran ruas jari lalu dicemplungkan ke kuah kaldu. 

Lanjut ke Part #4 http://hipohan.blogspot.co.id/2016/05/jalan-jalan-klinik-nadhifa-al-ghiffari.html 

Jalan jalan Klinik Nadhifa Al Ghiffari Part #4 of 4 : Borobudur, Kraton dan Malioboro

Pagi-pagi kami langsung menuju Borobudur, sesuai rencana kami berharap bisa menikmati Sop Ayam Pak Min Klaten, eh sayang sekali ternyata masih tutup sepagi itu. Lalu kami melanjutkan perjalanan, beruntung sekali kami kembali menemukan Sop Ayam Pak Min yang lain. Meski sebagian rombongan merasa dagingnya terlalu alot, buat saya Sop Pak Min tetap terasa mantap. 



Lalu kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur sekitar 50 km dari Yogya, sampai kira-kira jam 09:00. Berbeda dengan yang sudah-sudah, kami langsung menuju Bioskop tempat pemutaran film tentang Borobudur dengan membayar Rp. 5.000 per orang,  setelahnya baru menuju candi dengan membayar Rp. 30.000 per orang. Agar dapat mempercepat perjalanan, kami menggunakan kereta khusus dengan biaya Rp. 7.500 per orang.  Ibu saya dan mertua adik ipar menunggu di bagian bawah candi, sedangkan saya dan istri menunggu di pelataran pertama setelah tangga. Sementara seluruh anggota rombongan sisanya menuju bagian atas.




Namun ketika pulang kami diarahkan ke lokasi yang berbeda dan harus melintasi pasar souvenir, karena kondisi Ibu saya dan mertua adik yang sudah 70 tahun keatas, kami mencoba berbicara dengan petugas, yang akhirnya mengizinkan kami melewati jalan pintas kembali lewat jalan masuk.



Dari candi karena memang sudah menjelang siang, kami langsung menuju tempat makan di Bale Kambang. Resto Bale Kambang berjarak sekitar 7 km dari Candi. Kami memilih makan dibagian lembah di sisi kiri restoran, dipinggir kolam ikan dan kumpulan pondok-pondok bambu. Setelah memuaskan lapar dan dahaga, kami melanjutkan perjalanan ke Kraton Yogya.




Namun jalanan cukup padat, terpaksa Pak Aan memutar lewat Sleman, namun hikmahnya kami sempat melewati Bengkel Kupu-Kupu Malam yang tersohor dengan modifikasi mobil Tucuxi karya Danet Suryatama. Saat itu suasana bis kami pelan-pelan mulai terasa menghangat, lalu memanas,  yang lelaki membuka pakaian luar karena panasnya mobil. Terlambat sampai di Kraton Yogya, kami akhirnya cuma menumpang shalat dan istirahat. Seluruh keluarga besar klinik nampak terlihat sangat letih, kehausan  dan lemas.

Dari sini kamu menuju Bakpia Pathuk 25 untuk membeli oleh-oleh. Sebagian rombongan memilih masuk ke gang-gang disekitar Bakpia Pathuk 25, karena ternyata dibagian belakang banyak terdapat sentra kerajinan makanan khas Yogya dengan harga miring. Nampak wajah-wajah bahagia, dan bahkan setelah meletakkan belanjaan di bis, sebagian memilih kembali untuk belanja oleh-oleh lagi. 



Lalu kami kembali belanja di Malioboro, sambil menunggu istri belanja oleh-oleh, saya dan Si Bungsu menikmati onde-onde dan lumpia diseberang Mirotta. Makan lumpia disini mengingatkan saya akan gerobak lumpia di dekat Hotel Mutiara (ada juga yang menyebutnya Lumpia Samijaya karena berada persis depan Toko Samijaya), makan dua potong lumpia panas ini sungguh sangat nikmat apalagi kalau dengan Teh Botol dingin, penat, lelah dan lapar langsung terobati.

Menjelang jam keberangkatan KA Lodaya, maka kami pun menuju Stasiun Kereta. Sesampainya di Stasiun Tugu, adik ipar yang juga panitia acara klinik, membagi-bagi nasi box Gudeg Yu Jum. Bergantian kami membersihkan diri di kamar mandi Stasion Tugu, akibat berkeringat sepanjang hari terutama saat AC bis tiodak mengeluarkan hawa dingin sedikitpun.  Setelah semalaman menggunakan kereta api akhirnya kami sampai di Bandung menjelang pagi.  Perjalanan dengan biaya total sekitar 20 juta alias sekitar 1 juta perorang, yang meletihkan namun memberikan kebahagiaan karena dapat berbagi dengan semua anggota keluarga besar klinik.