Tuesday, July 11, 2017

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #4 dari 12 : Ende dan Desa Moni


Setelah mendarat di Bandara Haji Hasan Aroeboesman, Si Sulung mengingatkan bahwa tripod bisa diambil langsung saat  barang diturunkan dari pesawat, namun petugas meminta kami tetap menunggu di tempat pengambilan bagasi. Dan ternyata Sang Petugas sendiri malah yang akhirnya mengambil tripod tersebut dan menyerahkannya secara langsung pada saya sambil tersenyum di terminal kedatangan. Jadi sama seperti di Kupang kami lagi-lagi menemukan sosok-sosok yang ramah, ah... indahnya persaudaraan sebangsa.







Di bagian penyambutan sudah menunggu Oom Marianus, dan tak lama kemudian pemilik Innova hitam berplat B (yang memang banyak ditemukan di Flores), sekaligus supir alias Oom Sius  membantu kami memindahkan semua barang, dan kamipun melaju menuju lokasi berikut

  • Rumah Pengungsian Bung Karno, Mulai 4 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938, Bung Karno diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, bukannya diam, beliau malah menggunakan waktu pengasingan tersebut untuk mengasahnya kemampuannya menjadi pemimpin yang lebih matang. Di sinilah Bung Karno dan istrinya Inggit Garnasih, Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya Ibu Amsi menghabiskan waktu selama masa pengasingan. Inggit Ganarsih dan Ratna Djuami kini dimakamkan berdampingan di TPU Porib Caringin, Bandung

  • Taman Renungan Bung Karno, Di Ende ini juga konon kabarnya beliau mengeksplorasi pemikiran soal Pancasila, lokasi yang dipilih beliau yakni dibawah Pohon Sukun berbatang lima, sambil menatap laut di kejauhan. Namun pohon yang kini berdiri bukanlah pohon asli yang tumbang di tahun 1960, melainkan pohon yang ditanam kemudian yakni di tahun 1981. Jumlah batang inilah yang konon kabarnya menjadi inspirasi kenapa dirumuskan lima sila alias Pancasila 


  • Lokasi Bung Karno menggelar teater karya beliau, konon termasuk salah satu karya beliau yakni “Rahasia Kelimutu”, lokasi kawah yang konon kabarnya memang cukup sering dikunjungi beliau saat berada di Ende.


Kejutan bagi saya mendengar langsung dari Oom Marianus, betapa harumnya nama Bung Karno di Ende bahkan hingga saat ini. Juga masyarakat Enda beranggapan bahwa di Ende lah Bung Karno menyempurnakan pemikirannya mengenai Pancasila. Saya jadi teringat saat berkaca-kaca menahan haru ketika berziarah di makam beliau di Blitar beberapa tahun lalu. Nampak sebuah plang besar di pinggir jalan, dengan tulisan “Bung Karno Penggali Pancasila”, membuat saya teringat kritik keras Permadi SH mengenai ucapan “Saya Pancasila”, sementara beliau saja meski turut menciptakan, justru cuma mengaku sebagai penggali.   

Mendadak Oom Marianus, minta berhenti di sebuah pasar kecil, lalu beliau turun dan kembali dengan setandan pisang yang terlihat sudah matang, dan berbau harum. Tenyata ini lah Pisang Berangan yang dalam logat Ende biasanya disebut dengan Pisang Beranga. Rasanya manis dan dagingnya relatif kenyal, pantas saja buah ini merupakan salah satu andalan Ende. Selama perjalanan pisang inilah yang sesekali mengisi perut kami.

Menjelang sore, kami lanjut ke Desa Moni, jaraknya cukup jauh yakni sekitar 50 km dari lokasi bandara, dan ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam. Kondisi jalan relatif biasa, namun jurang-jurang di sisinya yang terdiri dari kombinasi batu-batu besar dan tanah cenderung labil. Sekali kami berhenti karena ada pohon tumbang, yang segera dipotong oleh penduduk setempat karena menghalangi jalan di kedua arah, dan kali lainnya harus ekstra hati-hati karena jalur yang menyempit akibat batu-batu seukuran kerbau yang sebelumnya berjatuhan dari lereng diatasnya.







Sepanjang jalan Oom Marianus, bercerita tentang banyak hal sambil sesekali tertawa terkekeh dengan cara yang khas. Si Sulung sepertinya terkesan sekali dengan cara Oom Marianus tertawa, namun beliau memang sosok yang humoris dan selalu tersenyum. Tak lupa dengan semangat beliau juga cerita mengenai keluarganya yang tinggal di Maumere 140 km dari Ende yang bisa ditempuh dalam waktu empat jam, juga mengenai putra sulungnya yang berencana masuk Seminari.




Menjelang malam akhirnya kami sampai di Restaurant and Lodge Kelimutu Moni. Tempat ini dibuat menempel dengan tebing yang lumayan terjal mengingatkan saya pemakaman vertikal di Toraja. Untuk mencapai lantai kamar kami paling tidak harus menaiki tangga terjal 7 meter. Dua kamar yang kami pesan merupakan kamar di sisi kiri bersebelahan dengan restoran. 

Ukuran kamar sekitar 4x4 dengan masing-masing tersedia kamar mandi dan air panas dan juga kelambu serta beberapa mebel plastik. Welcome drink yang ditawarkan, kopi, teh dan jahe. Selama kami menginap listrik sempat beberapa kali mati, salah satunya bahkan ketika saya sedang di kamar mandi, untung saja air masih tetap mengalir. Akustik ruangan juga agak aneh, alias nyaris semua suara dari kamar tetangga terdengar jelas, sepertinya karena langit2 kamar mandi kami plafonnya ada yang terbuka.




Pada itinerary awal kami tidak menggunakan hotel ini melainkan Eco Lodge, namun menurut Oom Marianus yang pernah bekerja di Eco Lodge, pada musim liburan ini semua kamar sudah habis.

Malam hari kami makan 4 porsi Nasi Goreng dengan volume relatif besar, serta 4 gelas Es Teh, total menghabiskan biaya Rp. 120.000. Sepintas Resto and Lodge Kelimutu Moni, terlihat ditangani oleh satu keluarga besar.  Sehingga Nasi Goreng pesanan kami bahkan dibuat oleh gadis kecil yang dari fisiknya terlihat sebagai pelajar Sekolah Dasar, namun ternyata memiliki kemampuan memasak yang baik. 

silahkan lanjut ke link berikutnya di  http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-5-dari.html

No comments: