Wednesday, July 19, 2017

Tuhan Maha Asyik - Sujiwo Tejo dan M.N. Kamba

Sejujurnya ini bukan buku yang mudah dibaca meski menggunakan bahasa sehari-hari, kisah-kisah singkat lalu berbagai analogi. Membacanya membuat saya teringat kesulitan saat memahami majalah Prisma yang biasa dibaca guru kursus matematika saya saat Sekolah Dasar di Denpasar Bali. Selama ini saya hanya tahu Sujiwo Tejo adalah alumni ITB, lalu sempat terkesima melihat beliau membawakan lagu sambil menggumam, dalam acara ILC diiringi Angelica Liviana pada piano dan Eya Grimonia pada violin.

Namun sejak terkoneksi di twitter saya jadi ikut mengamati publikasi salah satu karya tulis beliau berjudul Tuhan Maha Asyik. Buku ini tidak dibuat sendirian, namun bersama-sama H.M Nur Samad Kamba, seorang doktor dan juga pendidik. Setiap babnya yang berjumlah 29 bab, saling lepas, dan bercerita mengenai berbagai sudut pandang yang berbeda mengenai keasyikan Tuhan. Disatu bab kita temukan narasi wayang, di bab lain menyinggung marhaen, cacing, zat, gincu, nyawa, ketombe, komat-kamit, tersesat, diri, dan lain lain.



Secara garis besar, kedua penulis ini mengajak kita melihat tindakan menyekutukan Tuhan itu tidak melulu karena menyembah yang selainNya, namun juga jika kita tidak yakin besok akan mendapatkan rezeki, tidak yakin akan apakah esok kita masih sehat, dan banyak keraguan lain mengenai kebaikan Tuhan. Maka hadapilah kehidupan dengan doa, kesabaran, setelah sebelumnya berikhtiar.

Selain itu buku ini juga mengeritik bagaimana sering sekali kita mengklaim Tuhan adalah seperti yang kita pikirkan sehingga membatasi Tuhan yang justru Maha Tidak Terbatas. Saat makna Tuhan kita sekat dalam kotak-kota konsep, maka Tuhan akan semakin jauh dari kita. Jadi temukan lah Tuhan melalui beragam ciptaannya, dan itu lah keasyikan dalam memaknai Tuhan.  

Berikut salah satu kutipan dalam buku ini “Ketika manusia memandang cermin, bukan kaca yang dilihat, namun dirinya. Ketika manusia berbuat baik pada orang lain, sejatinya dia berbuat baik untuk diri sendiri. Demikian juga ketika dia menyakiti sesama, justru menyakiti diri sendiri. Jadi, wajar saja jika orang menyakiti diri sendiri dianggap gila. Namun, lebih gila lagi jika agama dan atas nama Tuhan menjadi alasan untuk membenci dan menyakiti”.

Uniknya Sujiwo berpesan agar buku ini dibaca untuk dilupakan, dan dibaca hanya untuk sekedar latihan dalam berpikir.  Saya tutup review buku ini dengan komentar Emha Ainun Nadjib (yang sering dengan meledek dianggap Sujiwo Tejo sebagai muridnya) terhadap karya ini sbb

"Asyik itu yang mengasyiki, masyuk itu yang diasyiki. Jadi buku ini menyeret kita untuk mentawafi pengalaman Tuhan yang mengasyiki hamba-hamba-Nya. Kita menyangka kita juga mengasyiki-Nya, padahal aslinya yang asyik maupun yang masyuk adalah Ia sendiri."

No comments: