Tuesday, January 30, 2018

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #1 dari 8 : Persiapan


Menjelang akhir tahun 2017, saya dan keluarga merencanakan perjalanan berikutnya, ada beberapa kandidat destinasi, namun kami pilih yang sesuai dengan alokasi budget. Raja Ampat di Papua dan juga Bunaken atau Toraja Sulawesi terlalu jauh dan perlu persiapan matang serta alokasi budget khusus, sementara Belitung setelah kami coba bandingkan dengan Banyuwangi, ternyata terlihat lebih lengkap Banyuwangi, karena ada gunung, laut dan kota serta tentu saja kuliner.

Keputusan akhir kami ambil saat mengikuti Garuda Travel Fair 24/Sept/2017, dan akhirnya kami mengambil paket pesawat PP Soekarno Hatta – Blimbingsari senilai Rp. 2,145 jt per orang. Meski sebenarnya saya lebih suka via jalan darat, namun alasan istri soal  waktu yang cukup lama dan keletihan selama perjalanan menggugurkan proposal saya.

Kenapa langsung terbang ke Blimbingsari ?, ya karena dari Surabaya masih diperlukan waktu 7 jam alias 300 km an untuk sampai di Banyuwangi.  Kenapa tiket per orang memerlukan biaya Rp. 2,145 jt per orang, karena kami terpaksa ambil tiket di peak season, karena libur kami berempat hanya bisa sinkron pada saat tersebut.

Setelah tiket di tangan, mulai lah istri menyusun itenerary dan kontak travel setempat.  Akhirnya istri memilih Yuk Banyuwangi, dengan itinerary final sbb;

23/Desember/2017
16:00 Penjemputan di Bandara Blimbingsari
17:00 Makan Malam Pecel Pitik di Desa Kemiren
18:30 Check In di Ketapang Indah Hotel

24/Desember/2017
06:00 Melihat Sunrise di Ketapang (agenda pribadi di belakang Hotel)
09:00 Sarapan di Hotel
10:30 Menuju Pulau Menjangan
11:30 Makan Siang di Kapal
13:00 Snorkling di Ganesha Point – Pulau Menjangan
14:00 Snorkling di Sandy Point – Pulau Menjangan
15:00 Pulau Tabuhan
17:00 Kembali ke Hotel
19:00 Makan di RM Pecel Ayu (incl Temulawak dan Pecel Rawon)
20:00 Jajan Angsle Super Mbak Narti.

25/Desember/2017
04:30 Melihat Sunrise di Ketapang (agenda pribadi di belakang Hotel)
08:30 Sarapan di Hotel
11:00 Menuju dan sampai di Baluran
11:00 Eksplorasi Savana Bekol 
12:30 Pantai Bama dan eksplorasi Hutan Bakau.
13:00 Makan Siang Nasi Tempong
16:00 Wisata ke Area Pantung Gandrung Gumilir dan Watu Dodol.
16:30 Makan malam Rujak Soto di Warung Pak Salim
17:00 Mencari Oleh-oleh di Osing Deles.
18:00 Kembali ke Hotel

26/Desember/2017
00:00 Morning call dan menuju Ijen
01:30 Sampai di Paltuding dan trekking ke puncak
04:30 Sampai di Kawah (untuk menyaksikan menyaksikan Blue Fire dan Sunrise)
07:00 Kembali ke Paltuding
11:00 Check out dari Hotel,
12:24 Mengunjungi Taman Djawatan Benculuk
13:00 Makan siang Seafood di Warung Nurul Karunia Pantai Blimbingsari
14:00 Menuju Bandara Blimbingsari.

Travel lokal YukBanyuwangi yang kami kontak via website mereka http://yukbanyuwangi.co.id/ akhirnya menyampaikan proposal, kurang lebih sekitar Rp 2,6 juta per orang, dimana harga sudah termasuk transportasi selama tour (Xenia), akomodasi selama 3 malam di Ketapang Indah Superior Room, konsumsi selama program, air mineral selama tour, tiket masuk lokasi wisata, peralatan snorkling beserta perahu dan guide, underwater kamera, juga driver merangkap tour leader. 

Travel lain yang kurang responsif, terpaksa kami coret dari daftar kandidat. Namun berbeda dengan travel sebelumnya saat mengunjungi Banda Aceh, Sumatera Utara maupun NTT, YukBanyuwangi mensyaratkan pembayaran dimuka, krn masih ragu kami baru membayar setelah di hari pertama bertemu dengan Mas Rudi, driver merangkap tour leader kami.



YukBanyuwangi mengingatkan hal-hal yang harus disiapkan seperti jaket tebal, sarung tangan, senter, masker, pakaian ganti, pakaian renang, handuk, peralatan mandi, snorkling set (jika tidak mau menggunakan yang mereka siapkan), sandal, lotion nyamuk, sunblock, daypack/drybag, dan obat2an pribadi. Belakangan, YukBanyuwangi ternyata juga menyiapkan masker khusus untuk eksplorasi Kawah Ijen. 

Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-2-dari-8.html

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #2 dari 8 : Blimbingsari, Desa Kemiren dan Hotel Ketapang Indah

Sekitar jam 13:30 pesawat CRJ100 Flight GA 0264sepanjang 27 meter dan bentangan sayap 21 meter, buatan Bombardier Canada, yang kami tumpangi pun lepas landas dari Terminal 3 Soekarno Hatta .  Agar mudah kami sengaja tidak menggunakan bagasi, dan saya sengaja tidak membawa tripod karena belajar dari perjalanan saat ke NTT, urusan tripod ini cukup bikin pusing dan tak bisa dibawa ke kabin. Namun meski tas tidak masuk bagasi, 3 unit bawaan kami ditengarai sulit masuk kabin, karena slot koper yang relatif sempit, maka persis di kaki pesawat kru tetap memasukkan tas kami ke bagasi khusus, dan kami diberikan kupon untuk ditukarkan lsg di kaki pesawat saat mendarat.




Begitu mendarat, saya cukup terpesona melihat kesederhanaan bandara Blimbingsari ini, dan terlihat didesain dengan serba terbuka, untuk menghindari penggunaan AC. Mas Rudi sudah menunggu dengan Xenia putihnya, membantu memasukkan barang dan langsung meluncur ke Desa Kemiren. Karena sudah terlalu sore, jalan-jalan ke Taman Jawatan akhirnya di geser ke hari terakhir.

Memasuki desa, kami langsung disambut kemeriahan pesta khitanan yang dirayakan dengan meriah. Nampak anak-anak kecil baik lelaki ataupun wanita dirias dan menaiki kuda. Musik diputar sekencang-kencangnya, dan mengiringi kami saat makan Pecel Pitik, yakni ayam kampung dengan sayur kelapa parut disertai minuman temulawak. Sayangnya kami kehabisan Uyah Asem, alias Sup Ayam Kampung dengan ramuan Blimbing Wuluh dan cabe serta kuah rasa asam pedas.




Jika tertarik dengan wisata budaya lokal Banyuwangi, Desa Kemiren yang menjadi kediaman Suku Osing ini sangat menarik untuk dieksplorasi, silahkan cek di link sbb http://www.pikiran-rakyat.com/wisata/2017/06/27/ini-keunikan-desa-adat-kemiren-banyuwangi-403949 . Banyuwangi sepintas masih mirip dengan kebanyakan kota kecil di Indonesia, sebagian sudutnya terlihat seperti Batu atau Malang. Meski tidak terlihat rapi, namun tetap terlihat cukup bersih.

Teringat saya akan cerita zaman SD mengenai asal usul Banyuwangi. Zaman dahulu Banyuwangi dipimpin Prabu Sulahkromo yang dibantu Patih Sidopekso dalam menjalankan pemerintahannya. Namun Sang Raja tertarik dengan Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung, yang kebetulan  sangatlah elok parasnya.

Maka Sang Raja menugaskan Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Tanpa curiga, Sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sementara Sang Raja merayu Sri Tanjung dengan segala tipu daya, namun Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya dan tetap setiap pada suaminya. Sehingga membuat Sang Raja menjadi berang dan akhirnya memfitnah Sri Tanjung.

Ketika Patih Sidopekso kembali dari tugasnya, saat menghadap Sang Raja. Maka dengan sengaja Sang Raja menyampaikan bahwa Sri Tanjung berusaha mendatangi dan merayu Sang Raja saat Sang Patih pergi bertugas. Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui istrinya Sri Tanjung, dan  dengan penuh kemarahan mengancam akan membunuh istri setianya itu. Lalu diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh.

Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiaannya ia rela dibunuh dan meminta jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah. Sang Patih langsung menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan ajaibnya sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum yang wangi. Patih Sidopekso menjerit kaget serta linglung dan menjerit "Banyu Wangi ! Banyu Wangi !.”

Akhirnya kami sampailah di Hotel Ketapang Indah, meski cuma bintang tiga, ternyata hotel ini terbilang bagus, memiliki taman yang luas dan jalan bebatuan yang menghubungkan setiap cottage di kompleks hotel. Kamar yang kami gunakan jika mengacu pada tarif yang ada di front office, sekitar 700 ribu per malam, namun tentu saja travel YukBanyuwangi menggunakan tarif khusus. 




Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-3-dari-8.html

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #3 dari 8 : Sunrise di Pantai Ketapang, Pulau Menjangan dan Pulau Tabuhan


Pagi pagi sekali saya istri sengaja berkeliling hotel dan langsung menuju halaman belakang. Sebuah dermaga kayu milik hotel terlihat menjorok sd sekitar 50 meter dari bibir pantai. Burung camar satu satu terbang dikejauhan, perahu-perahu nelayan berlayar perlahan, beberapa kapal pesiar berayun lembut tertambat jangkar ditengah riak kecil gelombang, dan nun di kejauhan nampak hilir mudik ferry besar berlayar antara Ketapang dan Gilimanuk. Diseberang sana lampu lampu Gilimanuk terlihat berpendar menyambut para musafir.




Susasana di sini sangat tenang, waktu seakan berhenti berputar, smartwatch S3 saya menunjukkan keanehan, indikatornya jam nya kerap berubah selisih satu jam, mungkin karena jarak yang sangat dekat ke Bali dimana ada selisih waktu sekitar sejam.  Kami kembali ke hotel untuk sarapan, mandi lalu bersiap. Mas Rudi  datang terlambat sekitar setengah jam, mintaa maaf karena harus menyiapkan makan siang kami dari catering langganan travel. Tercium bau wangi udang goreng menyeruak dari celah box catering.  





Sesampai di tempat pemberangkatan, kami menunggu datangnya kapal sambil menikmati kelapa muda, sekitar sejam kemudian kami memasuki kapal kayu kecil yang dikawal dua orang kru kakak beradik. Anjar nama abangnya yang kebetulan setahun lalu di PHK di salah satu perkebunan di Kalimantan sedangkan adiknya Dani, baru kelas dua di salah satu SMK di Banyuwangi.




Anjar memberikan penjelasan bahwa Pulau Menjangan sebenarnya sudah masuk kawasan Taman Nasional Bali Barat, namun karena memiliki sekitar tiga spot bawah laut, sudah lazim bagi wisatawan Banyuwangi untuk mengunjungi pulau ini juga. Tak lama akhirnya sampailah kami di Pulau Menjangan, dan perahu kami bersandar di sebuah dermaga kecil, Anjar langsung turun dan mendaftarkan rombongan ke petugas kawasan. Cuaca alhamdulillah sangat cerah, langit nampak biru terang, pantai dengan air yang sangat jernih dan pasir putih bersih. Sebuah bendera merah putih nampak berkibar gagah di buritan sebuah kapal nelayan. 

Pulau ini tidak memiliki penghuni, dan memiliki peraturan sangat ketat mengenai sampah. Jadi para pengunjung harus memastikan setiap sampah dibawa kembali pulang. Salah satu hewan yang dilindungi di pulau inilah sebagaimana namanya yakni menjangan, sayang kami tak sempat eksplorasi dan belum menemukan satupun menjangan.

Lalu kami lanjut berlayar, sebelum menyemplung ke dalam air, karena memang sudah menjelang siang kami memutuskan makan sambil mengelilingi pulau sampai ke sisi dimana terlihat patung Ganesha dan sekumpulan orang sedang melakukan upacara. Kami memutuskan untuk makan siang dahulu sebelum menceburkan diri ke air. Wangi udang goreng semerbak mewangi, dan menimbulkan rasa yang sangat nikmat saat di”totol” ke sambal tomat terasi khas Banyuwangi yang tersohor nikmat.




Kami langsung menyemplung ke air, anak-anak seperti biasa tak menggunakan pelampung, saya memilih tetap memakai, karena tidak mudah juga berenang berdampingan dengan istri yang sedikit takut jika berenang di laut  lepas. Arus ternyata sangat kuat, hanya sebentar menikmati, kami langsung terseret meninggalkan kapal. Setiap kali berenang menuju kapal setiap kali juga kami harus kembali diseret arus menjauhi kapal. Saya mulai letih akhirnya memutuskan bergelantungan pada seutas tali diantara dua kapal nelayan yang sedang buang sauh. Si Bungsu terlihat laju mendekati kapal kami, namun akhirnya keletihan, dan melambai2kan tangan meminta pertolongan.





Dengan tenaga tersisa saya berusaha menjemput Si Bungsu, dan dapat, namun akhirnya kami kembali diseret arus dan bergelantungan kembali di antara kedua perahu nelayan, tak lama menyusul pula Si Sulung. Anjar memutuskan mengamankan istri terlebih dahulu, lalu menjemput kami dengan perahu. Anehnya kedua kapal nelayan tersebut terus mengikuti kami, bahkan ujung perahu sempat menusuk punggung Si Bungsu hingga memar saat menaiki tangga. Pada akhirnya meledaklah kami dalam tawa, karena ternyata tali kedua kapal nelayan tersebut masih melintang di dada dan pundak saya, pantesan saja kedua perahu nelayan tsb terus menerus mengikuti kami. Pelampung yang tebal membuat ikatan tali kapal tersebut tak terasa. 



   
Kuatir kami kecewa, Anjar melanjutkan perjalanan ke spot yang kedua alias Sandy Spot. Arusnya tenang dan airnya jernih. Melihat istri masih semangat lanjut snorkling, saya putuskan untuk menemaninya. Anak-anak sebaliknya terlihat letih dan memutuskan istirahat di perahu. Setelah puas berenang di Sandy Spot, kami lanjut ke Pulau Tabuhan sekitar jam 15:00. Angin bertiup kencang, nampak awan hitam mendekat. Batas wilayah hujan dan yang tidak, terlihat dengan jelas di cakrawala.  Tak lama kamipun menembus hujan yang sangat deras. Akhirnya kami berlabuh di Pulau Tabuhan, sementara hujan masih tak jua berhenti.




Terlihat beberapa warung tenda di pantai Pulau Tabuuhan yang juga tak berpenghuni ini. Kami lalu memesan kopi, pisang goreng dan mie rebus dengan telor. Sekelompok anak muda asal Surabaya yang saling bercanda satu sama lain membuat suasana terasa ramai. Dari sini kami kembali ke Banyuwangi dan sampai sekitar jam 16:40 di Hotel. Sebelum mandi, saya dan keluarga menyempatkan diri berenang sambil membersihkan sisa air laut dan pasir saat mengunjungi Pulau Menjangan dan Pulau Tabuhan. 

Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-4-dari-8.html

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #4 dari 8 : RM Pecel Ayu dan Angsle Super Mbak Narti


Malamnya Mas Rudi kembali menjemput kami dengan Xenia putih andalannya. Mas Rudi yang pendiam namun selalu tersenyum  langsung membawa kami menuju kota untuk menikmati Rawon Pecel. Di Banyuwangi setiap kali makan dan minum, kurang lebih hanya menghabiskan 30 ribu per orang.

Lokasi Pecel Ayu di Jl. Adi Sucipto no. 65, terlihat cukup ramai saat kami sampai sekitar jam 19:00. Kami sengaja memesan makanan yang berbeda, Si Bungsu memesan Nasi Campur, saya Nasi Rawon, istri memesan Nasi Pecel dan Si Sulung kami korbankan untuk memesan menu paling aneh alias Nasi Pecel Rawon. Setelah saling mencoba, lalu mencoba menu Si Sulung, ternyata menu ini sukses membuat dahi kami mengernyit. Kami lalu langsung menikmati pesanan masing-masing dan tak lupa mengucapkan selamat pada Si Sulung karena sanggup menyelesaikan tantangan.




Biasanya Pecel ini dimakan dengan Paru Goreng, Bakwan Jagung, Telur Asin  atau Peyek Udang dan tentu saja ditutup dengan minuman khas alias Es Dawet. Karena porsinya tidak terlalu besar, dan masih lapar, maka kami memutuskan untuk mencari Angsle Super.

Lokasinya masih di jalan yang sama dengan Pecel Ayu namun ke arah Hotel Ketapang Indah. Angsle Mbak Narti, terlihat dipinggir jalan dengan spanduk kuning berwarna cerah. Kami langsung duduk dan tak lama lima mangkok panas dengan kuah berwarna putih susu langsung dihidangkan di meja kami. Secara rasa mirip sekali dengan sekoteng, namun dengan tambahan kerupuk emping, kacang hijau dan bahkan potongan ketan.




Malam-malam menikmati Angsle panas sambil mengamati lalu lintas Banyuwangi rasanya asik juga. Selesai menikmati  Angsle, panas racikan jahenya langsung menghangatkan tubuh, dan kami kembali menuju Hotel Ketapang Indah.             

Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-5-dari-8.html

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #5 dari 8 : Baluran, Savana Bekol, Hutan Bakau Pantai Bama dan Nasi Tempong


Keesokan paginya saya menyempatkan diri kembali ke dermaga kayu di belakang hotel, sayang pintu belakang ke arah pantai, baru dibuka jam 05:00, sehingga momen melihat sunrise menjadi sangat terbatas. Saya dan istri lalu lanjut berjalan-jalan ke perkampungan nelayan di sebelah hotel, dan masuk kembali lewat jalan utama. Setelah sarapan pagi di hotel, Mas Rudi menjemput kami sekitar jam 09:00.








Kamipun bergegas menuju Taman Nasional Baluran, 40 kilometer ke arah utara. Dari Hotel Ketapang Indah kami melewati lokasi terminal ferry antar pulau Ketapang – Gilimanuk dan terus melaju selama sekitar 90 menit. Jika bicara mengenai lokasi, sebenarnya kawasan ini tidak bisa dikatakan sebagai Banyuwangi melainkan juga sebagian merupakan wilayah dari Bondowoso.

Sambil jalan Mas Rudi cerita mobil yang baru berusia 3 tahunan ini sudah menempuh sekitar 230 ribu km. Dan sudah sekali ganti kaki-kaki, soal penggantian kaki-kaki ini baru saya pahami setelah melihat rute Baluran yang cukup hancur mulai dari pintu gerbang sampai Pantai Bama sepanjang sekitar 15 km.




Kenapa dinamai Baluran, nama ini mewakili nama gunung dikawasan ini. Taman Nasional Baluran yang memiliki luas 25.000 HA, juga sering dijuluki sebagai Little Africa, karena 40% lahannya terdiri dari savana, sisanya berupa hutan musim, hutan pantai, dan hutan pegunungan bawah. Baluran sendiri,  dahulunya merupakan inisiatif Gubernur Hindia Belanda dan diresmikan pada tahun 1937. Pada tahun 1980, menteri pertanian mengumumkan kawasan ini sebagai Taman Nasional.

Melewati Savana Bekol kami disuguhi pemandangan eksotis. Sesekali terlihat lutung alias sejenis monyet berwarna hitam kelam sedang bergelantungan di pepohonan. Kami lalu berhenti di Bekol View Point, menikmati Kelapa Muda dan Pisang Goreng yang rasanya benar-benar lezat. 




Mirip seperti di Pulau Komodo, tengkorak Banteng nampak disusun berjajar dan menjadi sasaran obyek foto wisatawan. Kami lalu jalan ketengah savana, sayang saat kami mendekati rombongan kerbau liar, petugas segera bergegas meminta kami menjauhi kawanan kerbau tersebut, karena sangat berbahaya.




Setelah puas mengamati Savana Bekol juga kumpulan kera yang berkeliaran, kami lanjut ke Pantai Bama. Dalam perjalanan sejauh mata memandang hanya rerumputan dan pohon-pohon berukuran besar dengan cabang-cabang kering yang terlihat eksotis. Sesekali kami melihat kawanan rusa dalam jumlah besar. Sayang kami tidak melihat banteng, ajag, kancil, dan kucing bakau. Jika beruntung dan momennya pas, sebagian wisatawan dapat menyaksikan pertarungan rusa jantan, kera abu-abu memancing kepiting dengan ekornya, atau tarian burung merak di musim kawin. 
Sampai di Pantai Bama, kami langsung ke sisi kanan masuk ke hutan bakau, dan menyusuri semacam dermaga sampai ke pinggir laut. Akar-akar bakau yang saling terjalin menimbulkan suasana mistis, sayangnya dermaga ini memiliki panjang yang terbatas. Juga terlihat kawanan kera bermain-main di pinggir hutan.






Kami langsung menuju warung yang berjejer agak kedalam dan memesan Nasi Tempong, yang langsung kami nikmati bersama  teh botol. Sambalnya enak sekali, dan masakan khas Banyuwangi yang merupakan paduan daun kemangi, daun kenikir, tahu, tempe, bakwan goreng jagung, ikan jambal goreng tepung ini, langsung menghapus lelah dan haus dalam perjalanan.  Sambal pedas yang digunakan merupakan asal muasal nama tempong yang artinya sama dengan tampar, untuk menggambarkan rasa, saat indra perasa kita ditampar rasa pedas. Setelah kenyang kami kembali menuju Ketapang. 








Lanjut ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-6-dari-8.html

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #6 dari 8 : Pantung Gandrung Gumilir, Watu Dodol, Rujak Soto Pak Salim dan Osing Deles.


Saat kembali menuju Ketapang, kami mampir di Patung Gandrung Gumilir yang berada dekat dengan Watu Dodol, yang keduanya diyakini banyak menyimpan misteri.  Patung Gandrung bagi sebagian orang dianggap dapat bergerak dan bahkan menari. Bagi saya sih tak aneh, dan membuat saya teringat cerita misteri Patung Pastor Verbraak di Taman Maluku, Bandung. Dalam salah satu acara TV tengah malam, setelah proses “medium”isasi, “mahluk” sekitar lokasi tersebut menyatakan bahwa, bukan patungnya yang bergerak melainkan proses pikiran korban yang diintervensi oleh “mahluk” tadi.  Secara fisika hal ini mungkin sekali karena apa yang dilihat mata akhirnya dibaca otak  setelah melewati proses pengubahan gambar ke sinyal listril yang bisa di"terjemah"kan oleh otak.







Watu Dodol sendiri sebuah batu yang menjadi pemisah dua jalur jalan di seberang Patung Gandrung Gumilir. Konon batu ini memang tak dapat dipindahkan saat pembuatan jalan, dan akhirnya dibiarkan bagitu saja hingga kini. Setelah puas melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan dan terlihat lah restoran Watu Dodol yang kami kunjungi pada tahun 2004, saat perjalanan berkesan Bandung – Denpasar.  Sayang kami tak sempat makan disini, meski saya sangat ingin.







Karena tengah malam kami akan menuju Kawah Ijen, maka diputuskan untuk makan terlebih dahulu di Rujak Soto Pak Salim. Seperti biasa selain Si Sulung, kami semua  memesan makanan normal, sedangkan dia lagi-lagi kami korbankan untuk menikmati Rujak Soto. Berbeda dengan Pecel Rawon, kali ini ekspresi Si Sulung terlihat aneh dan tak bahagia. Bayangkan sayur-sayuran dengan bumbu rujak disiram soto daging.  Kami masing-masing mencoba sesendok, dan sisanya menjadi tanggung jawab Si Sulung.




Selesai makan kami langsung menuju Osing Deles, di jalan KH. Agus Salim, Taman Baru. Sebuah lokasi favorit untuk oleh-oleh khas Banyuwangi. Mulai dari snack khas, kaos, kain-kain daerah tersedia lengkap disini. Tokonya menarik dan didesain secara modern, pegawainya cekatan dan koleksi oleh-olehnya termasuk lengkap. Dari sini kami langsung menuju hotel. Tengah malam, Si Sulung yang masih belum puas dengan Rujak Soto,  akhirnya  kelaparan dan  memesan makanan dari hotel seperti Lumpia Ketapang 45 ribu dan House Style Beef Burger 65 ribu. 

Lanjyt ke link berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-7-dari-8.html

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #7 dari 8 : Kawah Ijen


Sebelum tidur, kami memastikan semua perlengkapan sudah tersedia, mulai dari sarung tangan, senter (yang memiliki tali karet untuk diikatkan di kepala), jaket, snack, kamera, sepatu dan jangan lupa celana katun (bukan jeans).  Berjalan mendaki penuh keringat selama 3 jam, akan membuat jeans mengiritasi kulit kita, jadi sangat disarankan tidak menggunakan jeans.

Sedikit cerita mengenai Kawah Ijen yang merupakan Kawah di puncak Gunung Ijen dan terakhir meletus pada tahun 1999. Kawah Ijen memiliki air yang bersifat asam dengan kedalaman danau 200 meter. Beberapa publikasi menyebutkan Kawah Ijen merupakan danau asam terbesar di dunia. Fenomena Blue Fire sendiri merupakan satu dari dua tempat di dunia, lokasi lain yakni di Islandia. 

Jam 24:00 tepat, kami langsung menuju lobby, angin bertiup dingin, dan kami dengan perlengkapan lengkap berjalan sambil terkantuk-kantuk. Mas Rudi langsung meluncur menuju Paltuding, yakni pos perkemahan di kaki Gunung Ijen pada ketinggian 1855 DPL. Namun ditengah jalan kami mendadak berhenti, dengan meminta maaf Mas Rudi menyampaikan dia terpaksa tukaran dengan supir lain, karena rombongan lain ternyata tidak memiliki supir yang bisa mengendarai bis mini. Kami lanjut dengan supir lain namun tetap mobil yang sama dan akhirnya sampai sekitar jam 01:40.

Kegelapan langsung meyergap kami serta udara berbau belerang langsung menusuk hidung kami. Mas Rudi langsung mengenalkan kami pada Mas Nafi’an, seorang pria setengah baya bertubuh kecil namun cekatan dan dulu sempat berprofesi sebagai penambang belerang. Beliau lalu membagi2kan masker khusus, mirip poster kampanye perang gas zaman perang dunia dengan tiga buah silinder, kanan, tengah dan belakang. Kuatir susah jika harus ke kamar kecil, saya dan istri terpaksa antri cukup panjang.  Akhirnya kami pun memulai perjalanan, mendaki tanjakan berpasir, yang setiap kali maju, namun bergeser kembali kebawah.

Setelah sekitar 1 kilometer, mulai nampak pendaki yang berguguran, mula-mula pendaki yang membawa anak kecil, lalu pendaki-pendaki dewasa yang kembali pulang ke Paltuding dengan menggunakan kereta versi kecil. Setelah 2 kilometer, mulai terjadi transaksi antara pembawa kereta dengan pendaki yang keletihan, Untuk naik harus didorong dan ditarik paling tidak tiga orang. Biayanya sekitar 600 sd 800 ribu per orang. Kehadiran mereka membuat pendakian menjadi lebih sulit, karena para pembawa kereta ini “mengusir” pendaki yang menghalangi jalan mereka dengan berteriak-teriak.

Kami terus mendaki, sesekali berhenti, dan setiap kali melihat keatas, nampak barisan cahaya senter para pendaki pelan beriring2an menuju puncak. Penampakan ini terus terang membuat putus asa, tidak terlihat jalanan ini menjadi semakin mudah, malah yang terasa semakin curam saja. Napas mulai memburu, keringat mengucur deras, dan jantung berdegup lebih kencang.  Mendekati 3 kilometer, Si Sulung mulai kepayahan, meski saat SMA dia merupakan aktivis pencinta alam, kuliah 4 tahun di Tangerang membuat fisiknya tak lagi setangguh dahulu. Akhirnya dia mulai menyerah dan mengatakan pada kami agar meneruskan pendakian, dia lebih baik menunggu. Saya memutuskan rombongan berhenti dahulu, dan alhamdulillah Si Sulung akhirnya berhasil memulihkan semangatnya kembali.



Bagi yang sudah letih, ada lokasi istirahat sederhana di ketinggian 2214 dan dikenal dengan nama Pondok Bunder atau Pos Penimbangan. Sayang sekali Pondok Bunder terlihat kurang terawat meski masih terlihat gaya arsitektur Art Deco. Kenapa dinamakan Pos Penimbangan karena lokasi ini dulu adalah tempat penimbangan hasil tambang  belerang yang diambil penambang di sekitar kawah. Tambahan informasi, jangan berharap dilokasi ini akan mudah menemukan toilet kecuali di Paltuding, jadi lebih baik anda menguras isi perut sebelum pendakian dan tidak minum berlebihan saat pendakian. 



Setelah melewati 4 kilometer lebih sedikit selama 3 jam kurang empat menit, sampailah kami di bibir kawah yakni di ketinggian 2269 DPL.  Sedihnya sudah langsung diterpa uap tebal belerang yang sangat memerihkan mata, namun  tak terlihat apa-apa kecuali kabut tebal. Dalam kondisi seperti ini, untuk turun kembali sekitar 1 kilometer sampai ke lokasi api abadi sudah tidak memungkinkan, karena fajar sebentar lagi akan muncul, dan api abadi ini tak terlihat di waktu siang. Hemm persis seperti apa yang dikatakan Mas Nafi'an, melihat api abadi alias Blue Fire memang agak berbau keberuntungan, tapi kalau mau memastikan lebih baik berangkat lebih awal, misalnya memulai pendakian jam 24:00 malam.

Kami menunggu kabut berlalu dengan harap-harap cemas, sementara dari dasar kawah satu persatu penambang belerang dengan pikulan total 50 sd 60 kg naik dengan terhuyung-huyung melintasi jalan terjal berbatu-batu. Tak aneh, media asing menjuluki pekerjaan mereka ini merupakan salah satu pekerjaan paling berbahaya di dunia.







Lokasi tempat kami menunggu merupakan bebatuan yang rapuh karena lebih mirip tanah liat ketimbang batu karang. Karena itu pelataran ini juga terasa cukup licin. Salah seorang pendaki terpeleset di depan saya, untung saja tidak berguling-guling ke arah kawah. Setelah langit mulai cerah kami mengambil beberapa foto dan akhirnya sekitar jam 06:30 kami mulai turun dengan perasaan sedikit kecewa. Namun saat melewati turunan pulang, kami terkaget-kaget melihat pemandangan luar biasa indah. 

Dari lereng Gunung Ijen ini terlihat Gunung Meranti, dan dibelakangnya nampak Gunung Raung dengan warna biru tua dan diselimuti awan. Pohon eksotis nampak berbaris-baris di sela-sela kabut dan lapisan bukit, bagi saya pemandangan ini sangat lah indah. Tak berlebihan jika dianggap sekelas dengan Danau Toba atau juga Bromo. Tak habis-habisnya kami mengagumi pemandangan ini sambil terus turun ke bawah. Ternyata jalan turun cukup menyakitkan, jempol kaki menjadi nyeri karena menjadi tumpuan seluruh berat badan. Akhirnya kami sampai sekitar jam 08:00 di Paltuding.






Kami lalu meluncur kembali ke hotel, namun tiba-tiba kami harus berhenti karena nampak keramaian dan antrian kendaraan. Ternyata sebuah bis travel dengan muatan penuh turis-turis asing asal Eropa Timur menabrak pohon. Saat kami berlalu, dengan emosi salah seorang wisatawan bertubuh tinggi besar dan tegap mengejar ngejar kami dan memukul2 mobil sekuat2nya. Dia mengira kami berasal dari travel yang sama, dan menuduh kami tidak bertanggung jawab dengan membiarkan mereka terlantar di tengah jalan.  Saya membantu mas Rudi menjelaskan pada mereka situasi yang terjadi, dan akhirnya sebagian dari mereka ikut dalam mobil kami kembali ke Banyuwangi. 

Lanjut ke part berikutnya http://hipohan.blogspot.com/2018/01/jalan-jalan-ke-banyuwangi-part-8-dari-8.html

Jalan Jalan ke Banyuwangi Part #8 dari 8 : Taman Jawatan Benculuk dan Seafood Pantai Blimbingsari


Tak sempat istirahat, dan langsung sarapan, kami langsung mengepak barang-barang untuk kembali pulang ke Bandung. Setelah check out, maka Mas Rudi sesuai janji membawa kami ke lokasi terakhir yakni Taman Jawatan Benculuk yang tersohor dengan pohon-pohon Trembesi raksasa ajaibnya dan tersebar di kawasan dengan luas mendekati 4 hektar. Lokasi Taman Jawatan kira-kira 40 kilometer dari Hotel Ketapang Indah kearah selatan.  

Tempat ini dahulunya merupakan bagian dari PT Kereta Api, namun saat ini menjadi lokasi wisata sekaligus lokasi hijau untuk penyerapan air. Disamping itu PT Perhutani juga menggunakan tempat ini untuk sebagai kawasan penimbunan kayu jati. Selain Trembesi, ada juga Jati, Wesah, Jamur Kepong, Santinet, Salak liar, dan Klengkeng. Sedangkan fauna, yang banyak terdapat adalah kelelawar yang menjadikan bangunan-bangunan tua di sekitar tempat ini sebagai sarang.





Ada banyak jajanan rakyat dan delman sewaan untuk berkeliling menunjukkan tempat ini merupakan lokasi wisata favorit dan murah bagi masyarakat setempat. Sayang kurang dikelola secara profesional, jalan-jalan diantara pohonnya terlihat sangat becek dan penuh dengan genangan air, meski secara fotografi, tempat ini menakjubkan. Pohon-pohon ini mengingatkan saya akan Lord of The Rings namun juga karya sinema Avatar besutan James Cameron.

Untuk makan siang maka kami langsung menuju Pantai Blimbingsari yang persis berdekatan dengan bandara. Tanpa ragu Mas Rudi langsung menuju salah satu warung bernama Nurul Karunia, dan tak lama wanginya ikan bakar langsung menyeruduk indra penciuman kami. Ternyata makanan disini memang lezat, apalagi dengan sambal Banyuwangi yang khas tersebut.

Setelah makan, kami langsung menuju bandara Blimbingsari, tak lupa kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih pada Mas Rudi, sosok pria tenang dan sabar yang menemani kami 4 hari 3 malam menjelajahi Banyuwangi. Sayangnya kami hanya fokus pada destinasi wisata di sisi utara, sementara sisi selatan belum bisa kami eksplorasi lebih lanjut seperti Pelengkung, Sadengan, Grajagan, Pulau Merah, Rajegwesi, Teluk Damai, Teluk Hijau, Sukamade, Kendeng Lembu, Malangsari dan Margo Utomo. Dan jangan lupa Pantai G Land yang konon kabarnya salah satu surfing spot terbaik di dunia cek link berikut https://www.viva.co.id/blog/wisata/796549-pantai-g-land-spot-surfing-terbaik-di-asia-tenggara

Selamat tinggal Banyuwangi, semoga satu saat kami bisa kembali kesini, dan tentu saja bisa lanjut juga ke Bali, karena sayang sekali memang,  hanya bisa melihat lampu-lampu Gilimanuk dari Ketapang yang sebenarnya sudah sangat dekat. Bagi yang ingin ke Banyuwangi, saran saya akan lebih baik jika diset sebagai satu perjalanan panjang sekaligus dengan Bali.