Friday, December 30, 2016

Jelajah Banda Aceh dan Sumatera Utara : Part #7 dari 14 : Kapal Lampulo, Mie Aceh Razali, Masjid Baiturrahman, Es Campur Afuk, dan Rumoh Aceh.


Lalu kami menuju Kapal Nelayan di Lampulo yang berdasarkan keterangan di plakat berbunyi demikian “Kapal ini dihempas oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian itu”. Kalau ditarik garis lurus lokasi kapal dengan berat 20 ton ini, memang dengan bibir pantai terdekat jaraknya cuma sekitar 1 km.




Mbak Reny berkisah, salah seorang korban selamat sebenarnya sudah mendapatkan mimpi akan mendapatkan pertolongan Allah melalui kapal ini, lalu beliau mengajak tetangganya, sayang hanya sedikit yang percaya padanya. Kejutan bagi saya, kalau kisah Nabi Nuh ternyata seakan akan bisa terjadi kembali lewat kapal sepanjang 25 meter dan lebar 5,5 meter ini.

Sayangnya karena tidak dalam ruangan tertutup, kondisi kapal sudah sedikit kusam, sepertinya memerlukan perhatian pemerintah juga untuk melakukan rehabilitasi kapal ini sebelum lapuk dimakan usia. Saat meninggalkan kapal saya berhenti sebentar di pelabuhan tradisional untuk mengabadikan beberapa gambar.




Karena sudah lapar, maka kami langsung menuju jalan Panglima Polem 83-84 di daerah Peunayong untuk menikmati Mie Aceh Razali. Saya memesan Mie Kepiting dengan kepiting berukuran cukup besar berkuah kental yang rasanya lebih enak di banding Mie Aceh di Bandung. Sama seperti Kencana Cafe di Sabang, Mie Razali juga memajang foto Jokowi saat berkunjung ke Banda Aceh.  Untuk minum kami memesan Teh Tarik yang disiapkan langsung oleh “barista” Razali dengan cara yang unik. Makan di Razali menghabiskan sekitar 269.000 IDR, seporsi Mie Kepiting Aceh kira2 40.000 IDR, sedangkan segelas Es Teh Tarik 12.000 IDR. 




Berikutnya adalah Pusaka Souvenir di jalan Sri Ratu Syafiatuddin untuk membeli beberapa pernik-pernik dan makanan khas. Secara umum makanan tradisional Aceh mirip dengan kota-kota lain, misalnya sale pisang, krupuk pisang, emping melinjo, berbagai jenis kacang. Jika anda menginginkan yang unik, sepertinya memang cuma Kopi Aceh, Rencong dan berbagai tas rajutan yang memenuhi syarat.






Karena sudah memasuki waktu shalat, kami bersegera menuju Masjid Baiturrahman, Si Bungsu yang bercelana panjang tidak diperkenankan masuk sebelum menggunakan sarung. Sayang sekali masjid ini tengah direnovasi, saya yang berusaha mencari sudut terbaik, ditegur pengawas bangunan karena terlalu dekat dengan area perbaikan. Lantai di bagian depan diganti dengan marmer putih berukuran besar yang mengingatkan saya akan marmer Masjidil Haram. Selain marmer ala Masjidil Haram, masjid ini juga sedang melakukan penambahan beberapa payung raksasa seperti di Madinah.







Entah kenapa ada cukup banyak pengemis di area nyaris sekitar empat hektar yang dapat menampung sekitar 9.000 jamaah ini. Saya yang tertarik memotret salah satu wajah pengemis yang kerutan wajahnya sangat ekspresif dan rasanya layak masuk kontes foto dunia, sayang beliau segera kabur dan menolak untuk saya foto.




Cuaca yang semakin panas membuat kami kehausan dan segera berkunjung ke Es Campur Afuk jalan Pocut Baren di depan Methodist Kampung Mulia. Minum Es ini rasanya menyegarkan, diracik sendiri oleh pemilik resep, langsung membasahi tenggorokan kami yang kering. 

No comments: