Tuesday, July 11, 2017

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #12 dari 12 : Manjarite, Pulau Kelor dan Kembali ke Bandung.

Setelah puas di Pulau Rinca, kami pun lanjut ke Manjarite. Sebenarnya Manjarite ini merupakan ide mendadak Nana Stan, hal ini diusulkan karena, menurut Nana Stan di Pulau Kelor banyak karang yang rusak, sehingga ikan-ikannya menyusut drastis. Jadi rencananya adalah snorkling di Manjarite dan saat di Pulau Kelor cukup hanya jalan-jalan sebentar menyusuri pantai. Menurut Nana Stan di Manjarite disediakan kawasan tempat kapal membuang jangkar, sehingga keindahan karangnya tetap terjaga.

Begitu sampai di Manjarite, maka kamipun bersiap siap. Namun sebelum terjun, Kapten Amal menyarankan untuk makan terlebih dahulu. Maka kami pun makan siang terakhir di kapal dengan menu Ikan Bawal Goreng hasil pancingan Kapten Amal saat bermalam di teluk Pulau Padar. Hemm enak juga makan ikan yang dipancing langsung di laut. 

Saya yang pertama kali loncat ke laut hijau gelap yang dingin, lalu menyusul Nana Stan yang menyarankan saya berenang ke arah pantai. Namun yang terjadi justru saya terseret arus kuat ke arah buritan, mencoba berpegang, namun tidak ada bagian sisi kapal yang bisa di pegang, saya akhirnya bergantung di susunan papan tempat Kraeng Herman biasa mencuci piring dan membersihkan ikan, meski terasa licin dan agak berlendir saya tidak punya pilihan lain.

Si Sulung yang sempat terseret arus, masih sempat berenang dengan susah payah dan berpegangan di tangga dengan terengah engah. Tiba-tiba terdengar suara minta tolong, dan nampak sosok yang menggapai-gapai ke arah saya, ternyata Si Bungsu kali ini yang hanyut, dengan cepat saya mengulurkan tangan kiri menyelamatkan Si Bungsu, sementara tangan kanan masih bergelantungan di papan cuci piring. Kraeng Herman melontarkan tali, dan Si Bungsu dan kemudian saya satu persatu di tarik kembali ke tangga kapal. Istri yang sudah bersiap akhirnya tak jadi terjun. Terdengar Kapten Amal, menegur Nana Stan untuk ide snorkling di Manjarite ini, dan melihat ekspresi istri yang terlihat kecewa, maka Kapten Amal memutuskan memutar kapal ke arah Pulau Kelor.





Akhirnya kami sampai di Pulau Kelor, kali ini Kapten Amal turun tangan membantu Nana Stan memandu istri dan anak-anak ke lokasi yang karangnya masih bisa dinikmati, sementara saya berusaha merekam penampakan pulau sambil menyusuri bibir pantai. Terdengar teriakan senang Si Bungsu kala menemukan Ikan Nemo, sehingga akhirnya membuat saya tertarik ikut snorkling. Namun ternyata yang lain sudah berhenti sehingga hanya tinggal saya dan Kapten Amal. Namun karena waktu sangat terbatas, dan Nana Stan sudah dikontak Mas Kris, agar kami jangan sampai ketinggalan pesawat, akhirnya meminta kami bersiap dan langsung berlayar menuju Labuan Bajo.




Nana Leri, sudah menunggu di pelabuhan dengan Innovanya, lalu dengan dibantu Nana Ilik dan Kraeng Herman, barang-barang kami segera dipindahkan dari kapal ke mobil. Sayang saya lupa foto bersama Nana Ilik dan Kraeng Herman, karena kami terburu-buru mengejar skedul pesawat. 

Sesampainya di depan bandara, karena tidak sempat memilih oleh-oleh di salah satu toko di depan bandara, kami terpaksa langsung menuju ruang tunggu bandara. Sambil menunggu karena kami nyaris belum sempat mencoba kuliner spesifik Flores, mata kami tertumbuk pada Coffee Shop La Bajo, lalu memutuskan membeli Kue Pisang serta Roti Kompiang dan Kopi Flores. Roti Kompiang khas Flores yang permukaannya ditaburi wijen,  memilik tekstur kenyal mendekati alot, kami coba nikmati sambil sesekali menghirup kopi nan kental dan pekat.

Akhirnya kami terbang pada jam 16:00 menuju Denpasar dengan Wings Air ATR 72-600, dan perbangan selanjutnya ternyata harus mengalami delay. Tetapi delay kali ini kami sambut gembira, karena justru bisa digunakan untuk makan malam di Bebek Goreng Harissa, untuk dua porsi Bebek Cabe Hijau, satu porsi Bebek Cabe Merah dan satu porsi Soto Sulung serta minuman kami menghabiskan biaya sebesar Rp. 330.000.

Lalu terbang kembali menuju Jakarta dengan Lion Air Boeing 737-900 ER , semakin jauh meninggalkan Si Cantik NTT namun tetap terekam dalam hati selamanya. Belakangan Si Bungsu menulis bagaimana keindahan NTT membuatnya sempat tidak ingin pulang, bahkan seandainya jika connecting flight kami terlambat dan harus menghabiskan satu hari tambahan, tanpa ragu dia lebih memilih di NTT ketimbang di Bali.









Berapa biaya perjalanan kali ini ? untuk tiket kami menghabiskan total Rp. 24.250.000 alias sekitar Rp. 6.062.500 per orang, sedangkan biaya travel mencakup sewa kendaraan selama perjalanan, menginap di hotel Ende semalam (incl breakfast), hotel Labuan Bajo semalam (incl breakfast), dan 2 malam di kapal secara private, serta makan selama di kapal total Rp. 27.200.000, makan diluar yang disediakan  travel Rp. 1.618.900, taksi sekitar airport Kupang 400.000 dan airport Soekarno Hatta. Maka rata2 per orang biayanya adalah sekitar Rp. 13.600.000. Mahal ? ya tentu saja, biaya kami ke Kuala Lumpur dan Penang selama 4 hari 3 malam, bahkan hanya seperempat dari biaya ke NTT, namun harga mahal tersebut setimpal dengan keindahan NTT. Lagi pula mengeluarkan uang di negeri sendiri, tentu saja akan menghemat devisa. 

Melalui blog ini saya mengucapkan banyak terimakasih pada Bli Wayan, Mas Kris, Nana Stan, Nana Leri, Kapten Amal, Kraeng Herman, Nana Ilik, Oom Marianus, Oom Sius juga tak lupa Oom Hengky atas liburan yang sangat berkesan ini, juga terima kasih kami pada semua ranger di Pulau Rinca ataupun Pulau Komodo, dan juga guide di Batu Cermin, yang bekerja dengan ramah dan profesional.  Semoga pariwisata NTT semakin berkibar, semakin profesional, namun dengan tetap menjaga alam agar tetap bersih, indah serta lestari. 

No comments: