Monday, October 31, 2016

Konser Cockpit - Titan Center 29/10/2016


Saat membaca postingan teman di fbook mengenai konser Cockpit saya langsung melempar ide ini ke keluarga yang langsung disambut hangat dan khususnya Si Bungsu yang sudah berhari-hari ini rajin mendengarkan Genesis - And Then There Were Three.  Karena memang sekeluarga berminat,  kami pun merencanakan untuk menonton konser tersebut yang rencananya akan dilaksanakan pada 29/10/2016. Sayangnya di menit-menit terakhir,  Si Sulung berhalangan karena harus acara liputan di KPK dan harus melakukan video editing.



Namun meski Si Sulung tidak ikut, kami bertiga tetap terus berjalan sesuai rencana semula, karena memang perjalanan ini bukan sekedar konser, melainkan juga melihat beberapa perguruan tinggi di sekitar Serpong dan Tangerang untuk persiapan Si Bungsu, melihat Pameran Pekan Raya Indonesia di ICE Serpong serta Pameran Halal Travel di JCC Senayan lalu sekaligus juga mengunjungi Si Sulung di asramanya.

Jam 13:00 kami sekeluarga pun meninggalkan Bandung dengan menggunakan mobil istri, yang langsung disambut hujan deras nyaris sepanjang jalan 176 kilometer menuju Titan Center. Khusus untuk acara ini saya sengaja mengenakan T Shirt Dream Theater – Scene From A Memory. Setelah menempuh Jakarta Outer Ring Road yang luar biasa macet, setelah menghabiskan waktu 5,5 jam, sekitar jam 18:30 akhirnya kami sampai di BSD dan langsung mencari makan malam di Giant CBD Bintaro sekalian shalat Maghrib. Akhirnya kami sampai di lokasi sekitar jam 19:05, dan langsung menukarkan voucher tiket yang sebelumnya saya dapatkan via whatsapp.




Sebenarnya saya tidak menyangka lokasi pertunjukkan Titan Center ini memiliki ruangan khusus konser dengan fasilitas terbilang bagus. Selama ini Titan Center bagi saya adalah lokasi salah satu customer kantor saya di HP, dimana kami beberapa kali kami melakukan rapat implementasi proyek. Jadi memang sempat ada aura meeting yang langsung menyergap saya ketika memasuki area parkir dan semakin menguat saat masuk lobby.

Tanpa menunggu berlama-lama kami lalu langsung masuk gedung pertunjukkan yang berkapasitas 400 seat dan disusun menaik layaknya gedung bioskop. Di bagian luar saya menyempatkan diri membeli CD  The Kadri Jimmo, dimana Kadri sendiri dalam acara ini rencananya ikut menyumbangkan suaranya yang boleh dibilang 11-12 dengan warna suara Sting ataupun Once eks Dewa.  Kebetulan kelas Silver yang saya pilih memang berdekatan dengan sudut Audio Mixer, yang merupakan tempat paling pas untuk mendengarkan acara malam ini meski dengan pandangan yang agak sedikit jauh ke panggung.

Setelah didahului sekumpulan anak muda Harmoni 8, yang membawakan Follow You Follow Me dan kalau tidak salah I Know What I Like, dengan gaya K-Pop campur Glee (serial televisi yang pupuler sekitar beberapa tahun lalu).  Bahkan dilengkapi juga dengan salah satu vokalis yang menggunakan kursi roda sebagaimana Glee. Sejujurnya tanpa bermaksud menganggap enteng Harmoni 8, bagi saya group vokal ini kurang pas sebagai pembuka acara progressive. Selesainya Harmoni 8, maka acara pun langsung dimulai, sayang saya tidak ingat persis urutannya namun kurang lebih.

Karya Genesis

Home by The Sea
Second Home By The Sea
It’s Gonna Get Better
Tonight, Tonight, Tonight
In The Cage
In Too Deep
Cinema Show
After Glow
Lamb Lies Down On Broadway
Invisible Touch
Alone Again
Throwing It All Away

Karya Phil Collins

Against All Odds
In The Air Tonight
Sussudio
Take Me Home
You Can't Hurry Love
Easy Lover (dibawakan bersama Kadri Mohammad)
Here We’ll Stay (dibawakan bersama Riffy Putri)

Malam itu Cockpit digawangi oleh Dave Lumenta pada Keyboard, Arry Syaf pada Vokal, Oding Nasution pada Gitar, Yaya Moektio pada Drum dan Raidy Noor pada Bass. Sayangnya track Genesis seperti One For The Vine, Cul De Sac, Burning Rope  atau Firth of Fifth dan juga track Phil Collins seperti Don't Let Him Steal Your Heart Away, yang merupakan track-track  favorit saya malah tidak dibawakan.

Secara keseluruhan, Yaya Moektio bermain cantik dan presisi, begitu juga Raidy Noor dan Arry Syaf (meski sempat agak fals di track pertama, namun Arry Syaf semakin menggila di penghujung acara dengan vokal yang juga semakin prima). Sayang Dave Lumenta bermain agak sedikit gagap namun langsung ditebus dengan solo indah dalam Cinema Show.  Begitu juga Oding Nasution yang sepertinya bermain  dibawah kelasnya malam tsb. Solo Oding di Second Home ByThe Sea yang seharusnya fenomenal terasa dibawakan dengan ragu dan sempat kehilangan ketukan.

Di bagian tengah, ada permainan yang cukup asik dari gitar akustik Rainada Noor sebagai bintang tamu dadakan (putra Raidy Noor) membawakan Genesis dan Collins versi nya sendiri dengan duet bersama Arry Syaf. Bagi saya momen ini cukup menarik untuk meredakan dampak dari kompleksitas musik Genesis dan permainan Yaya Moektio yang agresif di track-track sebelumnya.

Untungnya kedua bintang tamu lainnya baik Kadri Mohamad Sang Pengacara / Pemusik apalagi Riffy Putri langsung menunjukkan kelas vokal nan dahsyat, sangat membantu penilaian secara keseluruhan dari acara ini. Bagi penggemar Genesis (dan juga mungkin Collins) saya rasa acara tadi malam secara keseluruhan diluar hal-hal minor diatas, merupakan acara yang berkesan dan memuaskan kerinduan sementara akan hits indah dari Genesis dan Collins di era 80an dan 90an. Setelah sempat memberikan penghormatan pada almarhum Freddy Tamaela yakni vokalis Cockpit sebelumnya, maka konser yang malah berlangsung 1 jam lebih lama dari 2 jam yang direncanakan, ini pun berakhir. 




Nasi Gule Sapi Bu Slamet - DJBC

Sekitar 14 tahun lalu, saya terlibat dalam proyek implementasi Sistem Kepabeanan dan Cukai Nasional di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Selama sekitar empat tahun lebih, saya dan team sekitar 115 orang berinteraksi bersama sehingga lama-lama terasa seperti keluarga besar. Kami juga kadang refreshing bersama, nonton film ataupun bahkan buka bersama saat bulan puasa. Hubungan ini lebih dekat lagi saat deployment dijalankan dengan keliling ke puluhan kota untuk mengimplementasi sistem tersebut.

Untuk mempermudah interaksi dengan nara sumber, saat itu kami ditempatkan di Wisma Anjing Pelacak di bagian belakang kantor Bea dan Cukai. Wisma ini pada saat tertentu digunakan untuk asrama bagi para pelatih Anjing Pelacak.  Saya termasuk sebagai salah satu anggota team implementasi IT yang turut menginap dan sempat mengalami pengalaman supranatural di Wisma Anjing Pelacak ini.

Lambat laun, saya mulai hapal beberapa warung disekitar DJBC, mulai Garang Asem di Bujana Tirta Raya, Gule Kepala Ikan Khas Padang tapi masakan ala Jawa, Gule Sapi Bu Slamet diatas got persis di dekat pintu belakang kantor DJBC atau di pinggir jalan Bujana Tirta I. Atau kalau beruntung pagi2 di belakang ini juga penjual Nasi Uduk bersepeda yang rasanya cukup lumayan.  Mau agak jauhan sedikit ada Bebek Kaleyo Rawamangun, Sate Blora Jalan Balai Pustaka Baru atau Sate Padang Ajo Manih dijalan yang sama yang hanya buka saat malam.

Di bagian depan kantor DJBC, tepatnya di sebelah kiri ada juga Warung Tegal yang digbagian depannya juga dijadikan sebagai tempat pencucian mobil ala kadarnya. Kadang saya sarapan pagi Nasi Ikan Kembung Sambel plus Tempe Goreng panas, sambil menunggu mobil dibersihkan. Nah dari semua tempat makan tersebut buat saya yang paling berkesan adalah Gule Kepala Ikan  Bu Slamet. 

Senin pagi, seperti kebiasaan mingguan lima belas tahun terakhir, saya memacu Si Merah, kendaraan kesayangan menuju Jakarta, sepanjang jalan berkali kali saya harus ekstra hati-hati mengingat hujan deras tiga minggu terakhir ternyata menyebabkan sepanjang jalan bolong-bolong cukup parah. Lalu disambut kemacetan parah di tol dalam kota, setelah terperangkap sekian lama, dan perut mulai terasa kerconcongan entah kenapa teringat Warung Gule Sapi Bu Slamet, maka tanpa ragu saya arahkan mobil ke Tanjung Priok menghindari ruas Cawang yang nyaris tak bergerak.

Keluar di pintu tol Jatinegara, saya lalu melewati jalur cepat, melewati Kantor DJBC lalu mencari putaran balik lalu masuk ke Jalan Bujana Tirta persis sebelum Kantor DJBC. Begitu belok ke jalan Bujana Tirta I, saya langsung terkejut melihat warung-warung diatas jembatan ternyata sudah hilang semua, termasuk Warung Gule Sapi Bu Slamet yang konon kabarnya merupakan favorit salah satu mantan Dirjen DJBC yakni Eddy Abdurrahman. Tak mau langsung berputus asa, saya memutuskan untuk tanya sana sini, ternyata menurut beberapa orang yang saya temui, 10 bulan lalu, Bu Slamet pindah ke basement Gedung Utama DJBC, maka saya pun kembali memacu Si Merah dan langsung masuk pelataran parkir DJBC.

Nasi Gule Bu Slamet dan Peyek Udang

Kejutan buat saya, Yadi,  Cleaning Services di Wisma Anjing Pelacak dulu, menyambut saya dengan ramah dan dengan seragam security, segera saya salam Yadi dan meminta rekannya memotret kami berdua. Senang rasanya melihat Yadi kini memiliki masa depan yang lebih baik.

Yadi dan Saya

Setelahnya saya langsung menuju basement, dan akhirnya bertemu dengan Bu Slamet yang kini nampak kurus namun tetap tak kehilangan senyuman hangatnya. Tak terasa sepiring nasi hangat, semangkuk Gule Sapi dengan aroma sedap (tetap dengan ciri khasnya penuh dengan potongan daging empuk dan dalam jumlah banyak), peyek udang khas Bu Slamet (juga dengan taburan udang dimana-mana) dan segelas jeruk hangat menyapu bersih kekesalan terjebak macet, dan semua cukup ditebus dengan 40.000 saja. Berbeda dengan kebanyakan gule, meski ramai dengan  berbagai bumbu, kuah Gule Sapi Bu Slamet tetap relatif encer, dan rasanya sungguh pas di lidah. Bu Slamet selalu menggunakan daging berkualitas tinggi, dan dengan teknik tertentu diolah sehingga benar-benar empuk. 

Bu Slamet dan Senyuman Khasnya

Ah nikmatnya...segera saya ucapkan terimakasih pada Bu Slamet dan tak lupa memberikan tips sekedarnya. Semoga Bu Slamet dapat mewariskan resep ini pada keturunannya dan dapat terus kita nikmati. Oh ya bagi yang menyukai Rawon, Bu Slamet juga menyediakan menu tersebut dan tentu saja tidak kalah enaknya. 




Monday, October 03, 2016

Dear Kitty - Anne Frank


Aku ingin tetap hidup setelah kematianku!
Anne Frank

Saat aku masih SD, Ayah memiliki sebuah buku berbahasa Inggris dengan judul The Diary of Anne Frank, lalu ayah memberikan pengantar singkat padaku, mengenai buku tersebut. Salah satu yang membuat aku terkesan adalah cover nya yang menggambarkan sesosok gadis berwajah pucat. Lalu di dalam buku ini ada beberapa foto ruangan-ruangan hitam putih yang terlihat suram dengan pintu rahasia tersamar yang lebih mirip rak buku berukuran besar. Sayang, karena tidak mengerti Bahasa Inggris, aku hanya bisa mengira-ngira isinya, meski sangat penasaran.

Bertahun tahun kemudian aku membaca Elie Wiesel degan judul Night, aku teringat kembali dengan buku Anne Frank si gadis kecil kelahiran Frankfurt. Dan beberapa bulan lalu aku menemukan edisi terlengkap, karena sesungguhnya ada beberapa versi dari catatan tersebut, seperti Versi A, Versi B, Versi C, dll. Dengan cepat langsung aku sambar untuk dibaca kemudian. Lantas tibalah kesempatan tersebut, saat tugas keluar kota Anne Frank ku bawa serta  untuk dieksplorasi dalam perjalanan.



Sejujurnya buku ini ditulis dengan gaya yang sangat feminin, berputar-putar tentang perasaan, banyak memuat detail penting yang mungkin tidak begitu cocok dengan pembaca pria. Sepintas mirip seperti gaya NH Dini seperti pada roman Pada Sebuah Kapal.

Intinya adalah mengenai tahun-tahun dimana Partai Nazi semakin agresif, dan Otto Frank ayah Anne memutuskan untuk migrasi ke Amsterdam, Belanda. Saat di Jerman, Yahudi diperlakukan sebagai warga kelas dua, dilarang menonton, dibatasi untuk pergi hanya pada tempat-tempat tertentu saja dan mengalami banyak diskriminasi. Ironisnya seakan tidak belajar dari masa lalu yang pahit, apa yang dilakukan Nazi pada Yahudi, persis seperti apa yang dilakukan Israel saat ini terhadap Palestina dari tertindas menjadi penindas.

Namun meski sudah ke Amsterdam, Nazi justru bertambah kuat dan akhirnya menyasar Belanda, disusul berbagai penculikan, kerja paksa dan pembunuhan Bangsa Yahudi. Otto yang kuatir dengan keselamatan keluarganya di Amsterdam, lantas menyiapkan tempat persembunyian di Kantor, dengan pintu dan ruangan khusus dengan keluarga Yahudi lainnya
Selama 25 bulan  ke delapan orang Yahudi tersebut termasuk Ayah, dan Ibu Anne serta kakak perempuannya Margot, harus bertahan dengan air, makanan seadanya dan mengharapkan bantuan para tetangga yang bersedia membantu mengirim bahan makanan. Selama itu pula mereka berdelapan harus menolerir  berbagai konflik diantara mereka dan tetap menjaga agar persembunyian mereka tetap aman.

Mereka harus berhadapan dengan dingin, lapar, ketakutan akan patroli, polisi atau penjahat yang kadang datang, bahkan sempai merusak bangunan.  Tergambarkan juga kisah “cinta monyet” antara Anna dan Peter, yang digambarkan dengan halus dan penuh kepolosan.
Satu-satunya yang secara konsisten menulis catatan harian pada sebuah buku bernama “Kitty” adalah Anne Frank, sementara yang lain ada yang belajar Bahasa Prancis dan berbagai kegiatan lainnya dalam membunuh kebosanan. Anne Frank juga cerita tentang betapa bahagianya jika saja ia bisa membuka jendela, merasakan angin segar bertiup dan mendengar cicitan burung yang tidak mungkin dia rasakan selama 25 bulan.


Sejujurnya buku ini agak membosankan, untung saya tetap berusaha meneruskan membacanya sampai halaman terakhir. Mirip dengan One Flew Over The Cuckoo’s Nest karya Ken Kesey yang sangat memesona di halaman-halaman akhir, kehidupan dengan akhir tragis dari kedelapan orang inilah yang akhirnya membuat buku ini layak diapresiasi.